Tahun 2013 ini, Tarif Dasar Listrik (TDL) akan naik sekitar 4,3%, dengan perhitungan setiap 3 bulan sekali akan naik, hingga mencapai total kenaikan 15% sepanjang tahun 2013.

Kenaikan ini sekali lagi memprihatinkan, karena bersamaan dengan kenaikan UMP. Dapat diduga bahwa kenaikan ini akan memicu kenaikan harga, dan akhirnya akan memicu inflasi. Badan Dunia memperkirakan inflasi di Indonesia akan mencapai 5,1%.  Jika tidak diikuti dengan kenaikan produktivitas dan pendapatan, maka siap siaplah mengencangkan ikat pinggang di tahun depan ini.

Yang menjadi pertanyaan mengenai kenaikan TDL, apakah selalu dibarengi oleh efisiensi yang dilakukan oleh PLN?

Pada tahun 2011 BPK mencatat, inefisiensi yang dilakukan oleh PLN mencapai Rp 37,6 Trilyun sementara tahun 2012 mencapai Rp 867 Milyar.  Inefisiensi sebesar itu terjadi karena suplai bahan bakar dibeberapa pembangkit PLN yang seharusnya dengan gas, dibeli dengan solar atau jenis minyak lainnya.

Tidak ada kebijakan prioritas gas untuk pemenuhan dalam negeri. Selain gas, sumber energi murah adalah batu bara. Ini juga bermasalah, karena pemerintah tidak memprioritaskan batu bara untuk suplai dalam negeri.Apakah ‘kesalahan’ kebijakan seperti ini dibebankan kepada konsumen?

Kemudian, PLN juga masih bermasalah dengan pencurian listrik yang dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Kerugian akibat pencurian listrik untuk wilayah Jakarta Raya dan Tangerang saja mencapai Rp 14,3 Milyar. Berapa kerugian untuk seluruh Indonesia?

Selain itu, korupsi di PLN juga ditengarai dilakukan dalam rangka penyediaan barang dan jasa di PLN. Bayangkan jika efisiensi dilakukan didalam sektor ini, berapa biaya yang bisa dihemat oleh PLN untuk ‘bergerak’. Memang, untuk mengatasi korupsi dalam rangka penyediaan barang dan jasa ini PLN telah bekerjasama dengan lembaga Transparansi Internasional agar bisa membuat mekanisme yang transparan dan mereduksi korupsi dalam sistemnya.

Dan yang parahnya, PLN mengalami penurunan laba yang signifikan sebesar 90,8% tahun ini salah satunya karena perbedaan kurs. Dari keuntungan Rp 9,452  Trilyun tahun 2011, diperkirakan menjadi ‘hanya’ menjadi Rp 865 M di tahun 2012 ini. Ini menjadi salah satu indikasi bahwa kinerja manajemen sangat rentan oleh faktor luar, yang berupa perbedaan kurs ini.

Hitung hitungan jika PLN dinaikan, pemerintah mendapatkan cash segar bagi APBN Rp 14,5T. Tetapi jika efisiensi dihulu (pembangkit) listrik PLN dibenahi dengan suplai gas dan batubara, pemerintah bisa mendapatkan ‘nilai’ setara Rp 37 T. Bukankan ini berarti pemerintah seharusnya membenahi terlebih dulu soal suplai energi bagi pembangkit PLN?

Soal Beratnya Subsidi Listrik di APBN

Dan yang mengherankan, jika alasan pemerintah menaikan TDL karena subsidi PLN didalam APBN telah memberatkan pemerintah, bukankah efisiensi penggunaan APBN juga dipertanyakan? Hingga Desember awal 2012 lalu, penggunaan APBN masih tersisa Rp 363 Trilyun, yang dihabiskan oleh pemerintah dengan pertemuan pertemuan, seminar, studi banding, dan lain lain. Kegiatan yang terkesan terburu buru dan tanpa manfaat yang besar bagi rakyat.

Belum lagi isu oleh PPATK mengenai aliran dana ke 17 anggota Badan Anggaran DPR yang disinyalir ‘mempermainkan’ anggaran ini untuk kepentingan partai. Sungguh pengelolaan APBN yang tidak profesional!

Kenaikan vs Peningkatan Pelayanan PLN?

Dan apakah kenaikan TDL juga akan disertai oleh peningkatan pelayanan oleh PLN? Yang jelas, tahun 2012, pengaduan PLN masih termasuk 5 besar pengaduan ke YLKI. Dengan permasalahan yang selalu sama. Ketidak jelasan soal pemasangan baru, biaya tambahan yang tidak transparan  dan tidak memiliki standar karena dikelola oleh pihak ketiga (outsourcing PLN), pemadaman listik, dan sebagainya.

Selain itu, terdapat juga pengaduan yang mengeluhkan layanan pengaduan konsumen PLN. Karena tidak segera ditanggapi, ataupun metode pelayanannya tidak fokus langsung memecahkan masalah, melainkan meminta konsumen mengadu ke kantor cabang saja.

Jadi, seharusnya kenaikan TDL ini ditinjau ulang. Apakah memang sudah sebanding dengan efisiensi yang dilakukan oleh PLN, kemudian disertai dengan perbaikan pelayanan oleh PLN pula. Sementara di sisi pemerintah, tampaknya memang seharusnya pula mereview kebijakan energi yang sangat pro asing, sehingga terdapat kebijakan agar gas dan batu bara Indonesia diprioritaskan untuk kebutuhan domestik terlebih dahulu, terutama untuk energi pembangkit listrik PLN.

Sementara, jika membicarakan beratnya subsidi di APBN untuk rakyat,  sebaiknya pemerintah dan DPR juga introspeksi ke dalam, apakah APBN memang sudah cukup efisien digunakan untuk kepentingan negara?  Bukan kepentingan pejabat, anggota DPR atau bahkan partai politik (parpol)?

Jakarta, 4 Januari 2013

–  Ilyani  S. Andang –