Kekurangan iodium pada tubuh manusia dalam jangka waktu tertentu, menurut dr. Myrna (Dinas Kesehatan Prov DKI) akan membawa dampak serius – terutama pada ibu hamil dan anak-anak – adalah perkembangan otak yang terhambat (neonatal hypotyroidsm), bahkan meningkatnya kematian bayi beberapa saat setelah dilahirkan.

Sejauh ini sebagian masyarakat mengenal iodium terbatas pada kaitannya dengan penyakit gondok atau kreatinis (cebol) saja. Itu tidak salah, tetapi pengertian tersebut kuranglah lengkap. Sebab iodium juga berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, tak terkecuali perkembangan otak. Artinya, iodium sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia.

Menurut Golden (1992), iodium termasuk dalam kategori nutrient tipe I (pertama), bersama sama dengan zat gizi lain seperti besi, selenium, calcium, thiamine dan lain-lain. Tipe I ini mempunyai ciri apabila kekurangan maka gangguan pertumbuhan bukan merupakan tanda yang pertama melainkan timbul setelah tahap akhir dari kekurangan zat gizi tersebut. Tanda yang spesifiklah yang pertama akan timbul. Dalam hal kekurangan iodium, dapat menyebabkan gangguan akibat kekurangan iodium yang sering disebut Iodine Deficiency Disorder (IDD). IDD merupakan gangguan yang merugikan kesehatan sebagai akibat dari kekurangan iodium, yang dikenal dengan nama Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI).

Kekurangan iodium pada tanah menyebabkan masyarakat yang hidup dan bertempat tinggal di daerah tersebut menjadi masyarakat yang rawan terhadap GAKI. Sedangkan kekurangan iodium pada tubuh manusia dalam jangka waktu tertentu, menurut dr. Myrna (Dinas Kesehatan Prov DKI) akan membawa dampak serius terutama pada ibu hamil dan anak-anak adalah perkembangan otak yang terhambat (neonatal hypotyroidsm), bahkan meningkatnya kematian bayi beberapa saat setelah dilahirkan.

Dampak serius GAKI mengakibatkan kemunduran kemampuan intelektual mencapai 30 – 70 persen, serta gangguan yang selama ini diketahui yaitu; menderita gondok (5-30%) dan menjadi kretin/cebol (1-10%). Saat ini diperkirakan 20 juta penduduk Indonesia yang menderita gondok, dengan rata-rata pengurangan 7 poin akibat gondok, berarti secara total kehilangan kecerdasan tersebut mencakup 140 juta poin IQ. Jadi, generasi muda yang kekurangan iodium, bahkan ketika dimulai dari janin, akan kehilangan kesempatan untuk menjadi generasi muda penerus bangsa yang cerdas, sehat, mampu bersaing, bersemangat, dengan fisik yang memiliki pertumbuhan normal.

Telaah - Garam (3)

Karena dampaknya yang signifikan tersebut, pemerintah memang mencanangkan fortifikasi iodium melalui garam. Landasan hukum fortifikasi sudah cukup kuat, bahkan sudah menjadi SNI wajib, sehingga garam yang beredar di pasar seharusnya sudah memiliki kandungan iodium minimal 30 ppm, sebagaimana dipersyaratkan di dalam SNI No.01-3556-2010 tentang Mutu Garam Konsumsi Beriodium.

Selain SNI tersebut, beberapa peraturan pemerintah yang mengatur agar masyarakat konsumen dapat memperoleh garam beriodium dalam rangka menanggulangi GAKI diantaranya; SK Menteri Perindustrian No.29/M/SK/2/1995 tentang pengesahan SNI dan Penggunaannya Tanda SNI secara wajib terhadap 10 macam produk industri (salah satunya produk garam); Peraturan Menteri Perindustrian RI No.42/M-Ind/11/2005 tentang Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beriodium; Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No.63 Tahun 2010 tentang Pedoman Penanggulangan GAKI di daerah.

Sementara itu, UU Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999, dalam pasal 4 juga menyebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang/jasa. Dan banyak pasal di UUPK yang menyebutkan pelarangan bagi pelaku usaha menjual produk tidak sesuai dengan standar, atau jaminan yang dipersyaratkan. Sanksinya terdapat di dalam UUPK, mulai dari surat peringatan, pencabutan ijin usaha, dan jika sudah terjadi tindak pidana akan kena sanksi penjara 5 tahun hingga denda maksimal Rp. 2 Milyar.

Ironis, walaupun dampak GAKI demikian serius, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan terjadi penurunan kandungan iodium pada garam rumah tangga (RT), mencapai 19,5 persen cukup, sementara di tahun 2007 mencakup 23,4 persen.

Hasil Uji Garam 4 Kota

Untuk mendapatkan gambaran secara jelas dari hasil temuan Riskesdas, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga melakukan pengujian garam iodium yang terdapat di pasar, baik pasar tradisional maupun ritel modern. Perbedaan mendasar dari metode pengambilan sampling antara Riskesdas dan YLKI, jika Riskesdas mengambil sampel garam di rumah tangga, sedangkan YLKI mengambil sambal dari pasar.

Penelitian YLKI dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2014, dilakukan di 4 kota yaitu Jakarta Utara (DKI Jakarta), Pati (Jawa Tengah), Sidoarjo (Jawa Timur) dan Takalar (Sulawesi Selatan). Untuk melakukan penelitian ini, YLKI bekerjasama dengan mitra daerah, yaitu LP2K Semarang, YLKPK Jawa Timur dan YLK Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan atas dukungan dari GAIN (Global Alliance for Improved Nutrition). Sementara laboratorium penguji adalah laboratorium Litbang GAKI Kemenkes di Magelang.

Sedangkan jumlah pasar dan ritel tempat membeli sampel di setiap kota seperti terlihat dalam tabel 1.

tabel 1Dari hasil pengujian iodium pada garam yang dilakukan di 4 kota, dapat diketahui bahwa garam yang dikategorikan cukup mengandung iodium hanya 58,7%. Sedangkan dari keempat kota yang diuji garamnya, Pati merupakan kota dengan tingkat kepatuhan tertinggi, yaitu 74,9 persen, sementara Takalar terendah, yaitu 37 persen. Sedangkan di kota Jakarta Utara garam yang memenuhi syarat mencapai 59 persen, dan kota Sidoarjo garam yang memenuhi syarat 52 persen.

tabel 2Dari 4 (empat) kota, garam diuji diambil di pasar sebanyak 241, dengan rincian 169 garam yang memiliki merek dan 72 garam yang tanpa merek sama sekali. Sedangkan dari 169 garam yang memiliki merek, dari hasil analisa label dapat diketahui:

  • 43 merek memiliki izin edar MD, 4 merek menuliskan Dep Kes RI MD
  • 73 merek mencantumkan SNI
  • 63 merek dengan izin edar beragam: P-IRT, SP, SIUP, TDP, dan lainnya
  • 63 merek lain (205 sampel) tanpa izin edar/registrasi

Sedangkan jika ditilik dari lokasi pembelian seperti terlihat pada tabel 3

tabel 3

Dari tabel 3 terlihat, bahwa garam yang dijual di ritel modern sekalipun, masih ditemukan 9 produk atau 12,7 persen yang tidak memenuhi syarat, dari total 71 sampel yang dibeli di ritel modern. Artinya, tidak ada jaminan bahwa garam yang dibeli konsumen dari ritel modern memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan. Sementara di pasar tradisional, lebih memang masih ditemukan 44,36 persen yang tidak memenuhi syarat (TMS).

Beda Kualitas

Di empat kota tersebut, garam dipasarkan dalam 3 (tiga) jenis; yaitu garam halus, briket dan curah. Penelitian YLKI mengambil semua sampel dengan perbandingan yang ditemukan di pasar, yaitu: garam halus (56%), garam briket/bata (34%), sisanya garam krosok/kasar/curah (10%).

Dari hasil uji laboratorium, nampaknya agak sulit untuk menentukan merek apa yang memenuhi syarat dan standar. Sebab, bisa jadi merek tertentu yang diambil dari pasar A memenuhi syarat, tetapi tidak memenuhi syarat sampel dari pasar B, kendati dengan merek yang sama dalam satu kota. Inkonsistensi kualitas juga ditemukan dari merek yang sama yang di ambil dari di kota berbeda.

Namun ada beberapa merek diuji yang semua sampelnya memenuhi syarat, yaitu; merek Dolpin, Ibu Bijak, Dolina, Rocket, Merpati, Wayang, dan merek “GN”. Total merek yang semuanya memenuhi syarat (MS) ada 65 merek (38%). Sementara merek lainnya, dari beberapa sampel yang diambil, ada yang memenuhi syarat ada yang tidak (35%). Merek yang sama sekali tidak memenuhi syarat (TMS), yaitu 46 merek atau 27 persen diantaranya garam grosok, Cap Perahu, Cendrawasih, Perahu Phinisi, Putra Tunggal, Bunga AM dan Bintang Terang.

Memprihatinkan

Jadi, walaupun iodium sangat penting bagi tubuh dan pemerintah telah mencanangkan penanggulangan GAKI dan berbagai regulasi yang mendukungnya, tetapi tampaknya kini gerakan atau promosi kesehatan memerangi GAKI ini tidak menjadi prioritas. Ini terlihat dengan menjamurnya garam tak memenuhi syarat dapat dengan mudah ditemukan di pasar tradisional, bahkan ritel modern sekalipun. Hal ini bisa jadi lantaran tak adanya koordinasi yang matang diantara kementrian untuk mengangkat isu ini, yang menjadi kendala utama.

Untuk itu, diharapkan stakeholder yang terkait garam bisa bekerjasama secara sinergis. Termasuk juga di era otonomi daerah ini, dimana penanggulangan GAKI sangat mengharapkan kepedulian pemerintah daerah. Salah satunya adalah seperti yang difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), yaitu di daerah mengeluarkan peraturan daerah yang membentuk tim penanggulangan GAKI ini.

tabel 4a

Dengan sinergitas tersebut, diharapkan benar-benar menjadi prioritas perhatian pemerintah, sehingga tidak terjadi lost generation di Indonesia. (Ilyani Sudardjat)