Pelabelan

Tidak banyak yang tau Indonesia punya Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 Januari. Tidak ada acara istimewa seperti layaknya Hari Kesehatan Nasional atau hari internasional lainnya. Pemerintah, Kementerian Kesehatan, sepertinya tidak menempatkan Hari Gizi Nasional sebagai hari yang penting. Informasi tentang temanya pun baru ditemukan jika dicari di laman Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.

Padahal, gizi di Indonesia bukannya tanpa persoalan. Betapa sering kita membaca berita di media tentang anak-anak yang kurang gizi, penduduk yang tidak ketemu ‘nasi’ berhari-hari atau bahkan berbulan. Sebaliknya, walaupun pemberitaannya belum sebesar permasalahan kurang gizi, kelebihan gizi pun sudah mulai jadi perhatian. Konon, jamak terjadi di negara berkembang. Ada beban ganda yang harus ditanggung, gizi kurang dan gizi lebih.

Permasalahan gizi tentunya erat kaitannya dengan makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Makanan memang tidak bisa lepas dari kehidupan kita, karena merupakan sumber utama dalam memelihara dan mempertahankan kehidupan. Berarti, urusannya bukan hanya berapa banyak yang kita konsumsi, tetapi juga apa saja yang kita konsumsi. Jumlah, jenis, ragam dan kualitas makanan yang dikonsumsi akan sangat menentukan terpenuhi tidaknya kebutuhan gizi kita untuk memelihara kehidupan.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang baru dilansir Kementerian Kesehatan menunjukkan beberapa data yang diakibatkan oleh pola makan dan asupan gizi yang salah. Proporsi stunting atau anak pendek meningkat, dari 36 persen pada tahun 2010 menjadi 37,2 persen pada tahun 2013. Di samping itu, Indonesia masih belum lepas dari permasalahan gizi buruk atau gizi kurang, bahkan justru masih terus meningkat. Di tahun 2007, proporsi gizi buruk 18,4% dan hasil Riskesdas 2013 meningkat menjadi 19,6%. Padahal, perekonomian Indonesia katanya terus membaik, dan penduduk yang dikategorikan masuk dalam kelompok menengah juga meningkat.

Di sisi lain, seperti layaknya negara berkembang lainnya, proporsi kelebihan berat badan dan obesitas juga meningkat. Proporsi balita gemuk lebih kurang 12 persen, sementara prevalensi obesitas pada usia di atas 18 tahun mencapai 19,7% pada laki-laki dan 32,9% pada penduduk perempuan. Seperti diketahui, kelebihan berat badan merupakan pemicu timbulnya penyakit tidak menular seperti diabetes, tekanan darah tinggi, jantung dan lainnya.

Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular (PTM) tentunya harus menjadi perhatian kita semua. PTM telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia, dan upaya penanggulangannya menjadi beban ekonomi yang tidak sedikit. Forum Ekonomi Dunia menyebutkan, dalam 20 tahun ke depan, total pengeluaran dunia untuk menanggulangi penyakit tidak menular akan lebih dari 30 triliun dolar Amerika!

Untuk Indonesia yang baru saja menerapkan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), persoalan penyakit tidak menular harus menjadi perhatian. PTM bisa menggerogoti belanja kesehatan negara, padahal berbagai penyakit ini seharusnya dapat dicegah. Prinsip gotong royong yang dianut JKN tentu akan memberikan manfaat yang maksimal apabila jumlah orang yang sakit jauh lebih sedikit dari yang sehat. Makin sedikit yang sakit, seharusnya makin baik pelayanan dan fasilitas kesehatan yang dapat diberikan. Oleh karena itu, upaya pencegahan menjadi utama, mencegah agar tidak jatuh sakit.

Nah, tema Hari Gizi Nasional ini sebenarnya menjadi sangat penting, karena dikaitkan dengan pelaksanaan JKN: “Gizi Baik, Kunci Keberhasilan Pelaksanaan JKN”. Benar sekali, Pelaksanaan JKN dapat terkendala apabila jumlah orang sakit sangat tinggi. Sementara asupan gizi yang baik akan menghasilkan masyarakat yang sehat. Asupan gizi yang baik akan mencegah timbulnya berbagai penyakit. Terutama penyakit-penyakit yang dipicu oleh, salah satunya, pola konsumsi yang salah.

Pola Konsumsi

Tidak sedikit permasalahan yang dapat dikaitkan dengan penyakit tidak menular. Selain pola konsumsi atau pilihan jenis dan ragam makanan, ya produk makanan atau minuman itu sendiri. Di pasaran, dapat ditemukan demikian banyak jenis serta ragam produk pangan olahan, baik yang diproduksi oleh industri rumah tangga hingga industri pangan raksasa. Selain produk pangan khusus, tidak ada batasan usia peruntukan pada sebagian besar produk. Sebut saja jenis makanan ringan (snacks), coklat, minuman ringan, dapat dikonsumsi oleh segala usia. Terbatasnya pengetahuan tentang gizi dan sumber pangan dapat menjadikan pola makan yang salah yang dapat mengakibatkan gizi kurang atau sebaliknya, gizi lebih.

Sayang, Indonesia belum memiliki survei menyeluruh terkait pola konsumsi pangan. Misalnya apa saja yang dikonsumsi sehari-hari, frekuensi makan di luar rumah, kebiasaan sarapan, hingga kecukupan harian. YLKI pernah melakukan survei pada 600 orang tua murid TK dan SD di lima wilayah Jakarta. Beberapa temuan menarik diantaranya:

– 85 persen membawa bekal makanan, tetapi hanya separuhnya membawa setiap hari. Bekal yang dibawa didominasi oleh produk olahan seperti sosis/nugget, biskuit dan makanan ringan (snacks)

– 93% biasa mengonsumsi makanan instan di rumah, dan separuhnya mengonsumsi dengan frekuensi 2-3 kali seminggu. Jenis yang dominan dikonsumsi adalah mi instan serta produk olahan hewan seperti sosis dan nugget.

Temuan sederhana ini sepertinya sejalan dengan beberapa temuan dalam Riset Kesehatan Dasar 2013. Konsumsi produk mi ternyata sangat tinggi, terutama di kalangan usia anak dan remaja. Bayangkan, 15,4% anak pada kelompok usia 10-14 tahun mengonsumsi mi lebih dari 1 kali per hari. Demikian juga pada kelompok 15-19 tahun, mencapai 15%. Angka yang lebih besar lagi, atau dapat dikatakan lebih dari sepertiga anak Indonesia usia 10-19 tahun mengonsumsi mi 3-6 kali per minggu. Dengan rincian 35.6% pada anak 10-14 tahun dan 34.5% pada kelompok 15-19 tahun.

Lebih spesifik lagi, ditemukan 10.1% penduduk di atas usia 10 tahun mengonsumsi mi instan dengan frekuensi lebih dari 1 kali sehari. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian, karena perlu diikuti dengan pertanyaan mengenai pemenuhan kebutuhan serta keseimbangan gizi yang dikonsumsi. Secara umum dapat dilihat bahwa konsumsi mi instan, dengan rasa yang sudah enak, cenderung untuk dikonsumsi tanpa tambahan apapun. Lebih parah lagi, tidak jarang dijumpai mi instan dijadikan lauk, dikonsumsi sebagai teman nasi.

Selain itu, Riskesdas 2013 juga menggali proporsi penduduk mengonsumsi makanan yang dianggap berisiko. Temuannya adalah 77,3% menggunakan bumbu penyedap, 53,1% mengonsumsi makanan manis, 40,7% makanan berlemak, 29,3% kopi, dan 26,2% makanan asin. Seperti diketahui, makanan dengan kandungan lemak, gula, dan atau garam tinggi dapat berisiko pada penyakit tidak menular seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, diabetes dan serangan jantung. Diperparah lagi dengan kenyataan bahwa 93.5 persen penduduk di atas 10 tahun dikategorikan kurang mengonsumsi sayur dan buah (Riskesdas 2013).

Sayang, belum ada batasan yang tegas, berapa kandungan lemak, gula atau garam yang dapat dikategorikan tinggi dalam suatu produk pangan. Kementerian Kesehatan baru mampu mengeluarkan batasan maksimum konsumsi lemak, gula dan garam dalam satu hari, dan pengaturan untuk mencantumkan pesan kesehatan pada kemasan produk pangan kemasan dan siap saji (Permenkes No. 30 Tahun 2013). Konsumsi lemak per hari dibatasi maksimum 67 gram. Sedangkan untuk gula maksimum 50 gram dan natrium 2000 mg per orang per hari. Dengan adanya peringatan ini diharapkan konsumen dapat membatasi konsumsinya.

clip_image002

Namun bagi konsumen, informasi semacam ini belum cukup membantu melakukan pilihan produk pangan untuk dikonsumsi. Label produk pangan diharapkan memberi informasi yang lebih mudah dipahami. Informasi nilai gizi tidak sekedar dicantumkan seperti yang ada saat ini, tetapi dicantumkan seperti layaknya lampu lalu lintas (traffic light nutrition labeling), terutama untuk kandungan gula, garam dan lemak. Untuk kandungan yang dapat dikategorikan tinggi diberi warna merah, dan jika rendah diberi warna hijau, dan diletakkan di bagian depan kemasan. Hal ini tentunya akan memudahkan konsumen dalam memilih.

Di kalangan organisasi-organisasi konsumen di dunia hal ini terus dikampanyekan, Kampanye ini juga untuk mendukung dan memperkuat Rencana Aksi WHO untuk Pencegahan Penyakit Tidak Menular, diantaranya melalui pencantuman informasi gizi. Beberapa negara telah mulai menerapkannya, dengan panduan ketentuan batasan kandungan gizi tertentu per 100 gram atau per porsi. Kementerian Kesehatan perlu melengkapi peraturannya dengan jumlah atau kandungan gula, garam dan lemak yang dapat dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi.

Sekali lagi, tema Hari Gizi Nasional ini memang sangat relevan untuk mengawali tahun 2014 ini. Selain mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, juga perlu dijadikan resolusi awal tahun untuk memperbaiki pola konsumsi masyarakat: pilih sumber pangan yang baik, gizi seimbang, perbanyak konsumsi sayur dan buah, serta batasi konsumsi gula, garam, dan lemak. Hidup sehat, kenapa tidak?

Oleh: Huzna Zahir