Sampah, selalu menjadi masalah klasik kota – kota besar di Indonesia. Di samping manajemen pengelolaannya yang masih karutmarut, kontribusi konsumen untuk menyampah ternyata cukup besar. Jika setiap orang menghasilkan sampah 0,5 kilogram saja setiap hari, maka berapa gunungan sampah akan terbentuk di Jakarta, yang berpenduduk lebih dari 2 juta orang.

Memang masalah sampah tak lagi bisa dipandang enteng. Keberadaan Dinas Kebersihan di setiap kota yang sejatinya mempunyai tugas menyelenggarakan usaha-usaha guna menciptakan kota yang bersih, tertib, sehat dan indah nampak kedodoran dalam mengatasi hal ini. Fungsi pelayanan yang idealnya mampu mengembangkan pelayanan sampah dan air kotor, memberikan konsultasi teknis mengenai sistem dan bangunan persampahan, memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat, dalam upaya menggerakkan peran serta dalam turut memelihara dan menjaga kebersihan lingkungan, belum berjalan secara optimal.

Masalah kecilnya anggaran yang disuplai dari APBD kerap menjadi alasan klasik terhadap pemenuhan fungsi pelayanan. Menjadi pertanyaan, dimana pertanggungjawaban pungutan retribusi sampah selama ini ?

Kontribusi Konsumen 

Indonesia boleh saja iri terhadap negara tetangga yang telah terkelola dengan baik masalah sampahnya. Di Singapura misalnya, negara yang mencanangkan zero landfill (tanpa tempat pembuangan akhir) mewajibkan setiap rumah tangga memisahkan sampah organik dengan sampah non organik. Selanjutnya petugas kebersihan sesuai jadwal akan mengambil sampah yang telah dipilah dan dimanfaatkan berdasarkan peruntukannya. Negara yang memiliki teknologi Tuas Marine Transfer Station (TMTS) untuk pengelolaaan sampah ini juga melengkapi dirinya dengan peraturan hukum lingkungan yang ditegakkan dengan baik. Permasalahannya, bila resep dari negeri singa tersebut diterapkan di Indonesia, sejauh mana masyarakat memahami tentang sampah organik dan non organik? Bagaimana pula menumbuhkan kesadaran tersebut?

Dari kacamata gerakan perlindungan konsumen, program konsumsi yang berkelanjutan menjadi titik tolak atas gerakan moral dengan mengupayakan pola konsumsi yang meminimalisir dampak terhadap lingkungan. Salah satunya upaya mengurangi volume sampah. Perwujudan konsep ini dengan menerjemahkan rumusan reduce, reuse, recycling and refill (4R) dalam berbagai kesempatan.

Rumusan yang terkandung dalam 4R dapat dipahami dengan memilih komoditas yang dalam proses maupun pasca produksi serta distribusi memperhatikan aspek apresiasi terhadap lingkungan. Khusus untuk memilih produk makanan dan minuman, dengan mengusahakan kemasan yang sesedikit mungkin menggunakan bahan dari plastik atau styrofoam. Bila memungkinkan pilih dengan kemasan dari daun.

Pemahaman lain dengan membeli barang yang memang benar-benar dibutuhkan. Jika masih memungkinkan, mencoba memanfaatkan ulang barang yang sudah ada dengan sentuhan kreasi. Sehingga tidak selamanya harus menggunakan produk baru, sebab produk baru berarti menciptakan sampah baru.

Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya memang lebih bersentuhan dengan faktor kebiasaan/perilaku, bahkan menyangkut kultur masyarakat. Kendatipun pemerintah telah membuat peraturan, namun bila tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang memadai, masyarakat dengan entengnya tetap membuang sampah tidak pada tempatnya. Besarnya denda yang dicantumkan, tak menyurutkan nyali warga membuang sampah sembarangan.

Memilah antara sampah organik dan non organik juga terkait dengan kebiasaan masing-masing individu. Pekerjaan yang sebenarnya enteng ini akan sangat membantu orang lain – khususnya pemulung. Namun timbul pertanyaan, apakah pemilahan sampah yang dilakukan warga juga akan ditangani sesuai dengan klasifikasinya oleh petugas? Atau hanya tetap akan ditimbun secara bebarengan di TPA?

Padahal dengan pemilahan sampah, akan memudahkan bila terdapat pengelolaan berkelanjutan. Kelompok sampah orgamnik bisa ditindaklanjuti dengan pengomposan, misalnya. Kompos yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk jalur penghijauan di sepanjang bantaran sungai maupun jalan raya.

Penulis : Agus Sujatno