Air adalah sumber kehidupan. Pastinya tak akan ada yang menyangkal tentang itu. Air menjadi kebutuhan pokok setiap individu.  Mulai dari bayi baru lahir sampai orang tua renta, membutuhkan arti pentingnya air.

Celakanya, tidak semua orang dapat mengakses air bersih dengan layak. Di Jakarta misalnya, tidak semua warga yang tinggal dikotapadat ini dapat menjangkau air bersih. Program pipanisasi yang sudah berpuluh tahun didengungkan, sampai saat ini tidak memberikan jawaban atas ketersediaan air bersih bagi warganya. Badan regulasi airJakartamencatat, hanya 36% dari total rumah tangga diJakartayang sudah tercakup oleh layanan air PAM (selanjutnya disebut air bersih).

Dari jumlah yang sedikit itupun tidak serta merta mendapatkan akses air bersih dengan aman, nyaman dan berkelanjutan. Banyaknya keluhan konsumen terhadap air bersih baik melalui media cetak, langsung ke operator, maupun melalui pihak ketiga seperti YLKI, menjadi tengara masih rendahnya mutu layanan air bersih.

Di YLKI, pengaduan terkait air bersih, tak pernah keluar dari 10 besar pengaduan yang paling banyak dikeluhkan konsumen. Tahun 2010, pengaduan air menempati urutan keenam atau 6% dari total pengaduan keseluruhan sebanyak 590. Sedangkan tahun 2011 (sampai November), dari 496 kasus yang diadukan konsumen pada YLKI, pengaduan air bersih menempati urutan kelima dengan 35 pengaudan (7,5%) setelah masalah perbankan, perumahan, telekomunikasi dan listrik.

Data ini menarik bila dibandingkan dengan data kota-kota lain di negara  Malaysia, Singapura atau Thailand. Secara kuantitas, pengaduan di Jakarta merupakan terendah diantara kota-kota negara lain, tetapi dari cakupan keberagaman aduan, Jakarta paling kompleks dibanding yang lain. Satu hal yang penting, bahwa rendahnya pengaduan konsumen air bersih di Jakarta dan Indonesia pada umumnya adalah masih rendahnya tingkat complient habbit. Dari sekian banyak konsumen yang dirugikan, hanya sebagian kecil yang berani mengadukan secara langsung.

Konfigurasi Masalah

Terlepas dari jumlah pengaduan yang masuk, secara umum permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta dalam pelayanan mencakup lima hal. Pertama; krisis air baku, yang mencakup kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Selain dihadapkan pada bahan dasar air bersih yang jelek, konsumen masih dihadapkan pada rendahnya debit pasokan air serta kontinuitas ketersediaan.

Kedua, rendahnya cakupan layanan. Dari seluruh warga yang tinggal di Jakarta, hanya 36% saja yang telah dilayani pasokan air bersihnya melalui sambungan pipa. Selain cakupan yang terbatas, sebarannya juga tidak merata. Dua operator swasta sebagai mitra dalam mengelola pelayanan air bersih, belum secara maksimal melayani warga Jakarta terkait dengan sambungan pipa baru. Porsi pelayanan keduanya masih berkutat pada pelanggan lama yang nota bene “warisan” PD PAM Jaya ketimbang membuka sambungan baru.

Keterlibatan operator swasta belum menunjukkan manfaat besar dalam pengelolaan air. Ini menjadi blunder kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengingat ancaman krisis air tetap saja terjadi.

Ketiga, tingginya in-efisiensi. Tingkat kebocoran air bersih rata-rata mencapai 46%. Tidak saja karena infrastruktur yang mulai rusak, namun kebocoran ini diduga sengaja dilakukan oleh oknum petugas dengan cara memasang sambungan ilegal.

Keempat, tarif sangat tinggi. Tidak banyak yang menyadari jika tarif air bersih di Jakarta saat ini berada di urutan nomor satu paling mahal dibandingkan kota-kota besar di Asia. Rata-rata, tarif air di Jakarta per meter kubik paling tinggi berada pada titik Rp 14.650. Rata-rata tarif air terendah per meter kubik ada pada titik Rp 1.050. Angka rata-rata tersebut jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan tarif serupa di kota Bangkok, Kuala Lumpur, Manila dan Singapura.

Tarif air yang mahal berdampak pada rentannya ketahanan air bagi Jakarta. Artinya, krisis air sudah menjadi ancaman di depan mata yang bisa merepotkan Jakarta sewaktu-waktu.

Kelima, Kontrak kerja sama tak seimbang. Semenjak di teken kontrak kerjasama pada Juni 1998, praktis layanan air bersih di Jakarta berpindah ke swasta. Kontrak kerja dalam durasi 25 tahun, diantaranya mengatur tentang kualitas, kuantitas kontiunitas air bersih, dan coverage (cakupan). Celakanya, setelah lebih dari satu dasawarsa target-target teknis yang telah disepakati gagal dipenuhi oleh dua operator.

Disisi lain, imbalan yang diberikan terhadap kedua operator terus mengalami kenaikkan. Berdasarkan catatan PAM Jaya menyatakan bahwa sejak diprivatisasi oleh swasta, PAM Jaya menderita hutang shortfall, yaitu hutang yang muncul akibat adanya selisih antara imbalan yang diberikan pada operator dan tarif, mencapai Rp 583,67 milyar.

Pengaduan di YLKI

Secara umum, YLKI menggolongkan bentuk pengaduan dalam 4 kategori, yaitu Mutu dan pelayanan, Infrasturktur, Sumber Daya  Manusia (SDM) serta Bisnis Proses. Dari 35 pengaduan yang masuk ke YLKI dalam rentang waktu 2011 (November), permasalahan bisnis proses menempati urutan tertinggi dengan 16 kasus. Pengaduan ini meliputi perubahan golongan tarif (2), tagihan membengkak (11) dan tagihan susulan (3).

Sedangkan pengaduan terkait sumber daya manusia menempati urutan kedua dengan 11 kasus, meliputi denda terlambat penggantian meter (10), serta tagihan tak dikirim (1). Menyusul pengaduan mutu dan layanan dengan 6 kasus, yang mencakup kualitas air dan debit dengan masing-masing 3 kasus. Infrasturktur menjadi kasus yang paling rendah dikeluhkan (2) terkait kebocoran pipa maupun pencatat meter yang rusak.

Kesimpulan dan saran

Apa yang terjadi dengan layanan air bersih di Jakarta menunjukkan bahwa kebijakan memindahkan tanggung jawab penyediaan layanan air bersih dari pemerintah ke sektor swasta tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sektor swasta gagal memperbaiki layanan dan memberikan akses air bersih yang lebih baik dan lebih banyak cakupan kepada masyarakat. Kerugian yang muncul, tak hanya dialami oleh masyarakat sebagai konsumen, namun juga oleh pemerintah (PAM Jaya).

Pilihan untuk melakukan audit ditiap unit kerja operator penting dilakukan untuk mencegah permasalahan berulang kembali. Termasuk sanksi disiplin tegas bagi oknum yang mengganggu fungsi pelayanan air minum. Banyaknya keluhan juga perlu ditanggapi dengan membuka complaint center dengan penanganan yang cepat. Disamping itu, perlu memberikan edukasi pada konsumen dan stakeholder guna menunjang perbaikan layanan jasa air bersih, agar semua bertanggungjawab memiliki air bersih.

Jika perlu, pilihan untuk melakukan renegosiasi terhadap kontrak kerjasama antara pemerintah dengan dua operator swasta, menjadi sangat urgent untuk menyelesaikan permasalahan layanan air bersih di Jakarta. Kendati renegosiasi ini tidak akan berdampak langsung kepada konsumen, namun kedepannya diharapkan terjadi peningkatan layanan dan kinerja.

***

Agus Sujatno, Staff YLKI