Tarif tol dinaikkan setiap dua tahun berdasarkan angka inflasi. Itulah ketentuan yang ada dalam UU No. 38 tahun 2004 tentang jalan yang dijadikan alasan pemerintah menaikkan 14 ruas jalan tol yang berlaku efektif per 7 Oktober 2011.

Secara legal formal tidak ada yang salah dengan kebijakan pemerintah menaikkan tarif tol setiap dua tahun. Namun dari perspektif kepentingan pengguna jalan tol, ketentuan yang ada di UU Jalan yang dijadikan dasar pemerintah menaikkan tarif tol setiap dua tahun tersebut tidak adil.

 

Manfaat Bagi Konsumen

Bagi konsumen, tarif tol semestinya berbanding lurus dengan manfaat/benefit yang diperoleh pengguna jalan tol. Ketika ada kenaikkan tarif tol, seyogyanya ada penjelasan dari pemerintah dan operator jalan tol, manfaat tambahan apa yang diperoleh pengguna jalan tol di balik kebijakan kenaikan tarif tol.

Dalam kenaikan tarif tol kali ini, tidak ada penjelasan yang memadai dari pemerintah dan operator tentang manfaat tambahan yang akan didapatkan konsumen. Lebih ironis lagi, untuk ruas-ruas jalan tol tertentu seperti tol dalam kota, di tengah pelayanannya semakin buruk, justru tarif tol naik. Sebuah situasi yang sulit dipahamai dan diterima konsumen.

Dalam konteks kebijakan pentarifan infrastruktur yang dikelola badan usaha di Indonesia, ketentuan dalam UU jalan yang memberi hak eksklusif kepada operator jalan tol setiap dua tahun minikmati kenaikan tarif berdasarkan angka inflasi, adalah peraturan yang diskriminatif.

Ketentuan serupa tidak dinikmati badan usaha lain yang menjadi operator sejumlah  infrastruktur, seperti operator bandara, perusahaan air minum, ketenagalistrikan dan telekomunikasi. Kalau alasan dibalik ketentuan dalam UU jalan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, mestinya hal yang sama juga berlaku dalam kebijakan pentarifan semua infrastruktur.

Penggunaan angka inflasi sebagai variable tunggal dalam kenaikan tarif tol juga tidak lazim. Penggunaan variable inflasi memang sebelumnya pernah dipakai di industri telekomunikasi, tetapi bukan sebagai variable tunggal, tetapi dikombinasikan dengan variable internal berupa level/index efisiensi dari masing-masing operator. Dengan demikian, operator yang tidak mencapai level efisiesni tertentu, tidak berhak menikmati kenaikan berdasarkan angka inflasi.

Ketentuan dalam UU jalan yang menjadikan inflasi sebagai variable tunggal dalam kenaikan rutin setiap dua tahun, menimbulkan dua implikasi : (1)  tidak mendorong operator jalan tol untuk mencapai level efisiensi tertentu ; (2) berapapun tarif tol dinaikkan kalau terjadi in-efisiensi dalam pengelolaan jalan tol, kenaikan tarif tol tidak akan berdampak kepada pelayanan konsumen, tetapi akan dimakan in-efisiensi operator jalan tol.

Standar Pelayanan

Masalah yang juga bersinggungan dengan kepentingan pengguna jalan tol adalah standar pelayanan jalan tol. Pemerintah telah menerbitkan Permen PU No. 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol.

Dari perspektif kepentingan konsumen, ada  catatan terhadap Permen PU di atas. Yaitu tentang konsepsi pelayanan jalan tol, idealnya konsepsi standar layanan jalan tol setidak-tidaknya memenuhi dua syarat, yaitu terukur dan berperspektik pada kepentingan konsumen.

Sejumlah substanti dalam Permen PU tersebut tidak berperspektif pada kepentingan konsumen. Seperti, standar layanan di pintu pembayaran tol hanya mengatur soal lama transaksi masksimal 8 (detik) per transaski, dengan tidak memperdlikan panjang antrian.

Idealnya standar layanan di pintu tol adalah panjang antrian kendaraan diusahakan tidak boleh lebih dari sepuluh kendaraan. Dengan demikian,ketika panjang antrean sudah lebih dari sepuluh kendaraan, ada dua hal yang harus dilakukan operator jalan tol, yaitu menambah pintu tol dan / atau dengan bantun teknologi memperpendek waktu transaki.

Dakam hal emergenc respone, SPM jalan tol  terbatas pada pengaturan kepemilikan ambulance oleh operator. Di sepanjang ruas tol dalam kota ada sejumlah spanduk yang menginformasikan jumlah  kepemilikan ambulance, mobil derek gratis dan patroli. Bagi konsumen, hal yang lebih penting adalah adanya garansi dari operator tentang time respone, ketika terjadi kecelakaan di jalan tol, berapa waktu yang dijamin operator ambulance akan datang sejak ada laporan terjadinya kecelakaan, bukan soal kepemilikan.

Belajar dari kebijakan pentarifan jalan tol, hal yang mendesak dilakukan adalah melakukan revisi terhadap UU jalan, khususnya ketentuan tentang kenaikan berkala setiap dua tahun berdasarkan angka inflasi. Ketentuan ini, selain diskriminatif dan tidak lazim juga menjadi sumber ketidakadilan bagi pengguna jalan tol.

***

Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Koran Kompas, 7 Oktober 2011)