Bisakah Anda bayangkan jika area seluas puluhan hektar yang biasanya jadi tempat timbunan sampah selama 500 tahun, tiba-tiba disulap menjadi sebuah taman yang begitu hijau dan indah? Ini benar-benar terjadi di Kairo. Tempat pembuangan sampah yang telah bertahun-tahun berubah menjadi paru paru kota.

Adalah taman Al Azhar di Kairo, yang ternyata dulunya adalah tempat sampah. Sebelum tahun 2000, area taman Al Azhar tak ubahnya TPA Bantar Gebang di Indonesia. Tumpukan sampah yang menggunung, lalat berterbangan, kucing rebutan makan menjadi ciri khas sebuah TPA. Barangkali yang membedakan, tidak ada pemulung yang beroperasi di TPA yang sekarang menjadi taman Al Azhar ini.

Tempat Sampah 500 Tahun

Berdasarkan informasi mengenai sejarah taman Al Azhar, Kairo, yang tertempel di dinding Galerry Art dalam bentuk gambar beserta keterangannya, lengkap dengan proses pengerukan sampah, Kota Kairo merupakan kota tua yang dibangun sekitar tahun 900-an Masehi oleh Dinasti Fatimiah di Mesir. Sebelum benar-benar menjadi sebuah kota, wilayah ini hanya merupakan tempat penempatan tentara ketika Arab baru saja menaklukkan negeri ini pada tahun 642 M. Mereka menjuluki wilayah tersebut dengan nama Fustat, dan sekarang menjadi wilayah old cairo atau Kairo tua.

Setelah dinasti demi dinasti berganti, wilayah Fustat (saat ini berada sekitar universitas Al Azhar) ini menjadi tempat sampah. Kurang lebih sekitar tahun 1500-an, orang sudah mulai menumpuk sampahnya disini. Alhasil, wilayah ini menjadi wilayah slum atau daerah kumuhnya Kairo.

Baru pada tahun 2000, area tempat sampah tersebut menarik minat seorang dermawan. Adalah Aga Khan IV, yang memngucurkan bantuan untuk memulai proyek pembuatan taman Al Azhar. Tak kurang dari 30 hektar tanah dengan timbunan sampah, dikeruk dan diproyeksikan menjadi taman nan asri. Tak tanggung-tanggung biaya yang harus dikeluarkan oleh sang dermawan. Sekitar Rp 270 milyar dirogoh dari kocek Aga Khan IV sendiri. Pemerintah Mesir tidak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk pembangunan taman tersebut.

Bukan hanya pembangunan taman di bekas tempat sampah, proyek Aga Khan IV juga  merestorasi peninggalan Islam lainnya, seperti benteng, mesjid, dan lain lain.

Ketika mulai membangun taman, sampah yang terakumulasi selama 500 tahun di olah dengan macam macam cara. Sampah diangkut dengan truk hingga mencapai 80.000 truk. Sebagian besar sampah dimanfaatkan untuk membuat kontur perbukitan tertinggi,  untuk memudahkan orang melihat pemandangan nan elok, baik ke arah kota Kairo maupun ke arah benteng Salahudin lengkap dengan mesjid ala Turki yang menakjubkan.

Memang, sampah di negeri gurun berbeda dengan sampah negeri tropis, seperti Indonesia. Di negera-negara gurun, sampah dengan cepat mengering karena kondisi udara yang tidak lembab serta minimnya curah hujan. Artinya, sampah gurun tidak sebau sampah di negara tropis serta tidak ada leachet, yaitu air sampah yang mengalir karena hujan dan bisa mencemari air tanah.

Sementara sampah negeri tropis, tak terkecuali Indonesia, karena kondisi udara lembab dan sering hujan, sampah menjadi bau, serta menjadi sumber penyakit, karena lahan subur bagi pertumbuhan jamur dan bakteri.

Di dalam bekas tempat pembuang sampah seluas 30 hektar di Kairo ini, juga ditemukan 3 mata air yang besar dan masih murni. Diameter mata air mencapai 80 meter! Hebatnya, sumber mata air ini tidak tercemar atau terkontaminasi oleh tumpukan sampah yang bejibun selama ratusan tahun. Jadi, proyek pembuatan taman turut merestorasi, dan melindungi sumber mata air  yang sangat berharga bagi negeri gurun seperti Mesir ini.

TPA Bantar Gebang

Sebenarnya tak hanya di Kairo, Mesir, yang menyulap tempat sampah menjadi taman. Hal serupa pernah dilakukan Yogyakarta. Sebuah area bekas lokasi tempat sampah berhasil dibangun menjadi taman kota yang indah, kendati area yang diolah tidak terlalu luas. Begitu juga di Bantul,  tempat sampah pasar tradisional diolah menjadi pupuk kompos. Ini juga sangat bermanfaat bagi para petani di area sekitar tempat sampah tersebut.

Sementara untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang luasnya berhektar-hektar, di Indonesia masih menimbulkan banyak problema. Seperti TPA Bantar Gebang yang seluas 10 hekar, seolah sudah sulit berbenah. Bayangkan, berapa keluarga yang bergantung hidupnya sebagai pemulung disini. Sementara untuk perluasan, penduduk sekitarnya protes keras. Jadi bagai buah simalakama.

TPA Bantar Gebang sudah mengakumulasi sampah sebanyak 6000 ton. Beberapa alternatif bisa dibuat bagi TPA Bantar Gebang ini. Misalnya, bisa saja jadi taman, karena proses dekomposisi bahan organik berubah menjadi pupuk kompos, sehingga lahan jadi subur. Tetapi bisa juga dibuat industrialisasi TPA, seperti kontrak yang diteken Pemda DKI dengan pihak investor, sebesar Rp 700 M, untuk membuat pupuk organik, sumber energi, dan lan lainnya (sumber: Kompas.com).

Yang jelas, pembenahan TPA Bantar Gebang harus segera dilakukan, agar masyarakat sekitar tidak terkena getahnya, baik bau yang menyengat maupun kontaminasi udara dan air tanah oleh polusi sampah. Jika di Kairo bisa, Bantar Gebang pasti juga bisa!

Surat dari Kairo, 2012

ILyani Sudardjat