Secara empiris, rasanya tidak terlampau keliru jika ada semacam “kewajiban” (perintah) untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina. Faktanya, kini Negeri Tirai Bambu itu telah menyihir dunia, hampir di segala bidang, terutama aspek perdagangan, industri, dan pertumbuhan ekonomi makro. Bahkan aspek pendidikan dan kesehatan juga demikian halnya. Namun, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah, di tengah derasnya industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang konon overheated, toh pemerintah Cina tetap mengedepankan pengembangan kota yang manusiawi (human city) bagi warganya. Beijing, Shanghai, Hong Kong, dan juga Guangzhou adalah potret kota yang ditata secara manusiawi oleh pemerintah kota setempat.

Pada konteks itulah, penulis bersama Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, sempat melongok sejenak Kota Guangzhou, khususnya dari aspek penataan kota dan pengelolaan transportasi publik (19-22 Januari 2011). Tak ubahnya Jakarta, Guangzhou merupakan kota metropolitan yang dipadati puluhan juta warga (12 jutaan). Mungkin ini tidak sekuku hitamnya dibanding jumlah penduduk Cina, yang mencapai 1,3 miliar! Namun, jika disandingkan dengan Jakarta, Guangzhou jauh lebih nyaman dan manusiawi untuk ditinggali warganya. Misalnya, pengembangan kotanya bersifat vertikal, ruang terbuka hijau (RTH) luas, dan banyak area kumuh yang disulap menjadi taman bermain. Sedangkan pengembangan kota Jakarta bersifat horizontal, minim RTH dan minim taman bermain.

Manajemen transportasi publik di Jakarta juga jauh tertinggal. Kota Guangzhou memiliki “Metro MRT”, yang sangat nyaman dan murah, hanya berkisar Rp 2.800 hingga Rp 16 ribu. Guangzhou juga mempunyai fasilitas “bus listrik” yang menjangkau seluruh wilayah kota. Plus, Guangzhou juga mempunyai Guangzhou Bus Rapid Transit (GBRT), alias busway, sepanjang 23 km. Sejatinya, busway Guangzhou ini masih muda usia, baru setahun beroperasi (per Februari 2010). Toh, kendati masih “bayi”, jangan ditanya soal performanya (jangan pula dibandingkan dengan performa Transjakarta, uh, bak bumi dan langit!). Berikut ini beberapa keunggulan busway di Guangzhou.

Pertama, mampu mengangkut 900 ribu penumpang per hari, sementara Transjakarta hanya mengangkut 250 ribu penumpang per hari. Jumlah armadanya pun sangat fantastik, yakni 942 bus (mayoritas articulated bus/bus gandeng), sedangkan armada Transjakarta hanya bermodalkan 425 bus. Kedua, bus datang tepat waktu, bahkan headway-nya (jarak antar-bus) kurang dari 1 menit. Bandingkan dengan headway Transjakarta, yang rata-rata 10-15 menit! Tarifnya pun sangat terjangkau oleh kantong konsumen, hanya RMB 2 (= Rp 1.400). Tarif Transjakarta Rp 3.500 per penumpang. Aneh bin ajaib, kalau BLU Transjakarta masih merengek minta kenaikan tarif!

Kedua, pengelola busway di Guangzhou menyediakan parkir sepeda yang sangat memadai (dan gratis!). Tidak kurang dari 5.000 pengguna busway di Guangzhou adalah penggowes sepeda. Lebih dari itu, disediakan pula fasilitas bike-sharing, yaitu sepeda yang bisa digunakan untuk menjangkau antarhalte yang berdekatan. Secara umum, penggowes sepeda di Guangzhou memang diberi akses yang memadai. Pasalnya, setiap ruas jalan besar diberi jalur khusus sepeda (bicycle way). Selain itu, pengguna sepeda tak perlu takut disambar oleh pengguna sepeda motor. Sebab, sejak 2007, haram hukumnya bagi pengguna sepeda motor memasuki ranah perkotaan. Dengan demikian, tingkat keselamatan (safety) penggowes sepeda sangat terjaga. Di Jakarta, penggowes sepeda harus berjibaku dengan maut.

Ketiga, jalurnya sangat steril, kendati tidak dibatasi dengan marka jalan. Ini terjadi karena adanya sanksi tegas bagi penyerobot jalur busway di Guangzhou, yaitu cabut SIM oleh pihak kepolisian. Sedangkan polisi di Jakarta kadang malah “salam tempel” dengan penyerobot jalur Transjakarta.

Keempat, operator bus yang tergabung dalam GBRT (semacam konsorsium di Jakarta) juga sangat diuntungkan. Lihat saja, sebelum melebur sebagai operator busway, pendapatan mereka hanya RMB 6,5 per km. Sedangkan setelah menjadi operator busway, pendapatan mereka naik menjadi RMB 7,8 per km. Biaya operasional bus pun turun. Sebelum menjadi operator busway, biaya operasi mereka RMB 8,1 per km. Setelah menjadi operator busway, biaya turun menjadi RMB 7,4 per km.

Kelima, sistem tiket Transjakarta masih menggunakan “sobek karcis”, sedangkan sistem tiket busway di Guangzhou dilakukan melalui sistem kontrol real time. Dengan sistem ini, manajemen bisa mengontrol berapa jumlah penumpang, pergerakan dan kecepatan bus, jadwal keberangkatan/kedatangan bus, bahkan mengontrol berapa jarak antarbus dari masing-masing operator busway. Pola semacam ini, selain consumers satisfaction based, secara finansial juga mampu menekan potensi kebocoran pendapatan. Sementara itu, sistem “sobek karcis” ala BLU Transjakarta, selain tidak berorientasi pada kepuasan konsumen, membuka peluang yang sangat besar untuk terjadinya patgulipat pendapatan (korupsi). Padahal untuk mewujudkan sistem kontrol tersebut tak mahal-mahal amat, hanya sekitar Rp 28 miliar. Sebuah angka yang tak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan manfaatnya. Menurut analisis suatu lembaga independen, potensi terjadinya kebocoran pendapatan di BLU Transjakarta bisa mencapai Rp 350 juta per hari!

Namun, yang menyesakkan dada adalah, bahan bakar yang digunakan busway di Guangzhou adalah gas (CNG) yang diimpor dari Indonesia (kontrak Tangguh I). Bahkan, bukan hanya busway-nya, taksi dan bus umum di Guangzhou pun berbahan bakar gas. Ini jelas kebijakan paling bodoh, di tengah kebutuhan gas dalam negeri yang acap mengalami kelangkaan.

Kesimpulan

Sejatinya, semua kota besar di dunia mempunyai tingkat kesulitan yang nyaris sama untuk menata kotanya, khususnya dalam mewujudkan sarana transportasi publik massal. Entah berupa BRT (bus rapid transit), atau bahkan MRT (mass rapid transportation). Namun, semua itu bisa diatasi jika pemerintah kota mempunyai common sense untuk mewujudkan tata kota dan manajemen transportasi publik yang manusiawi. Itulah kata kunci yang dipunyai oleh Wan Qingliang, Wali Kota Guangzhou. Konyolnya, common sense semacam ini tidak dimiliki oleh para pengambilan keputusan di Jakarta, atau bahkan pemerintah pusat sekalipun. Dengan gelar doktor di bidang tata ruang kota yang dimiliki, seharusnya visi Fauzi Bowo sebagai Gubernur Jakarta lebih komprehensif (plus punya nyali) untuk mewujudkan pengelolaan transportasi publik dan penataan kota yang lebih manusiawi. Pada akhirnya, selain tidak mempunyai common sense, masih tingginya budaya korupsi tampaknya menjadi kendala paling serius untuk mewujudkan Jakarta sebagai human city bagi keseluruhan warganya. (Sumber: Koran Tempo, 11 Februari 2011)

Tulus Abadi – Anggota Pengurus Harian YLKI