Secara konvensional masalah perlindungan konsumen selalu diidentikan dengan persoalan makanan tercemar, produk daluwarsa, misleading advertising dan produk cacat. Ini tidak salah. Namun dalam sistem perdagangan yang semakin modern dan komplek, persoalan perlindungan konsumen juga semakin kompleks.

 

Salah satu tantangan perlindungan konsumen ke depan adalah memerangi pasar yang distortif, tidak efisien dan marak dengan berbagai praktik persekongkolan bisnis, ujungnya menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar bagi konsumen.

 

Apabila pelanggaran hak-hak konsumen akibat mutu barang di bawah standar bisa dirasakan akibatnya secara langsung oleh konsumen, pelanggaran hak-hak konsumen karena struktur market yang distortif, sering kali konsumen tidak sadar bahwa hak-haknya sebagai konsumen dilanggar karena harus membayar harga yang tidak wajar dari yang seharusnya konsumen bayar.

 

Tulisan pendek ini akan mencoba mencari keterkaitan antara kebijakan kompetisi sebagai instrumen dalam upaya perlindungan konsumen Indonesia.

 

Hukum Perlindungan Konsumen

 

Diskursus tentang kebutuhan akan perlunya Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia dimulai tahun 1975. Pada 15-16 Desember 1975 Pusat Studi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyelenggarakan seminar masalah perlindungan konsumen. Kemudian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman pada 1979/1980 mengadakan penelitian tentang perlindungan konsumen di Indonesia.

 

Kemudian pada 1980/1981 BPHN menyusun gagasan tentang perlindungan konsumen secara lebih utuh dalam bentuk naskah akademik Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Baru pada 1992 Departemen Perdagangan bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia membuat Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen.

 

Perkembangan proses legislasi Undang-undang Perlindungan Konsumen mengalami perkembangan yang signifikan pasca terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada 1997. Salah satu faktor yang ikut mendorong pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen di DPR adalah masuknya Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Rancangan Undang-undang Persaingan Usaha dalam letter of Intens antara Pemerintah Indonesia dengan IMF.

 

Atas usulan inisiatif DPR, pada 1998 Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen mulai dibahas dan akhirnya pada 20 April 1999 di masa era pemerintahan Presiden B.J. Habibie disahkan sebagai Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (lihat tabel 01 : kilas balik lahirnya UU Perlindungan Konsumen ).

 

Table  01 : Kilas Balik Lahirnya UU Perlindungan Konsumen

No

Tanggal / Era

Lembaga

Kegiatan

1 11 Mei 1973 Ibu Lasmidjah Hardi bersama dengan sejumlah tokoh diJakartamendirikan Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI)
2 15-16 Desember 1975 Pusat  Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum UniversitasIndonesia Mengadakan seminar tentang perlindungan konsumen 
3 1979/1980 Badan Pembinaan Hukum Nasional Membuat penelitian  tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia
4 1980/1981 Badan Pembinaan Hukum Nasional Membuat naskah akademik perundang-undangan tentang perlindungan konsumen
5 1981 YLKI Membuat sumbangan pemikiran tentang Rancangan Undang-undangtentang Perlindungan Konsumen
6 1992 Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum UniversitasIndonesia Membuat Rancangan Undang-undangPerlindungan Konsumen 
7 1997 Departemen Perdagangan dan Perindustrian RI Membuat Rancangan Undang-undangPerlindungan Konsumen
8 1997 Indonesiadilanda krisis ekonomi
9 1998 Presiden Suharto Presiden Suharto atas nama Pemerintah Republik Indonesiamenandatangani  Letter of Intent (LoI) dengan IMF. Undang-undangPerlindungan Konsumen dan Undang-undangPersaingan Usaha masuk dalam Loi.
10 Mei 1998 Terjadi pergantian kepemimpinan dari Presiden Suharto ke Presiden B.J. Habibie
10 Desember 1998 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) DPR mengajukan Rancangan Undang-undangusul inisiatif tentang Perlindungan Konsumen
11 20 April 1999 Presiden BJ Habibie Menyetujui dan mengesahkan Undang-undangPerlindungan Konsumen 

 

 

Adapun tujuan Perlindungan Konsumen menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen sebagai berikut;

  1. Konsumen: (1) meningkatkan kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya; (2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindari ekses negatif pemakaian barang/jasa; (3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya;
  2. Pelaku usaha: menumbuhkan kesadaran pelaku usaha sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertangggung jawab;
  3. Sistem perlindungan konsumen: menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
  4. Kualitas barang/jasa: meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin: (1)  kelangsungan usaha produksi barang/jasa; (2) kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan  (pasal 3 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

 

Hukum Persaingan Usaha

 

Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak secara eksplisit mengatur tentang persaingan usaha, namun tentang  prinsip-prinsip  “demokrasi ekonomi” diatur dalam pasal 33 UUD 1945, bahwa : (a) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan ; (b) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (c) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

 

Dalam penjelasan dijabarkan lebih lanjut, perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Untuk mencapai tujuan tersebut, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang. Dengan demikian, monopoli hanya boleh dilakukan oleh negara dengan untuk mewujudkan kemakmuran bagi semua orang.

 

Diskursus tentang pentingnya Indonesia memiliki Undang-undang Persaingan Usaha dimulai pada 1993 dalam bentuk dibuatnya rancangan akademik undang-undang tentang persaingan di bidang perdagangan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan  Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan.

 

Pada 1998, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia bekerjasama dengan Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian dan Perdagangan menghasilkan rancangan akademik Undang-undang Perdagangan, dimana di dalamnya di atur mengenai persaingan usaha di bidang perdagangan.

 

Akhirnya pada 5 Maret 1999 Presiden BJ.Habibie mengesahkan Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terdiri dari sembilan bab dan 53 pasal (lihat tabel 02: Profil UU Perlindungan Konsumen dan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ).

 

Table  02 : Profil UU Perlindungan Konsumen dan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

 

No

Tentang

UU No. 8 Tahun 1999

UU No. 5 Tahun 1999

1 Judul Perlindungan Konsumen Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
2 Bab XV XI
3 Pasal 65 53
4 Substansi
  • Perbuatan pelaku usaha yang dilarang
  • Pengaturan klausula baku(standard contract)
  • Tanggung jawab pelaku usaha
  • Perjanjian yang dilarang
  • Kegiatan yang dilarang
  • Posisi dominan
5 Kelembagaan
  • Badan Perlindungan Konsumen Nasional
  • Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
  • Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
  • Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Commission for the Supervision of Bussines Competition )
6 Disahkan  / diundangkan  20 April 1999 5 Maret  1999
7 Efektif berlaku  20 April 2000 5 Maret   2000
8 Lembaran Negara 1999 No. 42 1999 No. 33

Secara substansi, dalam UU No. 5 Tahun 1999 ada enam kelompok besar pengaturan, yaitu : perjanjian yang dilarang, tindakan atau kegiatan yang dilarang, penyalahgunaan posisi dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, penegakan hukum dan ketentuan lain-lain.

 

Perjanjian yang dilarang terhadap dua atau lebih pelaku usaha, meliputi: praktik oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Adapun tindakan atau kegiatan pelaku usaha yang dilarang, meliputi: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan.

 

Sedangkan penyalahgunaan posisi dominan, meliputi: larangan menggunakan posisi dominan yang secara langsung atau tidak langsung, untuk menetapkan syarat perdagangan guna menghalangi konsumen, membatasi pasar dan pengembanan teknologi atau menghambat produksi dan/atau pemasaran pesaing; rangkap jabatan dan pemilikan saham.

 

Dalam hal aspek kelembagaan, UU No.5 Tahun 1999 menetapkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Adapun kewenangan KPPU adalah sebagai berikut : mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999, melakukan penilaian perjanjian, memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, menerima laporan, memutus dan menjatuhkan sanksi  administrasi.

 

Ada dua sanksi dalam UU No.5 Tahun 1999, yaitu: (1)  sanksi administrasi (menjadi kewenangan KPPU)  berupa pembatalan perjanjian, penghentian suatu kegiatan tertentu, penetapan ganti rugi dan/atau pengenaan denda antara Rp 1 M s/d Rp 25 M; (2) sanksi pidana (kewenangan peradilan umum), berupa pidana denda antara Rp 1 M s/d 100 M, pidana kurungan antara 3 s/d 6 bulan, pidana tambahan berupa pencabutan ijin usaha, penghentian kegiatan tertentu, larangan untuk menduduki posisi direksi.

 

Namun hal yang juga perlu dicatat, jauh sebelum lahirnya UU No.5 Tahun 1999, sudah ada sejumlah regulasi yang sudah mengatur tentang persaingan secara parsial. Tetapi pada saat yang sama, juga masih banyak regulasi yang secara substansi bernuansa anti persaingan.

 

Kebijakan Kompetisi dan Perlindungan Konsumen

 

Di Indonesia diskursus tentang arti pentingnya kebijakan kompetisi dalam upaya perlindungan konsumen dimulai pada seminar memperingati 20 tahun YLKI, kerjasama YLKI dengan harian Kompas (8 Mei 1993). Salah satu pembicara seminar Didik J. Rachbini, membawakan makalah berjudul Industrialisasi dan Perlindungan Konsumen.

 

Dalam paparannya Didik J. Rachbini menjelaskan, arah gerakan konsumen pada masa depan tidak saja kasus-kasus fisik, seperti kualitas, kontaminansi bahan kimia dan sebagainya. Dalam konteks yang lebih jauh, gerakan-gerakan konsumen pun tetap harus masuk ke bidang politik ekonomi, bila kepentingan di langgar, misalnya, ketika suatu barang menjadi kebutuhan dari hulu sampai hilir. Konsekuensi dari “kriminalitas ekonomi” seperti ini adalah pembentukan harga yang tidak wajar, sehingga muncul rente berlebihan yang diambil oleh produsen atau pengusaha dari konsumen. (Didik J. Rachbini dalam Zumrotin K. Susilo, 1996, p.xi-xii).

 

Selanjutnya pada 1996, YLKI menerbitkan buku karangan Zumrotin K. Susilo berjudul : Penyambung Lidah Konsumen. Dalam kata pengantar berjudul “Perlindungan konsumen di dalam sistem ekonomi yang modern” oleh Didik J. Rachbini, dijelaskan di dalam ekonomi Indonesia masih banyak sekali komoditas-komoditas strategis, yang masuk ke dalam skema perdagangan yang distrotif dan tidak jujur karena struktur pasarnya bersifat monopoli, oligopoli dan terdapat skema kartel. Ini berarti bahwa berjuta-juta masyarakat konsumen berada pada posisi yang lemah dan kepentingannya tergantung kepada segelintir produsen yang kuat karena penguasaan modal yang besar. Agenda YLKI perlu juga masuk ke dalam diskursus ekonomi politik seperti ini, bukan sekadar perdebatan tutup botol Aqua yang rusak (meskipun masalah ini penting), tetapi ada konsekuensi untuk membangun data base yang kuat dan peneliti yang profesional. (Didik J. Rachbini dalam Zumrotin K. Susilo, 1996, p. Xiii).

 

Di level gerakan konsumen global, pada 1996 Consumer International (CI) menerbitkan Briefing Paper  No.6/September 1996 tentang: ”Competition in the Global Market : Making it Work for Consumer“ . Menurut CI asumsi dasar dalam pasar bebas adalah adanya arus informasi yang sempurna yang memberi kemungkinan pada pembeli dan penjual untuk memilih barang dan jasa secara rasional serta adanya kemudahan keluar masuk barang ke dalam pasar tanpa halangan. Dalam kenyataannya asumsi dasar ini tidak selalu menjadi kenyataan, mengingat dalam praktik, banyak sekali peraturan yang bernuansa anti persaingan seperti :

 

(1)   Tied selling: penjual memaksa pembeli untuk membeli barang dan jasa lebih dari pada yang dibutuhkan pembeli;

(2)   Resale price maintenance: penjual merancang harga yang dapat dibebankan kepada konsumen;

(3)   Exclisive dealing: dua penjual atau lebih menciptakan monopoli lokal dengan persetujuan untuk bebagi pasar dalam wilayah-wilayah;

(4)   Reciprocal exclusivity: penjual menyetujui hanya menjual barang dan jasa dari pemasok saja;

(5)   Refusal to deal: satu pemasok memaksa seorang pembeli untuk mentaati satu mandat  tertentu di bawah ancaman penarikan barang dan jasa;

(6)   Differential pricing: pemasok menentukan harga berbeda kepada pembeli yang berbeda atas dasar selain mutu dan jumlah yang dipesan;

(7)   Predatory pricing: penjual menentukan perbedaan harga dengan tujuan untuk mendorong pesaing keluar dari bisnis;

 

Masih menurut CI dari perspektif kepentingan konsumen, pasar bebas juga memperoleh berbagai tantangan, seperti:

 

(1)   Cross border business agreement: a) merger dan akuisisi: satu perusahaan atau lebih  bergerak untuk menciptakan monopoli diluar batas yuridiks satu negara; b) kartel international: satu tindakan bersama dari beberapa perusahaan berbagai negara untuk membagi pasar dan menetapkan harga; c) persengkokolan bisnis strategis: persengkokolan diantara perusahaan perusahaan yang bersaing untuk mengembangkan produk atau penelitian;

(2)   Industrial policy: a) kartel ekspor: persetujuan diantara perusahaan atas harga ekspor; b) kartel impor: satu tanggapan defensif oleh perusahaan-perusahaan yang membeli barang dari kartel ekspor; c) kartel domestik: satu cara dari perusahaan untuk membuat akses pasar bagi perusahaan asing;

(3)   Trade policy : a) undang-undang anti dumping: satu cara untuk menangkal perusahaan asing membanjiri barang dan jasa yang lebih murah dari harga yang ditetapkan oleh perusahaan di dalam negeri; b) penetapan target impor; c) penetapan kuota ekspor.

 

Tak Eksplisit

Dibandingkan dengan tujuan Undang-undang Persaingan Usaha di sejumlah negara, secara eksplisit memang ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen (lihat tabel 03: Perbandingan tujuan pengaturan persaingan usaha sejumlah negara ). Dalam UU No.5 Tahun 1999, secara eksplisit tidak ada rumusan yang secara khusus ditujukan melindungi kepentingan konsumen, tetapi dalam penjelasan umum UU No.5 Tahun 1999 dijelaskan, Undang-undang No.5 Tahun 1999 disusun dengan tujuan untuk menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen.

 

Adapun tujuan pembentukan UU No.5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

(a)    Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

(b)   Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.

(c)    Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

(d)   Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegitan usaha ( pasal 3 UU No. 5 tahun 1999 ).

 

Tabel 03: Perbandingan Tujuan (Objective ) UU Persaingan Usaha sejumlah negara

 

No

Negara

Regulation

Objective

1 Indonesia Article 3 Law No. 5 / 1999 conerning ban on monopolistic practices an unfair business competition. The objective of this law :

  1. To maintain public interest and improve the efficiency of the national economi as one of the means to improve pulbic selfare;
  2. To create a conducive business climate throught healthy business competition, thus securing equal business opportunity for large, middle ans small entrepreneurs;
  3. To prevent monopolistic practice and / or unfar business competition by the entrepreneurs ; and
  4. To create effectiveness and efficiency in business activities ;
2 Canada Competition Act (Chapter C-34, Part 1, Purpose ) 1965 The purpose of this Act is to mantain and encourage competition in Canada in order to promote the efficiency and adaptability of the Canadian economy, in order to expand opportunities for Canadian participation in world market  while at the same time recognizing  the role of foreign competition in Canada, in order to ensure that small and medium-sized enterprises have an equitable opportunity to participate in Canadian economy and in order to provide consumers with competitive price and product choices.
3 South Africa Competition Act 9 (Chapter I)  1998 The purpose of this Act is to promote and maintain competition in the Republic in order :

  1. To promote the effisiency, adaptability and development of the economy;
  2. To promote consumers with competitive price and product choice;
  3. To promote employment and advance the s0cial and economic welfare of South Africans;
  4. To expand opportunities for South African participation in world market and recognise the role of foreign competition in the republic;
  5. To ensure that small and medium-sized enterprise hav an equitable opportunity to participate in the economy; and
  6. To promote a greater spread of ownership, in particular to increase the ownership stake of historically disadvantaged persons.
4 South Korea Monopoly Regulation and Fair Trade Act (Article 1) 1980 The purpose of this Act is to encourage fair and free economic competition by prohibiting the abuse of market-dominant  positions and the exessive concentration of economic  power  and by regulating improper concerted acts and unfair business parctices, thereby stimulating creative business activities, protecting consumers, and promoting the balanced development of national economy.
5 Australia Trade Practices Act (Sect. 2)  1974 The object of this Act is to enchane the welfare of Australian through the promostion of competition and fair trading and  provosion for consumer protection.

 

 

Kepentingan Konsumen

Dalam UU Persaingan Usaha terdapat beberapa pasal menempatkan kepentingan  konsumen sebagai bahan pertimbangan dalam mengukur tingkat persaingan, yaitu;

Dalam pasal 5 ayat (1): pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

 

Serta pasal 19 huruf b: pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: b) menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha persaingan untuk tidak melakukan hubungan usaha pesaingnya itu.

 

Kemudian pasal 25 ayat (1) huruf b: pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: …b). membatasi pasar dan pengembangan teknologi.

 

Sementara itu, dimensi kepentingan konsumen dalam indikator penilaian tingkat persaingan, pertama, Relevan market,dimana akses konsumen dalam mendapatkan barang dan/jasa di pasar yang relevan. Kedua, Right to entry.Kebebasan konsumen membangun hubungan dengan pelaku usaha. Serta ketiga; Right of fair price. Konsumen mendapatkan tingkat harga yang wajar.

 

Upaya KPPU

 

Dalam menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, ada dua upaya yang dilakukan KPPU, yaitu  pencegahan dan penegakan hukum (law enforcement). Dalam konteks upaya pencegahan, ketika masa awal-awal berdirinya KPPU, adalah menghentikan praktik harga tiket pesawat yang dilakukan oleh INACA.

 

Dengan adanya penghentian praktik kartel harga tiket pesawat, terjadi penurunan harga tiket pesawat secara signifikan di sejumlah rute penerbangan domestik. Kasus penghentian kartel harga tiket pesawat juga sekaligus menjadi bukti manfaat kehadiran UU No.5 Tahun 1999 bagi kepentingan konsumen.

 

Selain upaya pencegahan, KPPU juga melakukan upaya penindakan dalam bentuk penanganan perkara yang diakhiri dengan adanya putusan KPPU, baik perkara berangkat dari laporan masyarakat maupun perkara yang merupakan tindak lanjut hasil penyelidikan KPPU.

 

Setidak-tidaknya ada sejumlah putusan KPPU, dimana substansi perkara dalam putusan KPPU tersebut di atas memiliki dua dimensi, yaitu dimensi persaingan usaha dan perlindungan konsumen. Antara lain putusan perkara dalam kasus kepemilikan silang Kelompok Usaha Temasek dalam industri telekomunikasi di Indonesia (Putusan No.7/KPPU-L/2007), putusan perkara kartel harga SMS (Putusan KPPU No.26/KPPU-L/2007). putusan dalam kasus minyak goreng sawit (Putusan KPPU No.24/KPPU-I/2009), putusan perkara penetapan harga fuel surcharge dalam industri penerbangan domestik (Putusan No.25/KPPU-I/2009), putusan perkara industri farmasi kelas terapi Amlodipine (Putusan No.17/KPPU-I/2010). (lihat tabel 04: Perbandingan Putusan KPPU).

 

Tabel 04. Perbandingan Putusan KPPU

No

Putusan KPPU

Perihal

Fakta hukum

Kerugian konsumen

Pelanggaran

Hukuman

Putusan  No. 7/KPPU-L/2007 Kepemilikan silang kelompok usaha Temasek dalam industri telekomunikasi di Indonesia Pasca divestasi PT Indosat (2002), dimenangi oleh Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT), anak perusahaan Temasek, berakibat struktur industri seluler Indonesia mengalami kepemilikan silang.Implikasi  struktur kepemilikan silang “kelompok usaha Temasek” mengakibatkan price leadership industri telekomunikasi seluler. PT Telkomsel sebagai market leader menetapkan kebijakan tarif jasa secara eksesif. Dampaknya, PT Telkomsel menikmati eksesif profit.

 

Konsumen harus membayar eksesif tarif, akibatnya selama 2003-2006 menimbulkan kerugian konsumen berkisar Rp 14,769 triliun hingga Rp 30,808 triliun.  1) “Kelompok usaha Temasek” melanggar pasal 27 huruf a UU No 5/1999;2) PT Telkomsel melanggar pasal 17 ayat (1) UU No 5/1999;

 

denda Rp 25 milyar (kelompok usaha Temasek ) dan Rp 15 milyar (PT Telkomsel). 
2 Putusan KPPU No. 26/KPPU-L/2007 Kartel tarif SMS Terjadi kartel harga SMS off-net pada 2004-2007 dilakukan XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie dan Mobile-8. Secara materi kartel masih efektif sampai 1 April 2008. Sedangkan Smart baru terlibat dalam kartel SMS per 3 September 2007.Dari kisaran harga kartel SMS off-net antara Rp 250 – Rp 350 sekali kirim, sementara hasil perhitungan KPPU harga kompetitif layanan SMS adalah Rp 114 sekali kirim. Dengan menggunakan selisih antara pendapatan pada harga kartel dengan pendapatan harga kompetitif SMS off-net dari ke-enam operator, diperoleh kerugian konsumen Rp 2.827.700.000  (dua trilyun delapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus juta rupiah).  PT Excelkomindo Pratama,Tbk., PT Telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telecom, PT mobile-8 Telecom,Tbk., PT Smart telecom  melanggar pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999;  denda masing-masing Rp 25 milyar (PT Excelkomindo Pratama, Tbk,  PT Telkomsel, dan PT Telkom, Rp 18 milyar ;PT Bakire Telecom, Rp 4 milyar ;

PT Mobile-8 Telecom,Tbk., Rp 5 milyar ;

3 Putusan KPPU No.24/KPPU-I/2009 Minyak goreng sawit Minyak goreng kelapa sawit, merupakan komoditi paling banyak dikonsumsi masyarakat.  Kontribusi CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng adalah 87 % dari total biaya produksi. Struktur pasar industri minyak goreng yang oligopoli , mendorong perilaku produsen untuk menentukan haarga.Hasil monitoring KPPU menunjukkan, perusahaan minyak goreng sawit terintregasi dari hulu sampai hilir sebesar 68 % , sehingga memiliki kekuatan dalam pengendalian dalam pembelian dan penjualan.

Masalah muncul ketika terjadi penurunan harga CPO secara signifikan pada April – Desember 2008, tidak direspon secara proporsional oleh produsen dalam menetapkan harga jual.

 

Hasil kajian dan monitoring KPPU menunjukkan  adanya kerugian konsumen pada periode April – Desember 2008 sebesar Rp 1,2 trilyun untuk minyak goreng kemasar bermerk dan Rp 374 milyar untuk minyak goreng curah.  1) pasal 4 UU No. 5 tahun 1999, dan2) pasal 5 UU No. 5 tahun 1999

 

KPPU memutus bersalah terhadap 20 (dua puluh) perusahaan minyak goreng dan menghukum denda total Rp 290 milyar. 
4 Putusan No. 25/KPPU-I/2009 Penetapan harga fuel surcharge dalam industri penerbangan domestik Fuel surchargeadalah komponen biaya baru dalam industri penerbangan. Dipakai untuk menutup biaya yang muncul akibat  kenaikan harga avtur. Komponen biaya ini harus dibayar konsumen.Perkembangannya , harga fuel surcharge terus naik seiring perkembangan harga avtur. Masalanya, ketika harga avtur turun, fuel surcharge masih diberlakukan dengan besaran cukup tinggi. Logikanya, naik turunnya fuel surcharge berbanding lurus dengan fluktuasi harga avtur.

Berdasarkan pantauan KPPU, fuel surcharge selain berfungsi menutup biaya akibat  kenaikan harga avtur, juga berfungsi menutup biaya lain yang meningkat dan ada kemungkinan meningkatkan pendapatan maskapai.

 

sejak 2006 s/d 2009 excessive fuel surchargemenimbulkan kerugian konsumen antara Rp 5 triliun s/d 13,8 triliun.  1) pasal 5 UU No.5 Tahun 1999;2) pasal 21UU No.5 Tahun 1999. KPPU memutuskan bersalah pada 9 (sembilan) maskapai yang melakukan penetapan harga dan menghukum denda total Rp 80 miliar dan total ganti rugi sebesar Rp 505 milyar. 
5 Putusan No. 17/KPPU-I/2010 Industri farmasi kelas Terapi Amlodipine Berdasarkan hasil kajian dan investigasi KPPU, ditemukan pelanggaran yang dilakukan kelompok usaha Pfizer dan PT Dexa Medica, yaitu telah melakukan penetapan harga obat anti hipertensi dengan zat aktif amlodipnine besylate.Adapun cara yang dilakukan adalah : (1)  mengatur produksi dan pemasaran secara bersama-sama. Persaingan semu tersebut merugikan konsumen , karena harga yang terbentuk bukan harga yang wajar; (2) melakukan penyalahgunaan posisi dominan untuk mempengaruhi preferensi dokter dalam memberikan resep obat Norvask. Akibat kedua praktik di atas, perusahaan farmasi lain sulit bersaing dan  harga obat di Indonesia lebih tinggi dibanding negara lain.  1) pasal 4, 11, 16 dan 25 ayat (1) huruf a UU No. 5 tahun 1999 (Pzizer) dan,2) pasal 5, 11 dan 16 UU No. 5 tahun 1999 ( PT Dexa Medica)

 

KPPU memutus bersalah dan mengenakan hukuman denda total Rp 145 milyar kepada Pzizer dan PT Dexa Medica.Rekomendasi KPPU :

1) berlakukan regulasi  mengatur batas atas obat generik bermerek. Harga batas atas maksimal tiga kali dari rata-rata harga obat generik dalam kelas terapi.

2) membatasi promosi  dan penjualan obat resep yang dilakukan perusahaan farmasi pada umumnya.

 

Dari kelima putusan KPPU di atas, Putusan  No.7/KPPU-L/2007 sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (final), sedangkan putusan lainnya masih dalam upaya hukum keberatan/kasasi di pengadilan.

 

Ada sejumlah catatan terhadap putusan KPPU di atas, pertama, dari dimensi perlindungan konsumen, putusan KPPU masih menyisakan masalah. KPPU menyatakan, berbagai praktik persaingan tidak sehat di atas menimbulkan akibat kerugian konsumen. Namun dari lima putusan KPPU di atas, hanya satu putusan yang menghukum pelaku usaha membayar ganti rugi (kasus fuel surcharge). Walaupun akibat praktik persaingan tidak sehat menempatkan konsumen sebagai pihak yang dirugikan, KPPU memutuskan ganti rugi diberikan kepada negara.

 

Di satu sisi praktik persaingan tidak sehat terbukti telah mengakibatkan kerugian di pihak konsumen, namun mekanisme hukum konsumen mendapatkan ganti rugi belum memadai. Inilah agenda ke depan yang harus dipikirkan dalam upaya optimalisasi kebijakan kompetisi dalam rangka  perlindungan konsumen.

 

Kedua, dalam putusan industri farmasi, selain menghukum terlapor, KPPU juga membuat rekomendasi kepada pemerintah, berupa memberlakukan regulasi yang mengatur  harga batas atas obat generik bermerek (branded generic). Harga batas atas yang ditentukan maksimal tiga kali dari rata-rata harga obat generik dalam kelas terapi berdasarkan zat aktif yang sama. Rekomendasi berikutnya dengan membatasi kegiatan promosi dan penjualan obat resep yang dilakukan perusahaan farmasi pada umumnya.

 

Apakah rekomendasi kepada pemerintah berupa memberlakukan regulasi yang mengatur harga, justru bernuansa anti kompetisi yang seharusnya juga diperangi KPPU.

 

Ketiga, di dalam menentukan kerugian konsumen, ada yang hanya diletakkan dalam pertimbangan putusan, tetapi juga ada yang menjadi bagian dari amar putusan. Apa pertimbangan KPPU menjadikan kerugian konsumen diletakkan dalam pertimbangan dan dalam amar putusan.

 

Konklusi

 

Energi dalam upaya perlindungan dan pembelaan konsumen sudah waktunya bergeser, tidak hanya terfokus pada persoalan mutu suatu produk di bawah standar atau buruknya pelayanan sebuah jasa, tetapi juga harus memerangai struktur pasar yang distortif, seperti praktik monopoli, kartel harga, dan penyalahgunaan posisi dominan.

 

Dalam upaya menciptakan iklim kompetisi yang sehat, perlu dilakukan deregulasi terhadap berbagai regulasi yang bernuansa anti persaingan. Hal ini penting, mengingat Pemerintah  sebagai regulator seharusnya melindungi kepentingan konsumen. Dalam beberapa kasus justru membuat regulasi antikompetisi dan melindungi praktik monopoli serta persaingan usaha tidak sehat.

 

Kebijakan kompetisi dan perlindungan konsumen ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Dengan demikian ada kedekatan hubungan kepentingan antara kebijakan kompetisi dan perlindungan konsumen, sudah waktunya dikembangkan pemikiran penggabungan kelembagaan yang mengurusi kompetisi (KPPU) dan perlindungan konsumen (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), seperti yang dilakukan di Australia melalui Australian Competition and Consumer Commission. Selain ada sinergi, kinerja lembaga juga menjadi lebih maksimal dalam menjalankan fungsi pengawasan persaingan usaha dan perlindungan konsumen.

 

***

Sudaryatmo- Ketua Harian YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)