Dibandingkan dengan lembaga negara atau komisi negara yang lainnya seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atau Komnas HAM, keberadaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) relatif kurang dikenal masyarakat. Dari indikator liputan media, nama KPPU jauh lebih sering muncul di media dibandingkan dengan BPKN.

 

Padahal ditengah-tengah marak dan massive-nya pelanggaran hak-hak konsumen,  keberadaan BPKN seharusnya bisa unjuk gigi sebagai garda depan pembela konsumen. Tidak hanya karena BPKN adalah lembaga negara yang kedudukannya dijamin oleh UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Tapi dari sisi pendanaan juga mendapat kucuran dana pemerintah yang tidak kecil, hampir Rp 10 milyar pertahun.

 

Pada 16 Nopember 2009 berdarkan Keppres No.80/P/2009 tanggal 11 Oktober 2009, Menteri Perdagangan Marie Pangestu atas nama Presiden melantik dan mengambil sumpah 20 anggota BPKN baru periode 2010 -2014.  Anggota BPKN periode ini, lebih banyak dibandingkan periode sebelumnya yang  cuma 17 orang. Sebagian besar anggota BPKN periode sebelumnya ”terpilih” kembali menjadi anggota BPKN periode ini.

 

Tafsir terhadap duduknya  sebagian besar  anggota BPKN lama dalam BPKN yang baru adalah, pertama, sebagai anggota BPKN lama merasa ”berhasil” dalam menjalankan visi dan misi BPKN sehingga layak dan perlu dipertahankan untuk duduk kembali dalam anggota BPKN periode  20020 – 2014.

 

Kedua, ini bagian dari fenomena “candu kekuasaan”. Keanggotaan BPKN sebagai lembaga negara  adalah juga bagian dari kekuasaan. Dengan demikian, ibarat candu juga ada kecenderungan untuk menikmati dan mempertahankan kekuasaan.

 

Dari sisi kapabilitas anggota BPKN yang baru, tidak ada alasan untuk tidak membuat ”prestasi” besar dalam membela dan melindungi ratusan juta konsumen di Indonesia. Ada tokoh LSM perlindungan konsumen, akademisi, pelaku usaha dan birokrat pemerintah dengan jam terbang puluhan tahun.

 

Dalam sambutan pelantikan, Marie Pangestu mengatakan, salah satu agenda BPKN yang baru adalah menuntaskan revisi UUPK. Di tengah kompleksitas masalah perlindungan, rasanya terlalu kecil apabila revisi UUPK menjadi agenda utama anggota BPKN baru. Ada sejumlah agenda yang jauh lebih penting dan strategis yang bisa dilakukan BPKN.

 

Pertama, mengacu pasal 29 ayat (1) UUPK, bahwa Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Selanjunya dalam ayat (2) dijelaskan, Pembinaan oleh Pemerintah dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.

 

Sepuluh tahun sejak UUPK diundangkan, baru satu kementrian yang telah menindak-lanjuti amanat pasal 29 UUPK, yaitu Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  dalam bentuk dikeluarkan PerMen ESDM No.19 / 2008  tentang Pedoman dan tatacara perlindungan konsumen pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.

 

Adapun indikator perlindungan konsumen hilir minyak dan gas berdasarkan
PerMen ESDM No.19 / 2008 tentang  Pedoman dan Tatacara Perlindungan Konsumen pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi: (1) Adanya jaminan ketersediaan produk; (2) Adanya standar dan mutu produk; (3) Keselamatan, keamanan dan kenyamanan; (4) Harga pada tingkat yang wajar; (5) Kesesuaian takaran / volume / timbangan; (6) Jadwal waktu pelayanan; (7) Adanya prosedur dan mekanisme penangangan pengaduan konsumen.

 

BPKN seharusnya bisa mendesak kementrian / departemen yang belum menindaklanjuti amanat pasal 29 UUPK dalam bentuk membuat pedoman teknis perlindungan konsumen, sebagaimana sudah dilakukan kementrian ESDM.

 

Kedua, sampai saat ini upaya perlindungan konsumen masih terpecah-pecah, belum ada sinkronisasi antara pelaku usaha, pemerintah dan (lembaga) konsumen. Untuk itu perlu ada blueprint perlindungan konsumen dalam bentuk Arsitektur Perlindungan Konsumen Indonesia (APKI).

 

Dalam APKI, selain dijelaskan pilar-pilar dalam perlindungan konsumen, juga ada uraian tentang hal yang harus dilakukan masing-masing pilar dalam upaya perlindungan konsumen. APKI ini yang menjadi acuan semua pihak dalam upaya menciptakan perlindungan konsumen di Indonesia.

 

Ketiga, BPKN menjadi pusat aduan konsumen Nasional. Salah satu masalah terbesar perlindungan konsumen di Indonesia adalah masih terbatasnya acces point pengaduan konsumen. BPKN seharusnya bisa menjadi pusat aduan konsumen nasional. Benar bahwa BPKN tidak punya kewenangan untuk menyelesaikan sengketa konsumen, karena itu menjadi kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Namun demikian, tidak semua aduan konsumen menuntut adanya penyelesaian, tetapi banyak konsumen yang ingin agar suaranya didengar. Mencari pihak yang mau mendengar keluhan konsumen di Indonesia bukan perkara yang mudah.

 

Dengan sumber aduan konsumen tersebut, untuk selanjutnya BPKN menyusun rekomendasi kebijakan, yang tentu saja berisi solusi terhadap berbagai persoalan konsumen, untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti.

 

Keempat, sudah waktunya BPKN membenahi aspek transparansi dalam pengelolaan lembaga. Terus terang selama ini tidak banyak yang publik ketahui, berapa anggaran BPKN. Dari anggaran yang ada, berapa persen dialokasikan untuk biaya program dan berapa persen untuk biaya personil. Transparansi BPKN mutlak perlu dilakukan, tidak saja karena perintah UU Kebebasan Informasi Publik. Tetapi juga hanya dengan transparansi kepercayaan publik akan tumbuh. Kita tunggu kiprah BPKN.

 

Sudaryatmo – Ketua Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)