Kemenhub secara resmi telah melarang ojeg sebagai angkutan umum manusia. Secara normatif apa yang dilakukan Kemenhub memang benar adanya, karena memang secara regulasi  sepeda motor tidak memenuhi spesifikasi teknis sebagai angkutan umum manusia, dan tidak pula memenuhi standar keselaman (unsafety). Dalam konteks ini, larangan Kemenhub bisa diapresiasi.

Namun demikian, secara sosiologis, larangan ini saya khawatir hanya akan menjadi macan ompong belaka. Mengapa?

1. Larangan ini sudah sangat terlambat, karena kini ojek sudah tumbuh subur, bak cendawan di musim hujan. Bukan hanya ojek pangkalan, tetapi justru yang menjadi fenomena adalah ojek yang berbasis aplikasi.

2. Dipastikan sekalipun dilarang karena melanggar hukum, sanksi dan penegakan hukumnya pasti akan sangat lemah. Karena faktanya keberadaan ojek justru banyak dibackup oleh oknum aparat, baik polisi, dishub dan juga tentara. Keberadaan ojek justru dipelihara oleh oknum-oknum yang bersangkutan itu;

3. Tumbuh suburnya sepeda motor dan ojeg, adalah karena kegagalan pemerintah dalam menyediakan angkutan umum yang layak dan terjangkau. Walaupun, ketika sepeda motor sudah menjadi wabah, dampaknya justru turut mematikan angkutan umum resmi;

Dengan demikian, Kemenhub tidak bisa serta merta melarang keberadaan ojek, jikalau pemerintah belum mampu menyediakan akses angkutan umum. Sementara angkutan unum yang ada pun tidak aman dan selamat juga; seperti kasus metromini, dll. Apalagi untuk kota Jakarta yang kian terpenjara oleh kemacetan. Oleh karena itu, YLKI mendesak Kemenhub dan pemerintah daerah, untuk segera memperbaiki pelayanan agkutan umum. Sebab, sebagai public services, adalah tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan angkutan umum. Jangan hanya bisa melarang tetapi tidak mampu memberikan solsusi.

Demikian, terima kasih.

Wassalam,

Tulus Abadi,
Ketua Pengurus Harian YLKI