Ada gula ada semut;  Siapa yang tidak mengenal pepatah ini? Bagi spekulan-spekulan penyengsara rakyat, bisnis gula memang merupakan bisnis yang menggiurkan.  Dengan permintaan nasional yang mencapai 3,2 juta ton per tahun, perkiraan ‘rebutan’ kue bisnis ini mencapai 13 – 15 trilyun rupiah.  Sayang, nilai bisnis yang besar tersebut tidak dinikmati oleh petani kita, ataupun menguntungkan masyarakat konsumen. Nilai bisnis tersebut menguap bersamaan dengan carut-marutnya produktivitas dan tata niaga gula kita.

Untuk mengurai benang kusut permasalahan tersebut, maka YLKI melakukan studi yang memetakan situasi pergulaan di Indonesia dan dampak dibukanya pasar bebas bagi sistem produksi gula di Indonesiadan dampak bagi konsumen.  Dibawah ini adalah ringkasan hasil studi tersebut.

Produksi dan Konsumsi Gula Nasional

Meninjau nilai impor gula sekarang, siapa yang menyangka bahwa tahun 1931 Indonesia adalah penghasil gula no. 2 terbesar di dunia? Begitulah kenyataannya. Produksi yang besar tersebut terjadi karena pemerintah colonial Belanda menerapkan pemanfaatan maksimum lahan rakyat dan eksploitasi buruh murah. Jadi yang untung ya pemilik modal besar (perusahaan Belanda).

Setelah merdeka, industri gulaIndonesiatidak pernah bangkit menjadi penghasil gula terbesar. Jangankan untuk ekspor, untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja sudah megap-megap. Padahal sistem yang digunakan hampir sama, yaitu berdasarkan pemanfaatan tanah secara maksimal dan ekploitasi tenaga kerja dan murah dan melimpah. Eksploitasi ini berlanjut hingga masa orde baru, dimana tekanan produksi diperparah dengan pendistribusian dan perdagangan yang dimonopoli oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).

Gejala penurunan jumlah dan mutu produksi gula ini memang terlihat sejak tahun 1997/1998. Beberapa faktor penyebabnya antara lain adalah teknologi pertanian dan pengolah tebu yang tidak memadai, serta tidak adanya sistem insentif yang cukup bagi petani untuk meneruskan sistem penanaman tebu ini.

Sementara itu, dari sisi konsumsi, juga menunjukkan  peningkatan konsumsi yang cukup signifikan. Diperkirakan konsumsi gula nasional meningkat rata-rata 3,9% pertahun, dengan 25% penyerapan konsumsi oleh industri pengolahan pangan.

Ketidakseimbangan antara konsumsi dan produksi gula ini membuatIndonesiamenjadi pasar yang menguntungkan bagi perdagangan gula. Peluang penyelewengan, penyelundupan, dan fluktuasi harga gula, merupakan situasi yang tidak menguntungkan bagi konsumen.

Sementara faktor distribusi dan perdagangan gula juga menunjukkan ketidakefisienan. Hal ini dapat dilihat dari rantai harga yang diterima petani, harga jual ke pedagang penyalur hingga sampai ke tangan konsumen  umumnya terdapat selisih harga sekitar 55 – 105%. Diantara selisih harga ini terdapat bagian keuntungan untuk pemerintah, yaitu selisih harga yang menjadi bagian Bulog, pajak-pajak dan berbagai pungutan yang besarnya sekitar 19-26%. Akibatnya, harga jual produk dalam negeri selalu lebih tinggi dari harga gula impor, yaitu berkisar antara 32% hingga 215% – bahkan pernah mencapai sekitar 565%! (sumber: Bachriadi)

Dampak terhadap Konsumen

Selama ini, keuntungan konsumen selalu dijadikan alasan dibukanya akses pasar bebas. Konsumen akan mendapat harga yang lebih murah, pilihan yang banyak, dan kontinuitas ketersediaan produk di pasar. Tetapi benarkah? Permasalahan gula dapat dijadikan contoh.

Untuk masalah akses dan ketersediaan gula misalnya. Dengan ketergantungan pada impor yang tinggi, maka jika kurs rupiah anjlok,  akan terjadi kelangkaan gula. Ataupun jika ada, harganya akan membumbung tinggi. Selain itu, perbedaan harga yang tinggi antara dalam negeri dan internasional memang membuat penyelundupan gula semakin besar. Penyelundupan ini jarang ditangani dengan penegakan hukum yang benar.

Masalah impor yang tinggi ini juga membuktikan bahwaIndonesiamemang tidak serius menangani ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan yang berkelanjutan oleh rakyat. Lingkaran setan dampak masalah ini adalah impor yang semakin tinggi, atau selundupan gula yang semakin banyak sehingga gula produksi dalam negeri semakin tidak mampu bersaing, dan jutaan petani semakin mengalami penurunan kualitas hidup, yang akhirnya berujung pada pertambahan kemiskinan.

Sedangkan masalah keterjangkauan gula bagi konsumen, hal inipun belum terbukti. Harga berfluktuasi naik. Spekulan gula sering bermain disini. Agar harga tetap tinggi, maka tidak jarang spekulan ini ‘sengaja’ menahan gula. Sehingga ketika terjadi kelangkaan gula dan harga meroket, baru gula sedikit demi sedikit dilepas ke pasar. Untuk ‘permainan’ ini, spekulan meraih untung yang luar biasa. tanpa memerah keringat apapun, kecuali hanya ‘menahan’ gula tersebut (belum termasuk marjin keuntungan harga impor dengan jual di dalam negeri).  Dan apakah terdapat penegakan hukum disini? Permainan spekulan tersebut kerap terjadi tentu  karena hukum juga kayaknya bisa dibeli disini.

Kesimpulan setelah panjang lebar diatas: marilah kita membeli gula lokal. Lihat di kemasan apakah gula tersebut lokal atau impor. Atau jika dikemasan tidak tertulis, bertanya saja kepada petugas yang menjual apakah gula tersebut lokal atau impor.

***

Ilyani S Andang, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)