Gizi mulai jadi perhatian serius pemerintah Indonesia sejak 1950. Adalah Poorwo Soedarmo yang mengepalai Lembaga Makanan Rakyat (LMR) mengemban amanat dari Menteri Kesehatan kala itu untuk melanjutkan penelitian tentang pola makan dan penyakit yang berhubungan dengan makanan. Masih sederhananya pengetahuan masyarakat tentang gizi, rendahnya pendidikan, buta aksara dan miskin menjadi tantangan LMR.

Oleh Poorwo Soedarmo, prioritas utama yang dilakukan adalah dengan mendidik kader gizi yang dapat langsung berhubungan dengan masyarakat desa dan rumah sakit. Demi mencapai hal itu, didirikanlah Sekolah Djuru Penerang Makanan (SDPM) pada 1951. menyusul kemudian Sekolah Ahli Diit (1953), Akademi Pendidikan Nutrisionis/Ahli Diit (APN/AD) tahun 1956.

Seiring digunakannya secara resmi nama gizi (dari bahasa Arab yang artinya makanan menyehatkan) untuk terjemahan kata nutrition, nama APN/AD berubah menjadi Akademi Gizi pada tahun 1965. Menyusul kemudian berbagai fakultas kedokteran dan kesehatan masyarakat menggunakan kata ‘gizi’ dalam ‘ilmu gizi’ maupun ‘jurusan gizi’. Salah satu diantaranya Bagian Ilmu Gizi  FKUI yang didirikan sejak 1958.

Disisi lain istilah ‘gizi’ juga diadaptasi oleh Departemen Kesehatan untuk Direktorat Gizi dan Puslitbang Gizi, serta Bappenas pada Biro Kesehatan dan Gizi Masyarakat.

Kurang dan Lebih

Berbicara masalah gizi, saat iniIndonesiamemiliki beban masalah ganda, kurang gizi disatu sisi, dan gizi lebih di sisi lain. Keduanya berpengaruh kepada kesehatan anak dan masyarakat. hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan status gizi kategori kurus, terjadi pada 13,3% anak balita, 12,2% anak sekolah berusia antara 6 – 12 tahun, dan 10,1% pada remaja (13 – 15 tahun) dan 8,9% usia 16 – 18  tahun.

Sementara itu obesitas (kegemukan) terjadi pada 14% anak balita, 9,2% pada anak sekolah usia 6 – 12 tahun, 2,5% pada remaja usia 13 – 15 tahun, 1,4% pada usia 16 – 18 tahun serta 21,7% menimpa usia diatas 18 tahun.

Kekurangan dan kelebihan gizi sama-sama dapat berdampak negatif. Kekurangan gizi berhubungan erat dengan keterhambatan pertumbuhan tubuh (khusunya pada anak), daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah sakit (terutama penyakit infeksi), dan menurunnya tingkat kecerdasan serta gangguan mental.

Sebaliknya kelebihan gizi yang ditandai dengan berat badan berlebih dan kegemukan, berisiko terkena penyakit-penyakit kronis-degeneratif seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke, dan jenis kanker tertentu. kedua masalah tersebut – kurang atau lebih gizi – menurunkan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu pembangunan di bidang gizi merupakan investasi pembangunan bangsa.

Baik kekurangan atau kelebihan gizi muncul antara lain karena perubahan gaya hidup yang salah satunya disebabkan karena asupan lebih rendah dari kebutuhan sehingga menyebabkan gizi kurang atau asupan lebih besar dari kebutuhan sehingga menyebabkan kegemukan. Guna mencegah masalah gizi, diperlukan pemahaman dan penerapan gaya hidup sehat di antaranya dengan melaksanakan prinsip gizi seimbang.

Gizi seimbang merupakan susunan makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan dan berat badan ideal. Prinsip ini divisualisasi dalam bentuk tumpeng yang populer dengan istilah Tumpeng gizi seimbang (TGS).

13 Pesan

Era 1950-an guna mencukupi gizi, Pemerintah getol mengampanyekan menu 4 sehat 5 sempurna. Kendati memiliki prinsip yang mirip, sejak tahun 1990-an kampanye empat sehat lima sempurna ditingkatkan menjadi ’Gizi seimbang”. Dalam gizi seimbang, mencakup 13 pesan kesehatan, diantaranya;

  1. Mengonsumsi aneka ragam makanan. Hampir dipastikan tidak diketemukannya satu jenis makanan yang mengandung semua jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk hidup sehat. Artinya, dibutuhkan aneka ragam makanan untuk saling melengkapi kebutuhan gizi.
  2. Mengonsumsi makanan guna mencukupi kebutuhan energi. Kebutuhan energi tercukupi dengan mengonsumsi asupan yang mengandung energi tinggi seperti kabohidrat, protein dan lemak.
  3. Mengonsumsi sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi. Kendati penting, mengonsumsi karbohidrat (beras, jagung, gandum, umbi-umbian dan gula) hendaknya tidak melebihi setengah dari kebutuhan akan energi. Kekurangan ini akan diisi oleh asupan non karbohidrat.
  4. Batasi konsumsi lemak dan minyak 25% dari kebutuhan energi. Demikian juga asupan mengandung lemak dan minyak (daging berlemak, mentega, semua makanan yang digoreng dengan suhu tinggi), idealnya tidak lebih dari seperempat kebutuhan akan energi.
  5. Gunakan garam beryodium yang merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkankan tubuh terutama untuk pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak melalui fungsi hormon tiroid.
  6. Mengonsumsi sumber zat besi. Banyak terkandung dalam kacang-kacangan, daging, kuning telur, dan sayuran berdaun hijau, merupakan unsur penting dalam pembentukan sel darah merah.
  7. Berikan bayi ASI. ASI memiliki 3 kelebihan yang tidak didapat dari jenis asupan manapun; yaitu gizi, kekebalan, dan kejiwaan.
  8. Biasakan sarapan. Makan pagi sangat bermanfaat untuk memelihara ketahanan fisik dan meningkatkan produktivitas/konsentrasi.
  9. Minum Air bersih dalam jumlah yang cukup. Kebutuhan akan air bergantung umur dan jenis kegiatan. Dalam sehari rata-rata perlu mengonsumsi 6 – 8 gelas air.
  10.  Lakukan aktivitas fisik secara teratur. Hal ini dapat meningkatkan kebugaran, meningkatkan fungsi jantung, paru, dan otot, serta menghindari berat badan berlebih.
  11.  Hindari minuman beralkohol dan rokok. Ini dapat menghindari terhambatnya proses penyerapan gizi oleh tubuh, hilang kontrol dan adiksi.
  12.  Mengonsumsi makanan yang aman bagi kesehatan. Hindari mengonsumsi makanan dengan bahan tambahanan yang tidak direkomendasi untuk makanan seperti boraks, melamine, formalin, pewarna rodamin.
  13.  Baca label pada makanan yang dikemas. Terutama yang berkaitan dengan tanggal kadaluarsa, kandungan makanan dan label lain.

***

Agus Sujatno, Staff YLKI