Salah satu “jualan” yang ditawarkan dalam hiruk pikuk kampanye Pilgub (pemilihan Gubernur) di Jakarta tahun ini adalah mengatasi karut marut Jakarta, terutama mengatasi kesemrawutan di bidang transportasi. Dari semua kandidat, baik yang gugur di putaran pertama, maupun yang masuk tahap kedua tak lupa mengangkat tema transportasi.

Secara empiris tema itu sangat relevan dengan permasalahan transportasi di Jakarta: kemacetan dan buruknya pelayanan angkutan umum! Jika dielaborasi lagi, salah satu program utama untuk mewujudkan Jakarta yang nyaman, aman dan tanpa kemacetan adalah membangun sarana transportasi masal berbasis rel (mass rapid transportation/MRT) dan atau angkutan masal berbasis jalan raya (bus rapid transit/BRT). Lagi-lagi, sebuah program yang amat mendesak untuk segera diwujudkan.

Sejauh ini, untuk MRT baru tahap pembebasan lahan, dan pada 2016 diprediksikan sudah bisa beroperasi. Sedangkan untuk sistem BRT — yang kemudian lazim disebut busway – lebih duluan hadir. Warga Jakarta telah menikmati keberadaan Transjakarta sejak tahun 2004. Bahkan sampai saat ini, selama tujuh tahun beroperasi, Transjakarta telah membelah Jakarta dengan 11 (sebelas) koridor, dan rata-rata mampu mengangkut 340 ribu penumpang per harinya. Dengan 11 koridor yang dimiliki, konon Transjakarta merupakan sistem BRT terpanjang di dunia.

Dengan segala plus minusnya, keberadaan Transjakarta patut mendapatkan apresiasi yang tinggi. Bahkan, pada batas tertentu Transjakarta merupakan “penyelamat” muka kota Jakarta. Sebab, tanpa Transjakarta, Jakarta akan menjadi salah satu kota megapolitan yang primitif; sebab salah satu ciri utama kota modern adalah mempunyai sistem angkutan masal.

Fenomena Gunung Es

Memang, secara kasat mata, pengelolaan Transjakarta masih mempunyai beberapa kelemahan mendasar; misalnya, hingga detik ini Transjakarta belum mempunyai SPM (Standar Pelayanan Minimal). Padahal, sebagai angkutan masal yang terkelola, keberadaan SPM menjadi prasyarat mutlak. Dan sebaliknya, tanpa SPM, pada titik tertentu managemen Transjakarta seperti tanpa arah dalam mengelola Transjakarta.

Pada konteks empiris, khususnya pada sisi pelayanan, hal yang paling konkrit dirasakan konsumen sebagai pengguna Transjakarta adalah; presisi waktu yang tidak jelas terkait dengan total waktu tempuh, plus tidak terukurnya waktu tempuh dari halte ke halte (headway). Konsumen juga tidak tahu, dimanakah posisi armada bus Transjakarta, dan berapa menit lagi bus dimaksud akan tiba di halte. Akhirnya, banyak konsumen yang nyaris frustasi dengan pelayanan Transjakarta, dan ujung-ujungnya meninggalkan Transjakarta, berganti dengan kendaraan pribadi.

Namun, apa yang dirasakan konsumen terkait dengan pelayanan Transjakarta, hanyalah pada tataran mikro saja (sisi hilir). Ibarat gunung es, konsumen hanya mampu melihat pada sisi permukaan, yang sejatinya hanya sejumput saja. Sementara, persoalan dominan yang lebih besar, tak mampu dilihat oleh konsumen. Persoalan dominan itulah, yang paling serius menyerimpung sisi pelayanan Transjakarta. Muara dari persoalan itu adalah persoalan kelembagaan (organisasi) yang mengelola Transjakarta.

Saat ini, Transjakarta hanya dikelola oleh sebuah institusi yang bernama Unit Pelayanan Teknis (UPT) pada Dinas Perhubungan, dengan dikomandani oleh seorang pejabat eselon tiga. Dengan potret institusi yang demikian, jelas tak bisa diharapkan banyak hal untuk melakukan terobosan atau inovasi di bidang pelayanan dan kebijakan. Alih-alih, dengan “baju” yang amat sempit ini, kebijakan managemen Transjakarta menjadi tidak otonom dan tidak independen. Alias amat bergantung pada institusi dan pejabat lain. Akibatnya, perbaikan infrastruktur untuk meningkatkan pelayanan, akan berjalan lamban; karena harus bernegosiasi dengan instansi dan pimpinan yang diatasnya. Sayangnya, pimpinan dimaksud bukan hanya Kepala Dinas (Kadis) Perhubungan; tetapi pimpinan lintas sektoral, seperti Kadis Pertamanan, Kadis Pekerjaan Umum, dan bahkan pihak kepolisian.

Tersandera

Beruntung, Pemerintah Provinsi  Jakarta memahami hal ini. Sejak Januari 2012 yang lalu, Pemerintah Jakarta telah mengusulkan sebuah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Transjakarta. Ada dua Raperda yang diusulkan, yakni Raperda Sistem BRT, dan Raperda BUMD PT. Kedua Raperda inilah (khususnya Raperda BUMD PT), yang akan menjadi basis transformasi pengelolaan Transjakarta. Dengan Raperda ini, basis pengelolaan Transjakarta akan menjadi independen, otonom, dan bahkan power full.

Tetapi celakanya, kedua Raperda ini mengalami kemandegan (kebuntuan) di level DPRD DKI Jakarta. Beberapa anggota DPRD, khususnya yang bercokol di Badan Legislasi Daerah (Balegda) dan atau Komisi D, yang membidangi transportasi, seolah menyandera kedua Raperda dimaksud. Beberapa informasi terkuak, sebagian anggota DPRD tidak memahami konteks substansi Raperda. Itu terlihat dari beberapa lontaran pertanyaan anggota DPRD yang “tidak masuk akal” saat YLKI bersama dengan lembaga lain melakukan hearing dengan mereka.

Ironiknya, beberapa anggota DPRD itu sengaja menyandera kedua Raperda dimaksud, konon karena mereka minta “gizi”. Artinya, jika tanpa “gizi” yang digelontorkan ke anggota DPRD, maka jangan mimpi Raperda Sistem BRT dan Raperda BUMD PT Transjakarta, akan dibahas dan disahkan!

Sekali lagi, keberadaan sarana angkutan masal seperti Transjakarta, menjadi kebutuhan yang tak terelakkan bagi warga Jakarta. Sudah terlalu lama warga Jakarta terperangkap pada pelayanan angkutan umum yang ala kadarnya dan tidak manusiawi. Pemerkosaan dan bahkan pembunuhan di angkutan umum, adalah titik nadir potret pelayanan angkutan umum di Jakarta. Oleh karena itu, upaya transformasi kelembagaan untuk mengelola Transjakarta menjadi hal yang mutlak.

Bagaimanapun, Transjakarta menjadi alternatif moda transportasi bagi warga Jakarta yang jauh lebih manusiawi ketimbang angkutan umum lainnya. Dengan konfigurasi persoalan yang demikian, seharusnya anggota DPRD DKI Jakarta melakukan percepatan pembahasan dan pengesahan kedua Raperda dimaksud. Bukan malah “mengemis” untuk meminta tambahan “gizi”; dan kemudian menyanderanya.

Tulus Abadi