Pemerintah, per 1 November akan menaikkan tarif tol di 15 ruas tol di Indonesia. Terhadap kenaikan ini, ada beberapa catatan kritis:

1. Dari sisi momen, menaikkan tarif tol tidak tepat, karena akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Kenaikan tol pasti akan memicu kenaikan harga-harga logistik, termasuk tarif angkutan umum. Apalagi saat ini kondisi ekonomi sedang lesu darah;

2. Kenaikan tol tidak disertai kemanfaatan jalan tol. Bagaimana mungkin tarif tol terus dinaikkan, tetapi fungsi dan kemanfaatan tol terus menurun, terutama tol dalam kota. Hal ini ditandai dengan menurunnya kecepatan rata-rata kendaraan di dalam tol, dan masih lamanya antrian di loket pembayaran tarif tol;

3. Standar Pelayanan Minimal jalan tol tidak pernah diupgrade, malah mengalami kemunduran. Padahal, standar pelayanan menjadi prasyarat kenaikan tarif. Sampai detik ini loket pelayanan tol masih manual, dengan cash. Padahal, Malaysia yang dulu belajar jalan tol dari Indonesia, sekarang semua transaksi pembayaran jalan tol dengan cashless. Jadi operator jalan tol tidak pernah mengupgrade standar pelayanan minimalnya, dan hanya bisa merengek kenaikan tarif saja;

4. Kementrian PU seharusnya mengaudit secara terbuka bagaimana tingkat kepatuhan/pemenuhan operator jalan tol dalam meningkatkan dan memenuhi standar pelayanan minimal jalan tol.

5. Kementrian PU hanya dominan memperhatikan kepentingan operator jalan tol, dalam menaikkan tarif tol. Kepentingan masyarakat dan pengguna jalan tol diabaikan, terbukti tidak ada upgrade standar pelayanan minimal jalan tol. Seharunsya efisiensi perusahaan jalan tol juga dilihat dan mempertimbangkan kenaikan tarif tol.