Dalam sepuluh tahun terakhir, ribuan masyarakat telah menjadi korban praktik penipuan berkedok investasi. Aneka ragam latar belakang korban dan modus penipuan berkedok investasi. Strategi aksi memperdaya masyarakat ini, pada umumnya diawali dengan merekrut public figure atau tokoh masyarakat sebagai peserta (anggota). Sehingga tidak aneh apabila anggota DPR, pemimpin media, istri pejabat juga tidak lepas menjadi korban aksi penipuan berkedok investasi.

Modus penipuan berkedok investasi-pun juga beragam, dari koperasi simpan pinjam, arisan berantai, agrobisnis peternakan itik, sampai bank gelap yang menjanjikan bunga 25 persen per bulan. Hampir sebagian besar mengobral janji akan imbal balik investasi yang tinggi.

Modus penipuan terus mengalami perkembangan. Bahkan akhir-akhir ini marak adanya pemasaran produk perjalanan umroh dan haji berkedok multi level marketing (MLM). Lantas, bagaimana masyarakat harus menyikapi hal tersebut? Adakah perlindungan konsumen bagi peserta (anggota)?

Sejarah Penipuan Investasi

Aksi penipuan berkedok investasi tidak serta merta muncul pada saat ini. Aksi ini mempunyai sejarah panjang di luar negeri. Adalah aksi Charles Ponzi, kemudian terkenal dengan skema Ponzi, melakukan penipuan berkedok investasi besar-besaran di Amerika pada tahun 1919-1920 dan 1926-1934. Aksi penipuan investasi ini dengan cara menjanjikan imbal balik luar biasa besarnya yang sebenarnya didapatkan dari uang investor lain yang menginvestasikan uangnya belakangan. Artinya, imbal balik bukan berasal dari hasil pengelolaan uang para investor tersebut.

Seiring dengan perkembangan waktu, masih dalam konteks penipuan berkedok investasi, ada beberapa modus yang merupakan varian atau pengembangan skema Ponzi. Pengembangan dimaksud seperti: (1) skema piramida dimana perekrutan terhadap investor baru merupakan sumber dari pengembangan investasi perserta sebelumnya; (2) arisan berantai, skema piramida yang disebarkan dalam bentuk surat kaleng dan besaran investasi kecil; (3) tawaran investasi di sektor agribisnis (misalnya: peternakan itik atau burung unta, perkebunan jati dan sebagainya) dengan menjanjikan imbal balik minimal 300 persen dalam lima tahun; (4) berkedok lowongan pekerjaan, yang mengharuskan peserta (anggota) untuk membayar biaya pelatihan atau menyetorkan uang terlebih dahulu sebagai prasyarat; (5) penipuan berkedok perdagangan valuta asing.

Berangkat dari sejarah panjang praktik penipuan berkedok investasi, maraknya pemasaran produk perjalanan umroh dan haji berkedok multi level marketing (MLM) harus disikapi secara kritis.

Sikap kritis konsumen dalam tahap pra-transaksi (tahap penawaran, promosi dan iklan ), maka konsumen harus (1) Hati-hati dan jangan mudah tergoda terhadap janji-janji surga yang ditawarkan biro perjalanan haji/umroh; (2) Kumpulkan infomasi sebanyak mungkin tentang profil biro perjalanan, berikut profil pengurus; (3) Usahakan meminta semua janji-janji dalam dokumen tertulis, dan simpan baik-baik, apabila dikemudian hari ada masalah, dokumen tersebut dapat menjadi evidence bagi konsumen untuk menuntut hak-haknya.

Sedangkan sikap kritis konsumen dalam tahap transaksi berupa: (1) Yakinkan bahwa sebelum melakukan transaksi, biro perjalanan haji/umroh telah memiliki kelengkapan dokumen hukum atau perijinan, bila perlu klarifikasi ke instansi yang mengeluarkan ijin, apakah masa berlaku ijin tersebut masih valid; (2) periksa dengan teliti semua dokumen yang harus ditanda-tangani konsumen, ada tidaknya unfair term contract dalam perjanjian atau dokumen.

Kontrak yang tidak fair contohnya seperti dalam klausula yang menyebutkan bahwa biro pejalanan haji/umroh dibebaskan dari segala tanggungjawab hukum apabila di kemudian hari dalam transaksi ini ada masalah.

Sikap kritis konsumen dalam pasca transaksi: (1) Penting adanya kejelasan mekanisme complaint dan penyelesaian sengketa; (2) Dalam hal ada indikasi biro perjalanan haji/umroh melakukan pelanggaran hak-hak konsumen, jangan segan-segan melakukan complaint. Dengan complaint, selain menuntut hak, juga menyelamatkan konsumen lain agar tidak mengalami nasib sama dan sekaligus memberi pelajaran kepada biro perjalan haji/umroh; (3) Apabila complaint ke biro perjalanan haji/umroh tidak mendapat tanggapan atau mendapat tanggapan tetapi belum menyelesaikan masalah, konsumen dapat meminta bantuan pihak ketiga untuk penyelesaian. Pihak ketiga dimaksud seperti; Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau Lembaga Konsumen setempat.

***

Ada dua dimensi dalam penyelenggaraan ibadah haji/umroh, yaitu aspek ritual/spiritual dan supporting/bisnis. Aspek supporting/bisnis antara lain terkait transportasi, pemondokan dan catering. Dalam dimensi supporting inilah berpotensi terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen. Untuk itu perlu ada kesamaan persepsi, khususnya menyangkut tingkat pelayanan antara konsumen dan penyelenggara perjalanan umroh/haji. Bagi konsumen, besaran biaya penyelenggaraan haji/umroh idealnya berbanding lurus dengan tingkat pelayanan yang diterima konsumen.

Sudaryatmo