Asean Economy Community atau komunitas ekonomi ASEAN semakin dekat pelaksanannya, tahun 2015. Berbagai persiapan terkait harmonisasi standar keamanan produk, dilakukan oleh masing-masing negara, dan dikoordinasi oleh kementrian terkait antar negara ASEAN. Dan yang perlu diketahui, satu-satunya barrier produk masuk ke suatu negara adalah masalah keamanan  ini.

Dari berbagai macam produk, yang paling penting tentu keamanan pangan.

Nah, bagaimana persiapan Indonesia soal keamanan pangan? Bisa-bisa pangan negara tetangga berlimpah masuk ke Indonesia, sementara ketika kita mau mengekspor ke negara tetangga malah ditolak dengan alasan keamanan pangan.

Dan yang ironisnya, pengawasan keamanan pangan di Indonesia sangat lemah. Berdasarkan UU Pangan, ada 3 otoritas kompeten  pengawasan pangan di Indonesia, pertama untuk pangan kemasan merupakan otoritas BPOM atau Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Walaupun masih lemah, BPOM termasuk sudah memiliki mekanisme yang cukup baik di pintu impor hingga ke pasar. Mereka punya sistem yang disebut pengawasan  pre-market dan post-market.

Kedua, Pangan jajanan dan cepat saji otoritas pengawasannya ada di tangan Pemprov/Pemda. Kalau pangan jajanan tentu tidak terkait transaksi lintas batas negara.

Ketiga, untuk pangan segar merupakan otoritas Kementrian Pertanian. Nah disinilah krusialnya. Indonesia tidak mempunyai mekanisme pengawasan keamanan pangan di pintu masuk impor. Tidak ada persyaratan kelengkapan dokumen apakah importir pangan segar residu pestisidanya sudah sesuai standar apa belum. Apalagi pengujian. Tidak heran, ketika suatu lembaga mengadakan pengujian terhadap buah-buah segar impor, ternyata mengandung pengawet formalin.

Mengapa Kementan diam saja soal keamanan pangan segar ini? Sulit menghalangi pangan segar masuk ke Indonesia melalui jalur quota! Tetapi bisa melalui mekanisme keamanan pangan! Itu yang harusnya dilakukan jika hendak melindungi pangan segar lokal Indonesia, disamping tentu meningkatkan dengan sekuatnya kapasitas dan keamanan produksi petani.

Dan ketika saya menghadiri workshop keamanan pangan di Bangkok, presentasi dari perwakilan Thailand juga menunjukkan bahwa sekitar 38-50% buah dan sayur produksi Thailand memiliki residu pestisida melebihi ambang batas.

1382071852477705181

Sumber: ASEAN Committee on Consumer Protection (ACCP)

Selain itu juga diketahui bahwa tingkat pemakaian pestisida dikalangan petani Vietnam, Thailand sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan petani Indonesia. Tidak heran, banyak produk segar Thailand dan Vietnam yang ditolak masuk ke Uni Eropa, dan jangan-jangan inilah yang masuk ke Indonesia. La wong gak ada pengawasannya.

Masalah pangan juga terkait dengan ke-Halal-annya. Ini juga sudah menjadi bahan pertimbangan dagang negara produsen pangan di ASEAN. Indonesia, Malaysia yang mayoritas Islam dan minoritas muslim di beberapa negara ASEAN tentu juga membutuhkan pangan yang terjamin Halalnya. Untuk itu terdapat ASEAN Halal Food.

Pasar Bebas ASEAN memang masih di tahun 2015. Tetapi tidak dapat dipungkiri, produk-produk negara ASEAN sudah masuk ke Indonesia, termasuk buah, sayuran segar, dan pangan lainnya. Nah, jika pemerintah sudah pula lemah pengawasannya, tentu kita lah sebagai konsumen yang pro-aktif melindungi diri kita sendiri.

Apa yang harus dilakukan jika produk impor, termasuk pangan yang dikonsumsi ternyata bermasalah?

Civil society sesama negara ASEAN juga memperkuat diri agar tidak menjadi korban kebebasan lintas batas perdagangan ini. Diantaranya adalah mempromosikan agar masing-masing negara mengutamakan konsumsi produk lokal. Kemudian, mendorong adanya mekanisme pengaduan di otoritas masing-masing negara agar dapat menerima pengaduan lintas negara.

Disini ada kontak pengaduan untuk negara-negara ASEAN itu. Ini berlaku ketika kita mukim di negara tersebut, sekedar traveling ataupun ketika kita di Indonesia mengkonsumsi produk impor.

13820716711900068906

Silahkan kontak nomer tersebut, jika menemukan produk bermasalah.

Jakarta, 18 Oktober 2013.

Ilyani S. Andang

Anggota PH YLKI