JAKARTA – Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengaku, dukungan masyarakat terhadap penegakan larangan merokok di tempat-tempat tertentu sangat kuat. Menurutnya, opini masyarakat konsumen terhadap kawasan tanpa rokok tercermin dalam berbagai survei YLKI pada tahun 2008, 2010 dan 2011. Yakni, kawasan merokok khusus di Jakarta, riset opini publik tentang pengendalian tembakau di Indonesia dan survei masyarakat Jakarta tentang Pergub Nomor 88 Tahun 2010 tentang Perubahan Pergub Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok.

Dalam pasal 18 Pergub Nomor 88 itu menyatakan bahwa tempat atau ruangan  merokok harus terpisah, di luar dari gedung serta letaknya jauh dari pintu keluar gedung. “Masyarakat mendukung kawasan dilarang merokok, karena asap rokok sesak nafas, bau, kepala pusing dan mata perih, dan lain-lain. Prioritas kawasan bebas rokok yaitu  pusat pelayanan kesehatan, angkutan umum, tempat belajar mengajar, pusat belanja dan gedung kantor pemerintah atau gedung kantor swasta,” kata Tulus saat memberikan keterangan sebagai saksi fakta dalam pengujian Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (1/12).

Dalam survei yang dilakukan YLKI pada 210 hotel dan restoran dengan melibatkan 420 responden yang terdiri dari tamu hotel dan restoran serta pengelola hotel dan restoran. Hasilnya  79 persen mendukung Pergub 88 pengaturan kawasan khusus merokok harus diluar gedung dan jauh dari pintu pengunjung. “Dari 197 responden perokok yang setuju 177 orang dan yang tidak setuju hanya 20 orang. Perokok juga setuju pengaturan kawasan merokok,” bebernya.

Sementara, Ketua Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) Fuad Baradja  mengatakan, adanya aturan ruangan untuk merokok tidak efektif karena ruangan merokok dalam gedung tidak memberikan perlindungan bagi perokok pasif. “Orang yang berada dalam ruangan cenderung membuka dan menutup pintu ruangan merokok, sehingga asap rokok tetap mencemari udara disekitarnya. Makanya, aturan penyediaan ruangan khusus merokok tidak efektif,” katanya.

Untuk diketahui, permohonan ini diajukan oleh Enryo Oktavian, Abhisam Demosa, dan Irwan Sofyan menguji Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan yang mengatur tempat-tempat yang dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok. Pemohon menilai aturan itu bukan kewajiban untuk menyediakan tempat khusus merokok sebagai kawasan merokok karena adanya kata “dapat”.

Karenanya, pemohon meminta kata “dapat” dalam penjelasan pasal itu dihapus karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, apabila kata ‘dapat’ ini dihapuskan, konsekwensinya pemerintah wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok. Sepeti diketahui, para pemohon merupakan perokok aktif yang tidak bisa merokok di kantor tempatnya bekerja lantaran tidak disediakan ruang khusus merokok. (kyd/jpnn)

sumber : JPNN.com