Hari ini, 11 Mei 2016 YLKI genap berusia 43 tahun. YLKI dilahirkan pada 11 Mei 1973, di Jakarta. Semula hanya bernama YLK (Yayasan Lembaga Konsumen) saja. Satu tahun kemudian, 1974, demi kepentingan nasionalisme dan kebangsaan, ditambahkan kata “Indonesia” di belakangnya, sehingga menjadi YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), hingga kini. Pada kancah internasional, sejak 1974 hingga sekarang, YLKI telah menjadi anggota penuh Consumer Internasional (CI), yang bermarkas di London, Inggris. CI adalah asosiasi organisasi konsumen internasional, kini beranggotakan 255 organisasi konsumen, dari 120 negara. Dari rahim YLKI sudah banyak tokoh nasional yang dilahirkan, baik yang berkiprah di pemerintahan, politisi, dan tokoh LSM. Sebutlah misalnya Erna Witoelar, Zumrotin, Tini Hadad, Zaim Saidi, Agus Pambagio, dan juga Permadi.
Proses lahirnya YLKI dibidani oleh para pejuang dan petinggi di negeri ini, terutama oleh Ibu Lasmidjah Hardi (kelahiran Grabag, Purworejo, Jateng), yang nota bene adalah istri dari Bapak Hardi, Wakil Perdana Menteri RI yang pertama dan Ibu Soemarno, istri Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, juga memberikan political endorsmen yang sangat kuat. Kala itu Ali Sadikin mengeluarkan surat edaran, yang intinya meminta semua instansi pemerintah baik di level Jakarta dan atau kementerian, untuk mendukung dan bekerja sama dengan YLKI. Mandat sosial YLKI, sebagaimana tertuang dalam visinya adalah: menjadi pembela konsumen, membantu pemerintah dan menjaga martabat produsen. Tampaknya, pada konteks kekinian mandat sosial itu masih relevan.
Adalah bukan perkara mudah, menjaga eksistensi YLKI hingga mampu bertahan hingga 43 tahun lamanya. Bukan saja menjaga eksistensi kelembagaan, tetapi yang utama adalah menjaga “marwah” YLKI, hingga YLKI mendapatkan kepercayaan dan kredibilitas dari semua stakeholder, terutama masyarakat konsumen, pemerintah, media masa, lembaga dana, mitra jaringan, dan juga legislatif. Tantangan YLKI, kini dan ke depan jauh lebih dahsyat, baik konteks internal, dan apalagi eksternal. Tantangan internal, YLKI harus bergelut ùntuk menghidupi dirinya. Per bulannya YLKI harus merogoh kocek tak kurang dari Rp 100 juta untuk keperluan operasional. Sebuah angka nominal yang tidak sedikit, ditengah makin sulitnya menggali sumber pendanaan, baik dari dalam negeri dan atau luar negeri. Dari sisi pendanaan, kontribusi pemerintah pada YLKI praktis nol besar. Padahal, saban tahun ribuan pengaduan diterima dan diselesaikan YLKI, akibat masih buruknya publik services yang dikelola pemerintah. Aliran dari lembaga dana asing juga kian sulit. Sementara penggalangan dana publik juga masih amat minim. Di banyak negara, biaya operasional lembaga konsumen ditanggung olen pemerintah, termasuk negeri yang bernama Israel.
Tantangan eksternal, harapan publik terhadap YLKI masih sangat tinggi, bahkan kadang kelewat tinggi. Masih banyak yang menyangka bahwa YLKI adalah “lembaga negara”, atau badan pemerintah, yang hidup dari pajak, APBN. Banyak yang menduga, kantor YLKI adalah sebuah gedung megah, bertingkat-tingkat. Dan kemudian akhirnya banyak yang tercengang (“melongo”), bahwa YLKI hanyalah sebuah yayasan, tinggal di jalan gang sempit di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Banyak pihak yang kesasar ke kantor YTKI (Yayasan Tenaga Kerja Indonesia), yang gedungnya memang puluhan tingkat, dan berkantor di Jalan Gatot Soebroto, jalan protokol.
Kasus dan isu konsumen makin luas dan kompleks; bukan semata makanan/minuman kadaluwarsa, bukan lagi kaleng susu yang penyok; tetapi juga menyangkut isu perdagangan bebas, persaingan usaha tidak sehat, penyedotan pulsa dan data internet, dll. Sejatinya, dalam mengusung dan mengadvokasi isu perlindungan konsumen, secara kelembagaan kini YLKI “tidak lagi sendirian”. Sejak lahirnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sudah banyak lembaga sejenis dengan YLKI, yang nama generiknya adalah LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat). Bahkan, dilevel nasional terdapat BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), dan dilevel daerah ada BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Kedua institusi itu, BPKN dan BPSK, adalah institusi yang dibentuk negara, pemerintah. Semua biaya operasionalnya ditanggung oleh negara/pemerintah, APBN maupun APBD. Sedangkan LPKSM adalah lembaga yang diinisiasi masyarakat. Kini, pada konteks UU Perlindungan Konsumen, YLKI hanyalah salah satu LPKSM di Indonesia.
Pada akhirnya, kerja-kerja advokasi YLKI untuk menyuarakan dan menjadi pembela konsumen bisa jadi makin ringan. Karena YLKI bukan lagi monopoli tunggal untuk sebuah lembaga yang kompeten menjadi pembela konsumen. Di level nasional sudah bertengger BPKN, sejak lebih dari 15 tahun lalu. Di level daerah sudah pula eksis puluhan bahkan ratusan BPSK. Belum lagi lebih dari 200-an lembaga konsumen serupa YLKI di seantero nusantara. Baik yang bergelar LPKSM dan atau berbaju YLKI, kendati dengan cara mencatut nama YLKI, karena tak pernah minta ijin ke YLKI, untuk nebeng nama. Masyarakat dan bahkan pemerintah boleh menuntut banyak hal pada YLKI, asal masyarakat dan pemerintah bukan hanya sebagai penonton, tanpa kontribusi apapun pada gerakan konsumen, pada YLKI, pada lembaga konsumen lain.
Demikian. Dirgahayu YLKI yang ke-43! Bravo konsumen Indonesia!!!
0 Comments on "REFLEKSI 43 TAHUN YLKI"