Hak-hak konsumen sudah dilindungi didalam UU Perlindungan Konsumen no.8 tahun 1999. Diantaranya adalah hak untuk mengetahui apakah pangan yang dikonsumsi konsumen termasuk dalam kategori ‘Halal’ atau tidak. Mengingat jumlah konsumen muslim adalah mayoritas di Indonesia, tuntutan untuk memenuhi hak ini semakin tinggi dari hari ke hari.

Sayang, walaupun kebutuhan ini semakin tinggi, lembaga otoritas yang melakukan sertifikasi Halal, dipertanyakan kredibilitasnya. Sekarang ini Tempo sedang mengangkat kasus mengenai Jual Beli Sertifikasi Halal MUI nya Indonesia di Australia. Disinyalir, biaya sertifikasi ini mahal sekali, termasuk biaya untuk mendatangkan auditor ke lokasi.

Kebetulan pula, hari Jumat lalu, saya juga ke Tempo TV untuk diskusi mengenai isu ini. Ada narasumber dari MUI,  dan yang datang langsung adalah ketua MUI, yaitu pak Amidhan.  Tentu saja,  pak Amidhan membantah isu ini dengan menyatakan bahwa berita itu tidak benar,  bahwa itu adalah kesalahan/kelemahan pengawasan, dan MUI bisa jadi memang lemah dalam hal ini.

Tetapi di luar bantahan beliau mengenai masalah ini, otoritas MUI sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikasi Halal perlu dikritisi. Dan kelemahan ini pula yang akan membuat sistem di MUI banyak ‘bolong’nya,  sangat besarnya ‘peluang korupsi’, termasuk isu jual-beli sertifikasi itu.

Kelemahan tersebut adalah:

1. Sandaran legal penunjukkan MUI sebagai lembaga otoritas yang mengeluarkan sertifikasi Halal itu tidak ada. MUI itu ormas, bukan lembaga negara. DI UU Pangan no. 18 tahun 2012 pasal 95, hanya disebutkan bahwa lembaga penjaminan Halal itu dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah.

Hingga kini,  sandaran legal yang diharapkan itu adalah RUU Penjaminan Halal. Sayang, di RUU ini terjadi tarik menarik kepentingan antara Kementrian Agama dan MUI masalah sertifikasi Halal ini.

Walaupun tidak ada sandaran legal, apalagi MUI bukan lembaga negara melainkan ormas, tetapi BPOM selalu merujuk ke MUI untuk sertifikasi Halal. Karena memang selama ini tidak ada lembaga negara yang mengurusi masalah Halal. Sementara MUI sudah mengambil inisiatif masalah sertifikasi Halal ini sejak puluhan tahun silam.

Dan yang parahnya, sertifikasi Halal dari negara lain tidak diakui oleh MUI sini. Mengapa? Jadi walau sudah disebut Halal misalnya di Malaysia atau Thailand, masuk ke Indonesia tetap harus bayar lagi untuk sertifikasi Halal? Bayangkan, berapa banyak arus produk pangan impor yang masuk ke Indonesia tersebut harus melalui MUI.

Ini membuat biaya dua kali lipat. Ketika saya tanyakan ke pak Amidhan, mengapa tidak diakui? Beliau menjawab karena tafsirnya beda. Tetapi kan yang menafsirkan ulama juga? Ampiun dah, bikin tidak efisien.

Itu dari sisi importir. Dari sisi eksportir, sertifikasi MUI juga tidak diakui ke negara lain. Sehingga produk Indonesia ditolak masuk, termasuk ke timur tengah. Karena mereka tidak mengenal MUI sebagai otoritas negara. Ini beda dengan produk pangan Halal Malaysia dan Thailand yang sudah masuk dengan baik ke berbagai negara di dunia, termasuk timur tengah.

Kemudian, karena bukan lembaga negara, apakah BPK atau KPK bisa melakukan audit terhadap pengelolaan sertifikasi ini? Bagaimana cara mempertanggung jawabkannya kepada publik?

2. Jika lembaga mengeluarkan sertifikasi, maka harus memiliki auditor, laboratorium yang juga sudah kompeten atau terakreditasi

Semua sistem akreditasi dan standarisasi di Indonesia seharusnya ada di bawah payung BSN atau Badan Standarisasi Nasional, sementara lembaga pengeluar sertifikasinya dibawah payung KAN atau Komite Akreditasi Nasional. Sistem yang terpadu oleh lembaga negara ini pula yang membuat Indonesia bisa membuat harmonisasi standar dengan sesama negara ASEAN atau secara global, sehingga tidak perlu ada kasus dimana Halal di negara A tidak diakui oleh negara B.

Kalau di Thailand, otoritas standar Halal ada di Food Safety and Standarization, dibawah Kementrian Pertanian. Sementara guideline Halalnya sehingga menjadi Standar Halal itu diapproved atau ‘difatwakan’ oleh Lembaga Urusan Agama Islam Thailand. Jadi otoritas lembaga negara yang melakukan sertifikasi berdasarkan panduan tersebut. Sekarang dengan sistem ini, Thailand melejit sebagai negara pengekspor pangan Halal terbesar ke-3 di dunia. Indonesia yang muslim terbesar di dunia dan negara kaya pangan ini malah kalah jauh, karena sistem Halalnya amburadul. Ya karena Halal MUI ini tidak ada negara lain yang mengakui.

3. MUI tidak memiliki sistem pengawasan Sertifikasi Halal

Ini juga menjadi catatan, karena sebagai ormas, MUI tidak memiliki ‘tangan’ dalam mengawasi sertifikasi Halal ini. Makanya bisa kejadian, ada yang sudah tertulis ‘Halal’, eh ternyata mengandung babi.

Di dalam Pasal 95 UU Pangan, ayat 1 disebutkan bahwa Pengawasan Pangan Halal dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Kalau bisa dipadukan dengan sistem pengawasan pangan lainnya.

Sekarang di era globalisasi ini, sebaiknya MUI memang hanya berfungsi sebagai guideline saja. Dan itupun kalau bisa langsung ‘dicantelkan’ ke BPOM, sehingga produk pangan itu tidak perlu ke 2 lembaga, ke BPOM dulu, terus ke MUI. Atau adakah lembaga lain? Sehingga sistem di Indonesia itu makin efektif dan efisien, dan produk pangan Halal Indonesia bisa bersaing di dunia.

Yang anehnya, sandaran legal yang diharapkan soal Halal, yaitu RUU Penjaminan Halal malah tidak kelar-kelar dibahas. Karena terjadi ‘rebutan’ antara Kementrian Agama dan MUI. Rasanya  makin miris saja. Malah kalau dipegang Kementrian Agama, semakin jauh rasanya, karena sebelumnya tidak pernah memegang isu pangan dan isu halal. Kompetensinya jauh banget. Urusan Haji yang sudah berpuluh tahun dipegang saja masih belum kompeten, transparan, akuntabel, kredibel, kini masih mau megang isu pangan halal.

Jakarta, 24 Faberuari 2014

Ilyani S. Andang

Anggota Pengurus Harian – YLKI