Produk pangan mengandung bahan tambahan yang dilarang masih sering ditemukan di pasaran. Temuan kosmetik mengandung bahan berbahaya juga kerap diumumkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Demikian juga jamu yang mengandung bahan kimia obat.

Kenapa pelanggaran-pelanggaran ini masih selalu ditemukan, padahal jelas ada regulasi yang mengaturnya? Jawabannya tentu saja pengawasan yang tidak berjalan, dan tidak ada tanggung jawab dari para produsen produk-produk tersebut. Namun tidak jarang juga konsumen yang dipersalahkan. Konsumen dituntut untuk cerdas dan kritis dalam memilih produk. Bagaimana konsumen mampu memilih untuk hal yang disebutkan di awal tadi? Semua itu baru dapat diketahui setelah melalui uji laboratorium. Tidak mungkin mengharapkan konsumen menguji terlebih dahulu produk yang akan dikonsumsinya.

Belakangan santer dikampanyekan perlunya standar untuk menjamin keamanan serta kualitas produk yang diproduksi dan diperjualbelikan. Pertanyaannya kemudian, apakah keberadaan standar mampu mencegah beredarnya produk-produk yang tidak aman dan tidak berkualitas? Bagaimana sebenarnya keterkaitan standar dengan perlindungan konsumen?

UU Perlindungan Konsumen

Dalam konteks perlindungan konsumen, standar memang seharusnya punya peran penting. Setidaknya, kata-kata standar muncul dalam pasal-pasal Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UUPK Nomor 8 Tahun 1999.

Pasal 7, di antara Kewajiban Pelaku Usaha adalah (d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Demikian juga, Pasal 8 menyebutkan: Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari pasal-pasal ini jelas bahwa pelaku usaha harus mengikuti standar yang berlaku. Apabila tidak? Jangan main-main, UU ini juga menetapkan sanksi yang cukup berat bagi para pelanggarnya. Melanggar Pasal 8, berarti siap dengan ancaman kurungan maksimal 5 tahun atau denda maksimal 2 milyar rupiah (Pasal 62). Meski kenyataannya, kita tidak pernah tahu apakah pelanggar-pelanggar seperti diceritakan di awal tulisan ini sempat dikenakan sanksi atau tidak.

Standar, Untuk Siapa?

LOGO SNI
Indonesia telah menerbitkan tidak kurang dari 6.000 standar, termasuk di dalamnya standar terkait produk pangan, kosmetik, elektronik, alat kebutuhan rumah tangga, otomotif, dan lain sebagainya. Standar-standar ini disusun melalui proses yang tidak sederhana. Harus melalui konsensus, yang diikuti oleh seluruh pemangku kepentingan seperti pemerintah (dari berbagai sektor), pelaku usaha, konsumen, dan akademisi. Demikian teorinya.

Mengingat proses ini, mestinya tidak ada alasan untuk tidak menerapkan standar ini. Pelaku usaha secara otomatis mengikuti standar dalam memproduksi produknya, pemerintah juga melakukan pengawasan berdasarkan standar ini. Namun kenyataannya tidak demikian. Sebagai contoh saja, penelitian yang pernah dilakukan YLKI terhadap 30 sampel produk ikan dalam saos tomat, menemukan hanya satu sampel yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam standar. Pada saat temuan ini dibawa dalam suatu diskusi, para pelaku usaha produk ini mengaku sulit, atau bahkan tidak mungkin, memenuhi standar yang telah ditetapkan. Kalau sudah begini, untuk apa sebenarnya standar dibuat?

Standar yang ditetapkan ternyata tidak ‘harus’ diikuti. Karena ada, bahkan sebagian besar, standar hanya bersifat sukarela. Artinya, terserah para produsen dan pelaku usaha untuk menerapkan standar atau tidak. Tidak ada kewajiban untuk itu. Tidak akan dipersalahkan apabila produsen menghasilkan produk yang tidak sesuai bahkan di bawah standar yang ditetapkan.

Berbeda halnya bila suatu standar ditetapkan wajib. Pelaku usaha, minimal, harus memenuhi persyaratan standar tersebut. Malangnya, baru sebagian kecil produk yang diwajibkan untuk memenuhi standar. Hingga saat ini baru 59 SNI yang ditetapkan wajib. Untuk produk pangan saja, baru ada lima produk yang memiliki standar wajib: air minum dalam kemasan, tepung terigu, garam beryodium, kakao dan gula rafinasi. Produk lain diantaranya ban, besi baja, kabel listrik, lampu swabalast, seterika listrik dan lainnya.

Untuk produk yang telah diuji dan memenuhi standar, setelah memperoleh SPPT SNI (Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI) yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro), berhak mencantumkan logo SNI pada kemasan atau produknya. Logo atau penandaan SNI seharusnya dapat digunakan konsumen sebagai panduan dalam memilih produk. Sayangnya, masih banyak konsumen yang belum mengetahui keberadaan serta makna SNI ini. Di sisi lain, bagi yang telah mengetahuinya, ternyata sangat sulit menemukan produk yang mencantumkan tanda SNI, karena masih sangat sedikitnya produk yang memiliki sertifikat SNI.

Sebenarnya, apa tujuan dibentuknya standar, dan untuk siapa standar dibuat? Tujuan standar diantaranya adalah memberi jaminan keamanan dan mutu bagi konsumen, dan membangun persaingan yang sehat pada pelaku usaha. Standar merupakan kualifikasi (minimal) tertentu yang harus dipenuhi oleh suatu produk atau jasa, sebelum dilempar ke pasar, dan dimanfaatkan konsumen.

Lalu, apa fungsi standar? Bagi pemerintah, standar dibuat untuk menentukan kriteria keamanan dan kualitas yang harus dipenuhi oleh suatu produk tertentu. Pelaku usaha yang memproduksi jenis produk tersebut, minimal harus memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam standar. Oleh karena itu, standar juga dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat kontrol, untuk memastikan produk yang beredar di pasar memang layak dikonsumsi.

Karena standar merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi, pelaku usaha dapat berkreasi mencari nilai tambah produk dibandingkan produk sejenis lainnya. Di samping itu, pelaku usaha dapat memperoleh sertifikat SNI, dikeluarkan oleh LSPro, yang merupakan pengakuan terhadap kualitas hasil produksinya. Dengan memiliki sertifikat, pelaku usaha berhak mencantumkan logo SNI pada kemasan produknya.

Bagi konsumen sendiri, penandaan SNI pada suatu produk sebenarnya dapat dijadikan dasar memilih produk. Penandaan ini merupakan jaminan dan kepastian bahwa produk tersebut telah memenuhi syarat yang ditetapkan serta aman dan layak dikonsumsi. Sayangnya, seperti disebutkan di atas, masih belum banyak masyarakat yang memahami standar dan arti logo SNI pada produk. Di sisi lain, belum banyak juga jenis produk yang telah memiliki sertifikat dan mencantumkan logo SNI.

Masyarakat justru lebih mengenali penandaan atau klaim-klaim selain SNI yang dicantumkan pada kemasan, dan menjadikannya dasar untuk memilih. Misalnya saja keterangan atau logo ‘halal’, atau keterangan ‘organik’ yang menunjukkan produk tersebut bebas dari pestisida dan pupuk kimia. Atau klaim produk lain seperti ‘non toxic’, ‘save energy’, dan lainnya, meskipun tidak ada kepastian kebenaran dari klaim-klaim tersebut.

Pengawasan

Standar akan berperan dalam perlindungan konsumen apabila pengawasan dilakukan dengan benar. Yang paling bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan tentu saja pemerintah atau instansi yang terkait. Pemerintah melakukan pengawasan baik sebelum produk dipasarkan, maupun setelah produk beredar di pasar, termasuk untuk produk-produk impor. Sayangnya, untuk produk selain pangan, obat, dan kosmetik yang berada di bawah tanggung jawab BPOM, tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk pengawasan post-market. Konon, Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, Kementerian Perdagangan hanya mengawasi produk-produk yang wajib menerapkan SNI. Sampai saat ini pun kita belum pernah mendengar apakah institusi ini pernah menemukan pelanggaran SNI wajib, serta tindakan apa yang diambil. Tindakan tegas dan penegakan hukum menjadi sangat penting apabila pemerintah benar-benar ingin melindungi masyarakat.

Sesungguhnya, peran pengawasan juga menjadi kewajiban pelaku usaha, dengan memastikan quality control dan quality assurance berjalan sebagaimana mestinya. Serta memastikan menerapkan standar yang berlaku mulai dari hulu hingga hilir. Konsumen pun dapat berperan dengan berani bertindak apabila menemukan produk yang dicurigai tidak memenuhi standar dan peraturan.

Dengan adanya berbagai perjanjian global yang memaksa Indonesia menerima produk-produk impor hampir tanpa batasan apapun, standar menjadi instrumen penting untuk memastikan produk yang masuk ke Indonesia adalah produk-produk yang baik. Tanpa adanya standar, pemerintah tidak punya alasan untuk mencegah masuknya produk impor yang tidak berkualitas. Meski seharusnya, untuk hal-hal terkait faktor keamanan, pemerintah tidak perlu menunggu standar untuk melakukan pengawasan dan pencegahan di pintu masuk impor. Semoga…

Oleh: Huzna G. Zahir