Sejumlah fakta peristiwa negatif di bidang perlindungan konsumen: (1) ledakan tabung gas LPG di Jakarta, Bekasi dan Makasar, setidaknya 3 orang meninggal dan puluhan harus rawat inap di rumah sakit; (2) produk makanan Indonesia yang ditolak masuk pasar AS mencapai 70 %, penyebabnya dinilai produk tersebut tidak higienis; (3) Delapan puluh persen (80%) buah di supermarket adalah buah import; (4) gara-gara menerima cash back, puluhan eks nasabah bank IFI, simpanan deposito tidak dijamin LPS; (5) ribuan rumah tangga di Jakarta kesulitan mendapatkan air bersih, karena pasokan dari operator Aetra dan Palyja terhenti selama beberapa hari; (6) Di Cirebon, tiga belas orang meninggal karena mengonsumsi Miras oplosan.

Daftar peristiwa negatif ini bisa lebih panjang lagi. Di sini hanya sekedar gambaran, tentang posisi konsumen di Indonesia yang masih terpuruk. Pertanyaannya adalah, setelah 37 dilahirkan untuk melindungi kepentingan konsumen, dimana YLKI ? Apa yang sudah dilakukan YLKI ?

Rentang waktu 37 tahun bukan waktu yang pendek. Begitu pula dengan problematika perlindungan konsumen juga telah mengalami dinamika yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun kualitas masalah perlindungan konsumen.

Dari berbagai persoalan perlindungan konsumen tersebut, perlu ada pemetaan untuk selanjutnya dari peta tersebut menjadi acuan dalam upaya perlindungan konsumen di masa yang akan datang.

Secara umum, persoalan perlindungan konsumen dapat dikategorikan dalam tiga masalah besar :

Perlindungan konsumen sebagai problem kemanusiaan.

Sejumlah peristiwa negatif dengan kurban konsumen telah melahirkan trauma bagi konsumen. Trauma itu bahkan telah memenjara kehidupan konsumen dalam bayang-bayang tragedi kehidupan.

Sejumlah konsumen telah menjadi korban. Sebagai korban, untuk hanya sekedar mencari pihak yang mau mendengar keluhannya saja bukan hal yang mudah. Konsumen merasa berjuang sendiri. Bahkan dalam beberapa kasus, konsumen sudah putus asa, tidak punya harapan dan bahkan ada yang harus mengakiri hidup.

Dalam konteks ini, ke depan YLKI berharap menjadi rumah (home) bagi konsumen. YLKI menjadi sahabat konsumen,  menjadi tempat bagi konsumen untuk mengutarakan keluhan. YLKI menjadi tempat yang dapat menumbuhkan harapan, ketika konsumen sudah kehilangan harapan. Dan untuk selanjutnya, YLKI juga dapat menjadi kawan dalam melawan kesewang-wenangan pelaku usaha.

Perlindungan konsumen sebagai problem ideologi

Sejarah lahirnya gerakan perlindungan konsumen di Eropa dan juga di Amerika, tidak bisa dilepaskan dengan era industrialisasi. Era ketika suatu produk bisa dibikin secara massal dalam jumlah yang melampau kebutuhan yang sebenarnya.

Problemnya adalah,  masyarakat industri berekmbang menjadi masyarakat yang berdimensi satu, setiap orang dalam masyarakat industri diperbudak oleh produksi, berada dalam cengkeraman masyarakat konsumsi. Produktivitas bukan lagi menjadi alat melainkan telah menjadi tujuan. Dalam masyarakat demikian, kebutuhan hidup di ada-adakan untuk menghabiskan produksi yang melimpah (Herbert Marcuse).

Terus terang, mendekati persoalan perlindungan konsumen sebagai persoalan ideolgi belum banyak dilakukan YLKI. Dalam rumusan yang sederhana, apabila industrialisasi sebagai anak kandung kapitalisme, apa yang dilakukan YLKI selama ini baru terbatas meminimalisir dampak kapitalisme, tetapi belum sampai kepada melawan kapitalisme itu sendiri.

Perlindungan konsumen sebagai  persoalan hukum

Dalam rentang waktu 37 tahun kehadiran YLKI, dapat dibagi menjadi dua periode.  Pertama, adalah era perlindungan konsumen tanpa UU Perlindungan Konsumen (UUPK). Kedua, era perlindungan konsumen di bawah UU Perlindungan Konsumen ( UU No. 8 Tahun 1999 ).

UUPK di satu sisi menjadikan posisi konsumen secara legal formal menjadi lebih kuat, karena hak-hak konsumen menjadi hak hukum yang diatur dan dilindungi UU. Namun demikian, secara riil, keberadaan UUPK belum dirasakan manfaatnya secara riil oleh konsumen.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menurut UUPK didirikan di setiap Pemerintah Kota / Kabubaten, sudah sepuluh tahun UUPK hadir, baru ada 40 BPSK (sekitar 10 persen ) dari sekitar 400-an Pemerintah Kota dan Kabupaten.

Begitu halnya dengan Pedoman teknis perlindungan konsumen diatur lebih lanjut oleh menteri teknis (pasal 29 ayat 1 UUP), sudah sepuluh tahun hadir, dari satu kementrian yang sudah membuat Pedoman teknis perlindungan konsumen. Yaitu kementrian ESDM, melalui Permen ESDM No. 19 / 2008.

Dimana kesungguhan Pemerintah dalam perlindungan konsumen ?

Penutup

Ditengah persoalan perlindungan konsumen yang semakin kompleks, di luar semua persoalan di atas, hal yang tidak kalah penting dilakukan adalah aspek pengembangan kelembagaan YLKI sendiri.

Selain harus complian (patuh) dengan berbagai ketentuan perundang-undangan yang ada, seperti UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, secara kelembagaan YLKI harus melakukan pembenahan dalam pengelolaan SDM dan memperbaiki struktur sumber pendanaan – dengan secara pertahap proporsi dana lokal,  melalui kegiatan penggalangan dana publik, semakin besar.***

 Sudaryatmo – Ketua Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)