“ Your complaint is important to us. The real test of any organization is how it deals with complaints from the public (Michael Grade, BBC Chairman )
Dalam dekade terakhir ini telah terjadi pegeseran paradigma di kalangan pelaku usaha di Eropa dan sejumlah negara maju dalam melihat pengaduan konsumen. Awalnya pengaduan konsumen dilihat sebagai suatu aib, hal yang harus dihindari dan dikonotasikan bermakna negatif. Namun sekarang justru dimaknai sebaliknya. Pengaduan adalah bentuk atensi konsumen kepada pelaku usaha. Semakin banyak pengaduan, semakin banyak atensi konsumen dan berarti bisnis ini punya masa depan. Dengan banyaknya pengaduan, pelaku usaha mendapatkan feedback berharga dari konsumen dan berarti terbuka kesempatan untuk selalu meng-improve mutu produk berupa barang dan jasa. Sehingga tidak aneh apabila ada pelaku usaha yang memberi penghargaan/hadiah sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada konsumen yang mengadu, karena telah memberikan masukan berharga bagi pelaku usaha.
Namun tidak demikian halnya yang dialami konsumen di Indonesia. Kasus yang dialami Prita Mulyasari adalah salah satu contoh, ketika Prita sebagai konsumen mengadu, boro-boro mendapat ucapan terima kasih, tetapi justru dikriminalisasi, dituduh melakukan kejahatan karena telah mencemarkan nama baik RS Omni Internatioal. Dan sempat mendekam di jeruji besi.
Melalui putusan No. 822/K/Pid.sus, Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan permohonan kasasi jaksa penuntut umum dalam kasus pidana Prita Mulyasari. Putusan ini dijatuhkan pada 30 Juni 2011, oleh majelis hakim agung Zaharuddin Utama, Salman Luthan dan ketua majelis Imam Harjadi. Isi putusan MA, Prita dihukum 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Walaupun Prita tak perlu menjalani hukuman penjara, asalkan Prita tidak mengulangi perbuatannya dalam kurun waktu percobaan itu, namun putusan MA ini tetap mengusik rasa keadilan publik.
Majelis kasasi MA dalam kasus Prita gagal memahami tentang arti pentingnya pengaduan, tidak saja bagi Prita selaku konsumen, tetapi juga bagi RS Omni International selaku pelaku usaha dan juga bagi Pemeritah (Kemetrian Kesehatan ) selaku regulator di bidang layanan kesehatan.
Bagi konsumen, pengaduan adalah simbul kebangkitan hak-hak konsumen. Salah satu hak fundamental konsumen adalah hak untuk didengar suaranya dimana didalamnya ada hak untuk menyampaikan keluhan / pengaduan kepada pelaku usaha ( pasal 4 huruf d UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ).
Tidak hanya UU Perlindungan Konsumen, sebagai pasien berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasien juga punya hak untuk menyampaikan keluhan, termasuk hak untuk mengutarakan pengalaman negatif sebagai pasien di media massa.
Bagi rumah sakit selaku penyedia jasa, pengaduan juga sangat dibutuhkan dalam mendapatkan feedback dari konsumen, untuk selanjutnya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya untuk selalu meng-improve kualitas layanan kepada konsumen.
Bagi Kementrian Kesehatan, pengaduan konsumen dapat dijadikan sebagai sarana kontrol atas layanan kesehatan yang ada di masyarakat. Memang sudah ada pejabat Kementrian Kesehatan, namun mata konsumen jauh lebih banyak, sehingga partisipasi konsumen dalam melakukan pengawasan melalui pengaduan jauh lebih efektif.
Salah satu ciri negara yang iklim perlindungan konsumen bagus adalah adanya tradisi komplain ( complaint habit) yang tinggi. Dibandingkan sejumlah negara kebiasaan mengadu di kalangan konsumen Indonesia masih rendah.
Data Bidang Pengaduan YLKI (2010), total pengaduan konsumen yang diterima sebanyak 590 kasus. Sementara data yang dihimpun sejumlah negara seperti: (1) National Consumer Complaint Center (NCCC) Kuala Lumpur Malaysia (2009), menerima 32.369 aduan konsumen ; (2) National Consumer Helpline (NCH) New Delhi India ( 2009/2010), menerima 70.453 aduan konsumen ; (3) Hongkong Consumer Council (HCC) Hongkong ( 2010), menerima 31.207 aduan konsumen.
Putusan Pengadilan ( termasuk MA) yang baik selalu dapat diuji dari tiga aspek : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Putusan MA dalam kasus Prita tidak memenuhi tiga aspek di atas.
Kepastian hukum seperti apa yang akan ditunjukkan MA ? karena dengan putusan MA dalam kasus Prita justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Konsumen yang oleh UU Perlindungan Konsumen dan UU Rumah Sakit dijamin dan dilindungi ketika mengadu, justru diganjar pidana oleh MA.
Kemanfaatan untuk siapa yang ingin disasar MA ? RS Omni Interantional selaku pengadu dalam kasus ini pun tidak mendapat manfaat. Justru sebaliknya putusan MA membangkitkan kembali antipati publik terhadap RS Omni International.
Keadilan bagi siapa yang ingin dituju MA ? Putusan MA dalam kasus Prita adalah potret kegagalan MA dalam mewujudkan pengadilan sebagai rumah keadilan bagi konsumen, tetapi justru sebaliknya pengadilan menjadi sumber ketidakadilan baru bagi konsumen.***
(Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI).
Dimuat di Koran Tempo, 18 Juli 2011)
0 Comments on "Pelajaran dari kasus Prita"