Bahkan, patut diduga dengan kuat, ada oknum di Kementerian Kesehatan yang “bermain mata” dengan industri rokok. Konkretnya, masih ada “kutu busuk” di Kementerian Kesehatan yang bermain patgulipat dengan industri rokok.


Biasanya, hanya kalangan industri rokok yang panas-dingin dengan adanya regulasi pengendalian tembakau yang digagas oleh pemerintah. Kendati tanpa argumen dan basis rasionalitas yang tak jelas, mereka menganggap regulasi pengendalian tembakau akan mematikan bisnis dan industrinya.

 

Pun dalam konteks Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, yang kini sedang digodok oleh pemerintah. Khususnya oleh Kementerian Kesehatan sebagai leading sector-nya. Namun—dan ini yang agak aneh—RPP Pengamanan Tembakau ini ternyata membuat sebagian kalangan aktivis pengendalian tembakau (tobacco control) bersikap waswas, bahkan geram. Mengapa? Dari sisi proses, pembahasan RPP ini sangat tertutup, nyaris tanpa partisipasi publik yang memadai. Idealnya, sebagai RPP yang amat strategis, Kementerian Kesehatan dan juga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat melibatkan secara sungguh-sungguh kalangan pegiat pengendalian tembakau. Bukan pelibatan secara proforma belaka. Betapapun, ranah RPP ini adalah kesehatan, dan merupakan turunan langsung dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sudah seharusnya proses pembahasannya melibatkan unsur masyarakat yang selama ini concern dan “mengerti”tentang tobacco control. Ada kepentingan apa sehingga Kementerian Kesehatan bersikap “autistik”terhadap pembahasan RPP?

 

Cacat hukum Selain proses yang tertutup, secara substansi RPP ini banyak mengandung beberapa cacat bawaan. Pertama, pada pengaturan tentang Kawasan tanpa Rokok (KTR), RPP masih mengakomodasi adanya smoking room. Padahal standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), smoking room pada area KTR dilarang. Selain tidak efektif melindungi perokok pasif, secara ekonomi keberadaan smoking room justru menjadi beban pelaku usaha, khususnya pelaku usaha menengah, kecil, dan mikro.

 

Kedua, benar bahwa RPP ini juga mengakomodasi peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning) sebesar 50 persen dari bungkus. Ini jelas langkah radikal, karena Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang notabene hasil besutan WHO dan sudah menjadi hukum internasional, pun hanya mengakomodasi pictorial health warning sebesar 30 persen dari bungkus. Hanya, dan ini yang membuat cacat, pictorial health warning tersebut boleh tertutup logo cukai rokok.

 

Ketiga, dan ini yang paling fatal, RPP ini ternyata masih sangat akomodatif terhadap iklan, promosi, dan sponsor rokok. Bahkan, jika ditelaah, dalam hal pengaturan iklan, promosi dan sponsor, RPP ini justru lebih longgar ketimbang aturan yang lama, yaitu PP Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Ini jelas suatu kemunduran besar. Seharusnya, iklan dan promosi rokok menjadi agenda utama untuk dilarang (total ban). Kini citra Indonesia di mata internasional sangat terpuruk karena iklan dan promosi rokok masih sangat massif, di semua lini. Realitasnya, peruntukan iklan dan promosi rokok adalah untuk anak-anak dan remaja. Pantas jika saat ini tingkat prevalensi merokok pada anak-anak dan remaja di Indonesia tercepat dan tertinggi di dunia. Jika RPP ini tetap mengakomodasi iklan dan promosi rokok, RPP ini justru bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan, yang telah menjadikan tembakau sebagai produk adiktif.
Konsekuensinya, produk tembakau tidak boleh diiklankan dan dipromosikan, sebagaimana minuman keras dan alkohol.

 

Kriminalisasi anak Satu hal lagi yang membuat geram adalah, RPP ini telah melakukan kriminalisasi terhadap anak. Dengan gamblang (Pasal 45) RPP ini mengatakan bahwa anak-anak dilarang membeli dan mengkonsumsi rokok. Ini sama artinya dengan, kalau ditemukan anak-anak yang membeli dan mengkonsumsi rokok, anak tersebut akan diberi sanksi, bahkan kalau perlu dipidanakan. Logika apa yang digunakan selain bahwa pasal ini adalah pasal titipan industri rokok? Betapa senangnya industri rokok atas pasal ini, karena beban tanggung jawabnya dialihkan kepada anak-anak Indonesia. Sebuah pasal yang amat berbahaya, bahkan sadistik! Benar, upaya Kementerian Kesehatan membuat RPP ini patut diapresiasi. Namun, selain cacat pada proses dan substansinya, keberpihakan dan keseriusan Kementerian Kesehatan terhadap RPP ini dan pengendalian tembakau secara umum menjadi layak dipertanyakan. Bahkan, patut diduga dengan kuat, ada oknum di Kementerian Kesehatan yang “bermain mata”dengan industri rokok.
Konkretnya, masih ada “kutu busuk”di Kementerian Kesehatan yang bermain patgulipat dengan industri rokok. Ingat, dalam kasus penghilangan ayat tembakau pada Undang-Undang Kesehatan yang terdahulu, dua oknum pejabat Kementerian Kesehatan diduga terlibat dalam kasus dimaksud.
Kesimpulan Sebagus dan sekuat apa pun, RPP Pengamanan Produk Tembakau hanyalah aturan yang sangat teknis dan sektoral. Sehingga, menjadi sangat berlebihan jika RPP ini diklaim akan mematikan industri tembakau.
Petani tembakau pun tak pantas turut uring-uringan dengan adanya RPP ini. Tak secuil pun pasal dan ayat pun dalam RPP ini yang menyinggung eksistensi petani tembakau. Padahal, secara empiris, yang membuat petani tembakau nasibnya terus nestapa adalah industri rokok. Harga dan kualitas daun tembakau milik petani praktis ditentukan oleh industri rokok. Petani tembakau adalah sapi perah industri rokok. Karena itu, sudah waktunya negara ini memberi perlindungan terhadap warga negaranya dari dampak tembakau yang merusak. Kecuali jika aspek kesejahteraan dan kesehatan warga bangsa dan mayoritas masyarakat miskin di Indonesia menjadi obyek yang dipertaruhkan dan dieksploitasi secara sistemik oleh industri rokok. Pada akhirnya, kalangan aktivis pengendalian tembakau tetap harus bekerja keras dan waspada jika tidak ingin RPP ini menjadi ajang bancakan antara industri rokok dan para birokrat oportunis!

 

Tulus Abadi – Pengurus Harian YLKI

(Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 22 Mei 2011)