Seribu rencana selama ini didengungkan pemerintah untuk menyelamatkan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dari gerusan subsidi BBM (bahan bakar minyak), mulai dara wacana pembatasan pembelian, hingga wacana visioner mengonversi BBM menjadi BBG (bahan bakar gas). Dalam opsi pembatasan pembelian, Pemerintah bermaksud “menjual” BBM hanya ke  angkutan umum dan motor saja. Model penggunaan alat radio frequency identification [RFID] yang dipasang di angkutan umum pun mengemuka untuk memonitor pembelian BBM oleh angkutan.

Model yang diwacanakan tersebut memang rentan terhadap penyalahgunaan sepanjang terjadi disparitas harga BBM subsidi dan BBM non subsidi. Apalagi kelemahan pemerintah kita adalah dalam hal minimnya pengawasan di lapangan. Siapa yang bisa menjamin bahwa dengan model pembatasan penjualan, subsidi benar-benar menyasar ke moda transportasi publik? Siapa yang menjamin masyarakat kelas menengah atas akan mengonsumsi BBM non subsidi?

Coba simak, upaya Pemerintah dalam mensosialisasikan hal tersebut melalui iklan layanan masyarakat yang kerap dijumpai di banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Iklan dalam bentuk spanduk itu bertuliskan himbauan-himbauan saja, seperti misalnya “Premium adalah BBM bersubsidi, Hanya untuk golongan tidak mampu”. “Terima kasih telah menggunakan BBM non subsidi”. Di SPBU lain terpampang spanduk bertuliskan “Subsidi hanya untuk masyarakat tidak mampu. Pantaskah saya pakai BBM bersubsidi”, dan model himbauan yang lain.

Tentu saja model iklan layanan ini tidak akan efektif. Selain bersifat sukarela (voluntair), tak ada secuilpun ketentuan yang menggiring mobil pribadi mengarah pada penggunaan BBM non subsidi. Jangan heran bila kemudian himbauan tersebut bak angin lalu, yang akan lenyap dengan sendirinya. Pasti tak sedikit pengguna mobil pribadi yang telah membaca iklan layanan ini, tetapi masih jarang yang lantas mengisi mobilnya dengan pertamax, non subsidi. Sebaliknya antrian di pengisian premium (BBM subsidi) tetap mengular dijejali pengguna kendaraan pribadi, bahkan mobil-mobil mewah. Secara logika mana ada yang mau membeli BBM non subsidi yang harganya hampir dua kali lipat BBM bersubsidi.

Bisa dipahami jika berbenturan dengan tarif/harga maka sikap masyarakat akan cenderung reaktif untuk menolak. Dan segala yang bersifat voluntair serta terkait dengan biaya cenderung tidak dipatuhi. Sejatinya dalam hal ini harus ada ketegasan. Pemerintah memiliki wewenang untuk ‘memaksa’ pengguna kendaraan pribadi menggunakan BBM non subsidi, bukan hanya sekedar menghimbau.

 

Menguap sia-sia.

Tahun 2012 pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk subsidi BBM mencapai Rp168 triliun. Pada awalnya, mengacu pada UU APBN 2012 tertanggal 24 November 2011, akan dilaksanakan pembatasan konsumsi premium bersubsidi untuk mobil pribadi. Dengan wilayah Jawa dan Bali dipilih sebagai starter mulai 1 April 2012. Dan sebelum diberlakukan pemerintah melakukan sosialisasi sejak Januari hingga Maret 2012. Dalam pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap.

Untuk tahap awal, pembatasan penggunaan premium bagi mobil pribadi  dilakukan di wilayah Jakarta. Selanjutnya, program tersebut akan diperluas di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dan kemudian dilanjutkan untuk wilayah Jawa Barat dan seluruh Jawa-Bali, sampai pada tahun 2015. Demikian rencana awal program pembatasan premium dan solar bersubsidi. Menurut keterangan yang disampaikan Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri ESDM,  Pemerintah hanya memberikan subsidi BBM bagi kendaraan angkutan umum dan sepeda motor, sehingga menekan pemakaian subsidi dalam jumlah signifikan.

Rencana awal pembatasan BBM bersubsidi kemudian muncul banyak tentangan dari para pengamat dan ahli energi. Kekhawatiran penyelewengan dalam implementasi dilapangan menyeruak. Banyak muncul pertanyaan adakah ketegasan dan pengawasan yang ketat dilapangan, jaminan ketersediaan barang yang cukup, dan tidak ada penyalahgunaan, mengingat bahwa disparitas harga yang besar dengan BBM non subsidi.

Banyaknya kritik tajam dan desakan untuk memilih opsi kenaikan harga BBM dibanding pembatasan BBM bersubsidi, tak pelak membuat pemerintah bergetar. Alih kemudi kebijakan kemudian muncul. BBM bersubsidi yang awalnya akan dibatasi, perlahan akan dikikis subsidinya.

Secara faktual, masyarakat telah lama terbuai dengan kenikmatan BBM bersubsidi. Namun benarkah masyarakat miskin yang menikmati subsidi BBM ini. Menurut penulis subsidi salah sasaran karena yang menikmati adalah mereka yang mempunyai mobil pribadi, bukan untuk angkutan umum. Selain salah sasaran subsidi BBM juga hanya terbuang sia-sia. Mengapa? Coba simak kemacetan yang luar biasa terjadi di kota besar seperti Jakarta. Sudah tidak lagi mengenal waktu. Ironisnya, penyumbang terbesar adalah kendaraan pribadi yang mencapai hampir 90% dan kendaraan umum hanya 10%. Siapa pemilik kendaraan (mobil) pribadi jika bukan mereka yang tergolong kelas ekonomi menengah keatas?

Berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, jumlah kendaraan di Jakarta pada 2007 sebanyak 5,8 juta kendaraan dengan rincian 2,2 juta mobil dan 3,6 juta motor. Pada 2008, jumlah kendaraan kembali meningkat menjadi 6,3 juta kendaraan dengan rincian 2,3 juta mobil dan 4 juta motor.

Pada tahun 2009, jumlah kendaraan kembali naik menjadi 6,7 juta dengan rincian 2,4 juta mobil dan 4,3 juta motor. Pada 2010, peningkatan jumlah kendaraan menembus angka 7,29 juta dengan rincian 2,56 juta mobil dan 4,73 juta motor. Pada 2011, meningkat lagi jadi 7,34 juta kendaraan, kendaraan roda empat sebesar 2,5 juta dan kendaraan roda dua hampir 5 juta. Jumlah ini belum termasuk kendaraan yang masuk dari daerah sekitar Jakarta seperti  Bogor, Tangerang dan Bekasi.

Sementara data dari Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa tahun 2010 jumlah kendaraan yang ada di jalan Jakarta, mencapai 11.362.396 unit kendaraan. Terdiri dari 8.244.346 unit kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat. Dan pada 2011, tidak kurang dari 12.062.396 kendaraan memadati jalan di Jakarta. Hampir setengah dari kendaraan tersebut adalah kendaraan baru!.

Dengan adanya kemacetan dan kesemrawutan di jalanan Jakarta, berapa milyar dana subsidi BBM yang  terbuang sia-sia setiap harinya.

 

Tak Menikmati Subsidi

Bagaimana dengan kondisi saudara kita yang ada di nun jauh wilayah Timur Indonesia seperti Papua, Manado dan Pontianak misalnya. Berbanding terbalik, karena kelangkaan BBM adalah kondisi yang setiap saat dialaminya. Begitu susahnya mendapatkan BBM bersubsidi tidak seperti di kota Jakarta yang begitu mudah mendapatkan.

Dalam kesempatan berkujung di daerah Singkawang, Pontianak , Manado, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), penulis mendapatkan fakta yang cukup mencengangkan. Di Manado, sebelum pemerintah menggulirkan pembatasan BBM bersubsidi, masyarakat kota ini telah lebih dari setahun “menikmati” pembatasan pembelian BBM. Dimana setiap kendaraan hanya diberikan hak untuk membeli BBM Rp 100 ribu per hari baik untuk mobil pribadi maupun angkutan umum akibat kelangkaan BBM.

 

Kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum untuk membeli dan menjual kembali dengan harga yang mahal, Rp 10.000 per liter. Tak ada pilihan lain sebagai konsumen kecuali membeli eceran dengan harga mahal atau harus antri seharian, dengan risiko kehabisan stok sebelum giliranya. Ini jelas berdampak pada biaya transportasi masyarakat. Seperti yang penulis rasakan ketika di kabupaten Siou, Sulawesi Utara dimana tarif angkutan jarak pendek sekali jalan Rp 7.000,-.

Jika masyarakat di daerah harus membayar jauh lebih mahal dari harga sebenarnya, pantaskah mereka dikatakan menikmati subsidi BBM? Mereka bahkan terbiasa membeli BBM bersubsidi dengan harga non subsidi. Bagi mereka subsidi BBM hanya berlaku untuk masyarakat kaya di pulau Jawa, terutama di kota besar saja, dan tidak berlaku di kota-kota wilayah Tengah atau  Timur Indonesia.

Artinya, pencabutan subsidi BBM dengan opsi kenaikkan harga merupakan langkah yang realistis jika pemerintah berpihak pada masyarakat kelas bawah. Hal yang tak kalah penting adalah mengantisipasi lonjakan harga turunan dari dampak kenaikkan BBM. Pemerintah wajib mempertahankan daya beli masyarakat agar tidak terpuruk. Akan lebih bermanfaat pula jika subsidi BBM  dialihkan untuk kesejahteraan masyarakat miskin, alokasi subsidi pendidikan dan kesehatan sebagai investasi untuk negara dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas.

***

Sularsi, Staff YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)