Tiba-tiba Go-Jek naik daun. Kehadiran moda transportasi berbasis kendaraan roda dua di Jakarta seolah menjadi oasis di tengah kurangnya pelayanan angkutan umum. Ratusan sarjana pun bergabung dan ingin mereguk gurihnya pendapatan pengemudi Go-Jek, yang konon bisa mencapai Rp. 400-500 ribu per hari.

Harus diakui, Go-Jek memang mengantongi beberapa nilai plus. Pertama, perusahaan ini dikelola dengan manajemen modern, berbadan hukum (PT GoJek Indonesia), dan berbasis teknologi informasi (aplikasi). Bandingkan dengan perusahaan angkutan umum di Jakarta, yang mayoritas dikelola dengan badan hukum abal-abal dan manajemen konservatif.

Kedua, Go-Jek memanusiakan penggunanya. Misalnya, ada kepastian waktu kedatangan, tarif yang terkontrol, perasaan lebih nyaman dan aman, dan pelayanan multi-fungsi. Ketiga, Go-Jek, sebagaimana ojek pangkalan dan sepeda motor pada umumnya, dianggap sebagai solusi alternatif untuk menghadapi kemacetan di Jakarta.

Karena itu, munculnya Go-Jek, Grab-Bike, dan perusahaan lainnya, dari sisi sosiologis, menjadi solusi alternatif atas masalah akses transportasi publik. Jika hanya melihat pada tataran ini, Go-Jek sepertinya menjawab problematika yang dialami masyarakat sebagai pengguna transportasi publik. Namun, dalam konteks bertransportasi, parameter pertama bukanlah sisi akses (ketersediaan), melainkan sisi keselamatan. Walhasil, jika sisi keselamatan bertransportasi menjadi basis, fenomena Go-Jek merupakan paradoks, bahkan kemunduran. Pasalnya, sepeda motor merupakan moda transportasi paling tidak aman. Jangankan untuk transportasi umum, untuk kendaraan pribadi pun sepeda motor tak cukup layak, kecuali hanya sebagai feeder transport (transportasi pengumpan) dengan jarak 3-5 kilometer saja.

Data menunjukkan betapa sepeda motor bukanlah moda transportasi yang aman. Pertama, lihatlah, mayoritas korban kecelakaan lalu lintas di jalan raya adalah pengguna sepeda motor. Di Indonesia, per tahun, lebih dari 30 ribu orang meninggal di jalan raya akibat kecelakaan lalu lintas, dan 75 persen korban adalah pengguna sepeda motor. Kedua, saat masa mudik lebaran tahun ini, tak kurang dari 657 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Lagi-lagi pengguna sepeda motor paling banyak menjadi korban.

Ketiga, di kota-kota besar dunia, bahkan di negara kampiun industri otomotif, tak satu pun orang yang menjadikan sepeda motor sebagai basis utama transportasi, apalagi untuk angkutan umum. Hanya warga Kota Ho Chi Minh dan Hanoi, Vietnam, yang menggunakan sepeda motor sebagai transportasi pribadi. Sepeda motor umumnya tidak boleh masuk jalan protokol, seperti di kota-kota besar Cina (Beijing, Shanghai, dan Guangzhou). Di sana, sepeda motor hanya boleh dipakai di area pinggiran. Itu pun mayoritas berupa sepeda motor listrik dengan kapasitas mesin (cc) kecil, sehingga penggunanya tidak bisa ngebut dan hampir tak ada kecelakaan.

Munculnya Go-Jek dan perusahaan sejenis seharusnya menjadi pelecut untuk “merevolusi mental” pengelolaan angkutan umum di Jakarta agar lebih manusiawi, modern, mempunyai aksesibilitas tinggi, dan terintegrasi. Bukan malah sebaliknya, melegalkan ojek sebagai angkutan umum resmi, yang berarti meletakkan aspek keselamatan dalam bertransportasi pada lapisan yang paling rendah.

Sumber: Kliping Media YLKI 

Koran Tempo, 25 Agustus 2015 (Penulis: Tulus Abadi).