Waiting for Godot! Itulah novel tersohor karya Samuel Beckett, penerima Hadiah Nobel di bidang kesusastraan asal Dublin, Irlandia (1953). Pesan moral novel tersebut sungguh tepat untuk menggambarkan nasib regulasi pengendalian tembakau di Indonesia; khususnya yang diusung oleh Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif.

Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, seharusnya RPP dimaksud telah disahkan pada November 2010. Kendati telah molor satu tahun, hingga kini (November 2011) nasib RPP tersebut tidak begitu jelas juntrungannya. Bukan hanya soal waktu pengesahan, tapi juga substansinya.

Secara normatif, sesungguhnya ini pelanggaran serius; karena pemerintah tak hanya bisa dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigdaad), tapi juga melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Karena itu, banyak hal yang patut dipertanyakan atas ketidakjelasan (ketidakpastian) nasib RPP dimaksud.

Intervensi industri
Patut diduga molornya pembahasan dan pengesahan RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau tidak lepas dari kuatnya intervensi industri rokok. Model semacam ini sudah menjadi kelaziman di seluruh dunia, betapa kuatnya intervensi industri rokok pada suatu regulasi. Bahkan tak jarang mereka “membeli” pejabat publik untuk tidak mengesahkan suatu aturan (delete tactic) atau setidaknya menunda suatu aturan (delay tactic). Relevan dengan konteks ini adalah fenomena hilangnya ayat 3 pada Pasal 113 Undang-Undang tentang Kesehatan, saat disahkan pada sidang paripurna (Oktober 2009). Hilangnya ayat ini jelas bukan karena faktor teknis, melainkan upaya gerilya yang amat sistematis oleh industri rokok, yang berkongsi dengan (oknum) anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Juga dengan keberadaan RPP Pengamanan Produk Tembakau ini. Sejak awal, industri tembakau kelojotan bak cacing kepanasan. Ratusan bahkan ribuan petani dari Temanggung, Jawa Tengah, pun dikerahkan untuk menekan Kementerian Kesehatan agar membatalkan pembahasan RPP Pengamanan Produk Tembakau. Padahal sangat ironis kalau kalangan petani tembakau ramai-ramai menolak RPP; apa hubungannya RPP dengan petani tembakau? Praktis tidak ada, baik secara tersurat (langsung) maupun tersirat (tidak langsung). Sayangnya, para petani (dan asosiasi petani tembakau) begitu mudah dikendalikan oleh industri rokok: bak kena hipnotis kelas tinggi!

Substansi RPP
Jika mengacu pada standar internasional, atau bahkan standar universal pengendalian tembakau, sebenarnya substansi yang diatur RPP Pengamanan Produk Tembakau biasa-biasa saja, bahkan elementer. Sebab, RPP tersebut hanya mengatur dua hal, yakni masalah kawasan tanpa rokok (KTR). Pasal ini hanya mengatur agar orang tidak merokok sembarangan, khususnya saat di tempat publik. Adalah hak asasi nonperokok untuk mendapatkan udara yang sehat dan bersih, tanpa diintervensi oleh asap rokok. Bahkan RPP ini masih mengakomodasi adanya smoking room bagi perokok. Ketentuan semacam ini sejatinya tidak sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Selain mengatur masalah KTR, RPP ini mengatur peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning); 50 persen dari bungkus, di bagian depan dan belakang. Peringatan kesehatan bergambar sangatlah penting, untuk memberikan informasi yang utuh tentang bahaya rokok bagi konsumen. Namun justru pasal inilah yang ditolak oleh kalangan industri rokok. Mereka meminta agar peringatan kesehatan tetap dengan tulisan tapi diperbesar ukurannya atau peringatan kesehatan bergambar tapi hanya 30 persen. Keberatan kalangan industri rokok secara empiris layak ditolak, karena selama ini mereka telah mampu mengekspor produk rokok ke luar negeri dengan menggunakan peringatan kesehatan bergambar. Jadi apa yang memberatkan? Apakah mereka lebih tunduk kepada regulasi negara asing ketimbang regulasi di negerinya sendiri?

Segera sahkan!
Tunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa pemerintah patuh hukum, bukan malah sebaliknya. Tunjukkan pula bahwa pemerintah tidak tunduk kepada intervensi industri rokok. RPP Pengamanan Produk Tembakau bukanlah palu godam yang mematikan bagi petani tembakau dan industri rokok. Petani tembakau masih tetap punya kemerdekaan untuk menanam tembakau. Industri rokok masih tetap leluasa berjualan rokok, bahkan beriklan dan berpromosi. Sangat tidak mungkin 65 juta perokok aktif di Indonesia berhenti merokok hanya karena diterapkan kawasan tanpa rokok dan peringatan kesehatan bergambar. Kalaupun cukai dan harga rokok dinaikkan setinggi langit, plus iklan dan promosinya dilarang total, industri rokok akan tetap berjaya. Kurang apalagi?

Maka tak secuil pun alasan bagi pemerintah untuk terus mengulur pengesahan RPP tentang Pengamanan Rokok Sebagai Zat Adiktif. Apalagi setelah Mahkamah Konstitusi menolak dengan tegas permohonan uji materi Undang-Undang Kesehatan, yang diajukan oleh kubu industri rokok (perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 dan Nomor 34/PUU-VIII/2010). Putusan MK tersebut seharusnya menjadi kekuatan moral bagi pemerintah untuk mempercepat pengesahan RPP Pengamanan Produk Tembakau.

Indonesia adalah surga bagi industri rokok. Serbuan industri rokok asing (multinasional) pun kian tak terbendung. Nihilnya regulasi menjadi penyebab utama fenomena itu. Korbannya, lebih dari 420 ribu orang meninggal oleh penyakit akibat konsumsi rokok. Perokok anak-anak dan remaja tumbuh subur, bahkan persentasenya tercepat di dunia. Lebih dari 20 juta masyarakat miskin terperangkap dalam konsumsi rokok yang amat akut. Akankah negara ini menjadikan mereka “tumbal abadi” demi memelihara nafsu serakah industri rokok?

***

Tulus Abadi, anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(Dimuat di Koran Tempo, 28 November 2011)