Bergulirnya Transjakarta busway koridor XI jurusan Kampung Melayu – Pulo Gebang (28/12/11), semakin mengukuhkan Jakarta sebagai pemilik Bus Rapid Transit (BRT) dengan jalur terpanjang di dunia. Dibanding Negara-negara lain, bahkan Bogota sebagai nonek moyangnya BRT sekalipun, panjang lintasan yang mencapai 135,11 km jelas tiada tanding.

Benar, jika yang dibicarakan tentang panjang lintasan, Jakarta boleh besar kepala. Tetapi untuk urusan kepuasan konsumen, jauh panggang dari api. Alih-alih mendapatkan kenyamanan, justru hak-hak konsumen sebagai pengguna Transjakarta acapkali termarginalkan. Mau bukti? Dari hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (2010) yang melibatkan 3000 responden, mayoritas memiliki pengalaman buruk dengan lamanya waktu tunggu (41.50%) dan over kapasitas (26.19%). Belum lagi munculnya kasus-kasus yang menciderai potret pelayanan Transjakarta.

Lantas faktor apa sebenarnya yang memengaruhi kinerja layanan transportasi kebanggaan warga Jakarta ini, yang juga digadang-gadang mampu mengurai kemacetan? Berikut penjelasannya;

Pertama, tidak adanya Standar Pelayanan Minimal (SPM). Sejak mula pertama dioperasikan pada 15 Januari 2004, tak secuilpun SPM yang menyertai kehadiran Transjakarta hingga saat ini. Padahal, seperti diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, sebagai sebuah layanan publik, Transjakarta wajib memiliki standar pelayanan yang jelas, terukur, diamanatkan serta dapat diakses konsumennya. Bahkan dalam UU tersebut juga mewajibkan penyelenggara pelayanan publik melakukan riset indeks kepuasan pelayanan pada konsumen secara berkala. Tanpa mengantongi SPM, teramat gamblang sebagai bentuk pelanggaran Transjakarta terhadap UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Kedua, minimnya keberpihakan Pemprov DKI Jakarta. Sebagai sarana transportasi publik, kehadiran Transjakarta masih dianggap sebagai ”anak tiri”. Keberpihakan Pemprov DKI Jakarta lebih dominan terhadap kendaraan pribadi ketimbang mendukung perbaikan sarana dan prasarana transportasi publik pada umumnya dan Transjakarta khusunya. Tetesan subsidi yang dialokasikan untuk Transjakarta yang berkisar Rp 348 miliar, tak sekuku hitamnya jika disandingkan dengan gelontoran dana untuk pembangunan jalan layang non tol, seperti jalan Antasari.

Nihilnya regulasi yang mengendalikan pertumbuhan kendaraan juga berkontribusi menjadikan jalanan Jakarta lebih dikuasai oleh motor dan mobil pribadi (68%) ketimbang angkutan umum (25%) atau bahkan Transjakarta (2%). Artinya, Pemprov DKI lebih gemar memfasilitasi pengguna kendaraan pribadi dibanding angkutan massal.

Ketiga, bentuk kelembagaan. Saat ini Transjakarta dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU). Benar, bahwa lembaga ini efektif dan dapat bertindak cepat untuk mengurus layanan umum semacam rumah sakit, tetapi tidak untuk layanan transportasi publik. Bentuk kelembagaan yang ada saat ini (BLU) sudah terlalu sempit untuk mengelola Transjakarta yang dinamis.

Ditambah lagi, kelembagaan ini hanya dipegang oleh pejabat yang berada pada sistem eselon. Akibatnya manajemen BLU Transjakarta tidak memiliki otonomi dalam mengambil keputusan, kebijakan dan melakukan perbaikan pelayanan pada konsumen. Bahkan untuk mengambil tindakan short them improvement (perbaikan jangka pendek) pun, tidak ada fleksibilitas finansial yang bisa dilakukan BLU, kecuali anggaran yang telah disepakati melalui kebon sirih (baca: DPRD).

Keempat, tak ada dukungan Pemerintah Pusat. Tak seorang pejabatpun dari tataran Pemerintah Pusat yang memberikan jaminan kelancaran pasokan bahan bakar gas kepada Transjakarta. Ini menjadi tengara bahwa Pemerintah Pusat kurang care terhadap moda ini. Idealnya, Pemerintah Pusat turut bertanggung jawab terhadap sistem transportasi publik dengan menyediakan bahan bakar yang murah dan mudah. Apalagi Jakarta merupakan Ibukota, yang menjadi cerminan transportasi sebuah negara. Bukan malah membiarkan Transjakarta kesulitan pasokan gas, sementara negara lain seperti China justru nikmat menyedot gas dari Indonesia. Konon, tidak segera digulirkannya SPM oleh Gubernur juga karena tidak ada jaminan dari Pemerintah Pusat akan pasokan gas secara kontinyu.

Kesimpulan

Secara faktual, harus diakui bahwa Transjakarta telah menjadi ciri khas angkutan umum ibu kota. Dengan jumlah penumpang menurut catatan ITDP mencapai 114,153,779 orang sepanjang tahun 2011 ini, jelas bukan model transportasi ecek-ecek. Dengan demikian kehadiran pemerintah baik pusat maupun provinsi, sangat diharapkan dalam menggenjot performa pelayanan Transjakarta. Kehadiran pemerintah berupa, pertama dimaklumatkannya SPM guna menjamin standar layanan yang jelas dan terarah. Tercakup didalamnya adalah jaminan terbebasnya jalur busway dari jenis kendaraan pribadi. Adanya suppres demand (potensi masyarakat menggunakan Transjakarta) yang tinggi menjadi cukup alasan untuk segera merealisasikan SPM.

Kedua, kehadiran dalam bentuk pembuatan regulasi. Perlu ada jaminan dari Pemerintah Pusat terhadap pasokan gas yang tertuang dalam bentuk kebijakan guna kelancaran operasi Transjakarta. Termasuk keberanian Pemerintah menggulirkan regulasi pembatasan kendaraan pribadi, dan pencabutan subsidi bahan-bakar minyak bagi golongan mampu. Tentu saja penolakan paling keras akan muncul dari industri otomotif, tetapi justru disinilah peran pemerintah dibutuhkan dalam melindungi kepentingan yang lebih besar.

Ketiga, Penting juga untuk mengkaji ulang bentuk kelembagaan yang ada. Beroperasinya Transjakarta jelas membutuhkan penanganan lintas sektoral yang masing-masing memiliki kewenangan. Dalam hal ini dibutuhkan bentuk kelembagaan yang mampu menyatukan berbagai kepentingan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Selama ini kebijakan operasional Transjakarta perlu diputuskan oleh seorang Kepala Dinas, bahkan juga oleh Gubernur. Kedepannya dengan penyempurnaan kelembagaan, diharapkan kebijakan akan muncul dari satu pintu.

Jika merujuk pada UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas pasal 139 ayat (4) penyedia jasa angkutan umum dilaksanakan oleh BUMN, BUMD atau badan hukum lainnya. Pilihan kelembagaan sesuai dengan amanat dalam UU Lalulintas untuk mengelola Transjakarta, harus bermuara pada profesionalisme dan orientasi peningkatan pelayanan konsumen.

***

Agus Sujatno, Staf YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)