Hingar-bingar perayaan mudik Lebaran baru saja usai. Jutaan masyarakat yang menyemut ke ranah perdesaan, kini mendarat kembali ke pangkuan ibu kota Jakarta, dan kota besar lain di Indonesia. Jakarta pun telah pulih kembali dari penyakit akut yang dideritanya; macet, macet, dan macet. Namun demikian, selesainya arus mudik Lebaran, bukan berarti selesainya berbagai persoalan yang melingkupi selama proses arus mudik. Masih tersisa berbagai persoalan yang memerlukan penanganan konkrit, dan komprehensif.

Bagaimanakah potret arus mudik Lebaran 2010 ini? Hasil evaluasi oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub) berikut ini layak dikritisi.

 

Pemudik turun

 

Kemenhub mencatat, jumlah pemudik yang menggunakan moda transportasi darat, kereta api, laut maupun udara, mengalami penurunan. Pada 2009, jumlahnya 13.980.378, tetapi pada 2010 jumlahnya hanya13.931.204 (turun 1,59%). Sayangnya, Kemenhub tidak menjelaskan mengapa pemudik yang menggunakan moda transportasi umum turun.

 

Sedikit menggembirakan, jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor juga turun. Jika pada 2009 jumlahnya mencapai 2,7 juta, maka pada arus mudik 2010 “hanya” 2,3 jutaan (turun 15 persen). Tetapi, di sisi lain, jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi roda empat, meningkat signifikan; pada 2009 hanya 1,30 juta, tetapi pada 2010 mencapai 1,54 juta (naik 18 persen).

 

Masih tingginya penggunaan sepeda motor, adalah tengara tingkat kesadaran masyarakat tentang risiko mudik dengan sepeda motor belum tumbuh secara meyakinkan. Himbauan oleh kepolisian agar menghindari mudik dengan sepeda motor, terbukti belum efektif. Seharusnya bukan sekadar himbauan, tetap dibarengi law enforcement (“tilang”), khususnya  pemudik yang menggunakan sepeda motor melebihi kapasitas.

 

Ekses sosial ekonomi

 

Patut dipertanyakan, mengapa penggunaan sepeda motor masih tinggi, dan bahkan penggunaan kendaraan roda empat meningkat tajam?  Pertama, ini menunjukkan kepercayaan masyarakat pada angkutan umum amat rendah, khususnya pada bus dan kereta api. Evaluasi Kemenhub menunjukkan, bahwa jumlah penumpang kereta api turun hingga sebesar 1,59 persen (pada 2009  berjumlah  2, 43 juta, pada 2010 hanya 2,39 juta). Ketidakpercayaan publik terhadap dua moda transportasi umum tersebut lebih dipicu oleh kinerja dan kualitas pelayanan yang jauh dari standar.

 

Adapun efek sosial ekonomi yang secara signifikan terasa adalah; pertama, melambungnya permintaan pasokan bahan bakar minyak. Terbukti, jika secara reguler konsumsi bahan bakar minyak “hanya” 6,2 juta liter per hari, maka selama 14 hari arus mudik permintaan meningkat drastis hingga 9,3 juta liter per hari (naik 52 persen). Padahal, mayoritas pengguna kendaraan pribadi adalah penikmat bahan bakar minyak bersubsidi. Kedua, kemacetan yang amat parah, yang terjadi di hampir semua titik dan ruas jalan. Fakta menunjukkan, misalnya, untuk jarak tempuh Jakarta-Solo diperlukan waktu hampir 30 jam (biasanya berkisar 15 jam). Atau, Jakarta-Cirebon diperlukan waktu tempuh 12 jam (biasanya 6-7 jam). Demikian juga saat arus balik, kemacetan mengular juga tak terbendung.

 

Mudik Berdarah

Boleh saja Pemerintah menepuk dada, bahwa tingkat kecelakaan selama arus mudik menurun hingga 60 persen. Memang, data statistik  Mabes Polri menunjukkan, jumlah pemudik yang meninggal pada 2009 mencapai 702 orang, korban luka berat  563 orang, dan korban luka ringan 1.132 orang. Sedangkan pada arus mudik 2010 jumlah korban meninggal turun menjadi 311 orang, korban luka berat 418 orang, dan korban luka ringan mencapai  855. Bagaimana menyikapi data ini? Pertama, kendati turun, jumlah korban meninggal jelas tidak bisa dianggap kecil. Bahkan, bukan hal yang salah jika arus mudik 2010 layak diberikan gelar “mudik berdarah”. Jumlah korban meninggal yang masih mencapai 311 orang, jelas bukan angka kecil. Bahkan setara dengan penumpang 3 (tiga) buah pesawat Boeing seri 737, jatuh bersamaan. Lebih mengenaskan lagi, 76 persen dari korban meninggal adalah pengguna sepeda motor.

 

Kedua, data tersebut patut diduga manipulatif. Sebab, pada H plus 2 mudik Lebaran, Mabes Polri telah melontarkan data bahwa tingkat kecelakaan, khususnya korban meninggal lebih tinggi dibanding arus mudik 2009  (Kompas, 14/09/2010), yaitu,  jumlah kecelakaan 1.811 kasus, korban meninggal dunia 435 orang, korban luka berat  563 orang, korban luka ringan 1.132 orang. Itu baru data H plus 2, bagaimana dengan data hingga H plus 7? Tentunya akan lebih melonjak, atau setidaknya sama. Entah pihak mana yang tidak jujur dengan data (manipulatif), pihak Mabes Polri-kah atau pihak Kemenhub-kah, atau dua-duanya.

 

Simpulan

Sekalipun layak mendapat apresiasi, toh masih terlalu pagi, jika Pemerintah diberikan score tinggi selama mengelola arus mudik 2010. Bahkan, dalam beberapa hal pokok, score-nya masih mengkhawatirkan: masih tingginya penggunaan sepeda motor, masih tingginya korban meninggal, dan tren menurunnya penggunan sarana transportasi umum. Ke depan, tak ada pilihan lain, pemerintah musti memfasilitasi arus mudik dengan sarana transportasi umum masal. Pilihan yang rasional adalah kereta api. Seharusnya tidak ada kendala signifikan, karena toh infrastruktur kereta api sudah siap, bahkan beberapa ruas yang menuju Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur sudah double track. Dari skema pendanaan pun tidak ada persoalan. Alihkan saja dana subsidi bahan bakar minyak untuk kendaraan pribadi menjadi subsidi untuk sektor perkeretaapian. Kecuali jika Pemerintah membiarkan APBN-nya jebol, membiarkan sektor perkeretaapian mati, dan pemudik pun dibiarkan berjibaku dengan kemacetan plus bersimbah darah karena tingginya kecelakaan. ***

 

Tulus Abadi – Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)