Indonesia yang konon negara lumbung padi, ternyata hanya mitos belaka. Yang terjadi malah sebaliknya, sepanjang tahun 2015, masyarakat konsumen terombang-ambingkan oleh komoditas pokok; beras. Bukan saja harganya yang terus merangkak naik, tetapi pasokannya pun menurun drastis. Lebih mencengangkan adalah ditemukannya beras impor yang terindikasi mengandung plastik! 

Tak beda jauh dari tahun sebelumnya, sepanjang 2015, tampaknya konsumen masih didera kesulitan yang amat serius. Bukan saja saat bertransaksi dengan produsen (pelaku usaha) yang notabene merupakan kebutuhan sekunder, tetapi bahkan konsumen sebagai warga negara yang masih dipinggirkan oleh negara (pemerintah) saat mendapatkan kebutuhan dasar. Hal ini sungguh ironis, karena, konfigurasi sosial semacam ini serupa tapi tak sama dengan kejadian era penjajahan, ketika masyarakat harus berebut untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya.

Selain harus berjuang untuk mendapatkan kebutuhan dasar, masyarakat juga diteror keamanan barang dan jasa yang akan dikonsumsi. Munculnya produk pangan (beras sintetis) yang mengandung plastik, maraknya kasus keracunan makanan, bahan berbahaya dalam kosmetik, bahkan pembalut wanita, serta layanan publik seperti transportasi, perbankan dan layanan kesehatan semuanya belum menjamin rasa aman bagi konsumen. Dari serangkaian pelanggaran hak konsumen atas keselamatan dan keamanan tersebut, ada dua aspek yang terabaikan. Pertama, masih minimnya pemenuhan hak-hak korban. Kedua, tidak berjalannya mekanisme pertanggungjawaban hukum, baik dalam level pertanggungjawaban hukum pidana, perdata maupun hukum administrasi. Begitu banyak kejadian yang menjadikan konsumen sebagai korban, tetapi tidak ada pihak yang bertanggung jawab dan tidak ada pihak yang dinyatakan bersalah.

Dalam skala makro, fakta-fakta sosial berikut inilah yang layak disebut kegagalan negara (Pemerintah) dalam memfasilitasi warga negara (masyarakat/konsumen) saat mendapatkan kebutuhan dasarnya yang berkaitan erat dengan kualitas hidup, yaitu:

AKSES MENDAPATKAN PANGAN 

Indonesia yang konon negara lumbung padi, ternyata hanya mitos belaka. Yang terjadi malah sebaliknya, sepanjang tahun 2015, masyarakat konsumen terombang-ambingkan oleh komoditas pokok; beras. Bukan saja harganya yang terus merangkak naik, tetapi pasokannya pun menurun drastis. Lebih mencengangkan adalah ditemukannya beras impor yang terindikasi mengandung plastik! Dalam hal kenaikan harga, ironisnya, bukan dinikmati oleh para petani, tetapi oleh para cukong yang sengaja mendistorsi pasar.

Selain beras, masyarakat konsumen juga dibuat pusing tujuh keliling oleh komoditas yang bernama daging sapi dan ayam. Apa yang terjadi pada tahun 2015 merupakan sebuah anomali, dimana harga daging sapi terus melambung tinggi hingga menembus 130 ribu rupiah perkilo di pasar. Keadaan semakin rumit tatkala pedagang daging Jabodetabek memutuskan untuk “mogok” berjualan. Menyusul kemudian harga daging ayam, telur dan gula yang juga bergejolak tak menentu. Fenomena meroketnya harga daging sapi, ayam, telur dan gula tidak bisa dianggap sepele. Sebab, kondisi semacam ini secara sosial ekonomi akan makin mereduksi kualitas sumber daya manusia Indonesia ke titik yang terendah.

Ini terbukti, rangking pembangunan sumber daya manusia (Human Development Index) Indonesia sangat rendah. Skor HDI Indonesia sebesar 0,684, atau masih di bawah rata-rata dunia sebesar 0,702 pada tahun kemarin. Peringkat dan nilai HDI Indonesia, juga masih di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.

AKSES MENDAPATKAN ENERGI 

Kebijakan energi Pemerintah hingga detik ini belum jelas. Dalam hal kebijakan elpiji rumah tangga, Pemerintah terlihat kecolongan dalam tataran implementasinya. Adanya disparitas harga yang mencolok antara elpiji subsidi dan non subsidi serta sistem distribusi elpiji subsidi yang terbuka, justru memicu migrasi pengguna elpiji. Akhirnya masyarakat yang benar-benar berhak mendapatkan elpiji subsidi pun harus diliputi perasaan was-was akan jaminan ketersediaannya.

Dalam hal kebijakan BBM, barangkali Indonesia tergolong negara yang konservatif di dunia. Ini karena di satu sisi Indonesia adalah negara pengimpor minyak (nett importer), tetapi juga memberikan subsidi rakyatnya via subsidi bahan bakar dengan sangat signifikan. Celakanya, subsidi ini tidak tepat sasaran, terutama dinikmati oleh kelompok orang kaya, para pemilik kendaraan pribadi.

Namun, memangkas subsidi bbm dan kemudian menyerahkan harga pada mekanisme pasar juga harus dilakukan dengan cermat. Kebijakan tersebut harus diselaraskan dengan regulasi yang sudah ada. Di sisi lain, menyerahkan harga pada mekanisme pasar, menimbulkan ketidakpastian pelaku usaha dalam menetapkan harga barang/jasa di pasaran, khususnya untuk harga kebutuhan pokok dan tarif transportasi. Akhirnya, yang akan menjadi korban adalah masyarakat, konsumen akhir. BBM harganya turun, tetapi faktanya harga kebutuhan pokok di pasaran tidak serta merta turun. Begitu juga dengan tarif angkutan. Organda dan pengusaha angkutan tidak mudah untuk menurunkan tarifnya.

Setali tiga uang, potret layanan sektor ketenagalistrikan juga demikian. Di berbagai daerah krisis listrik makin meluas. Minimnya pasokan energi listrik – terutama di luar Pulau Jawa – berdampak layanan listrik. Pemadaman bergilir, mati lampu berjam-jam, menjadi bagian tak terpisahkan dari layanan listrik yang harus diterima konsumen. Hal ini juga membuat daftar tunggu calon konsumen listrik baru makin panjang.

Terbukti dari data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), rasio elektrifikasi daerah kota mencapai 94 persen, sedangkan pedesaan hanya 32 persen. Ini menyebabkan diskriminasi rasio elektrifikasi dan pengaliran listrik di Indonesia, antara daerah kota dan desa. Berdasarkan data Bappenas tersebut, rasio elektrifikasi Indonesia tertinggal oleh negara-negara ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Rasio elektrifikasi di Thailand, misalnya, sudah seimbang antara kota dengan desa, yakni 99 persen.

Ironisnya, krisis layanan yang diterima konsumen justru dijawab dengan kebijakan penyesuaian tarif (tarif otomatis) oleh PT PLN untuk golongan 1.300 VA keatas. Secara normatif, menurut YLKI, ini melanggar konstitusional. Listrik sebagai kebutuhan dasar (essensial services) harus dikuasai oleh negara, bukan sebaliknya diserahkan pada mekanisme pasar. Idealnya negara harus hadir menjadi stabilisator dalam hal ketersediaan kebutuhan dasar.

Kebutuhan terhadap energi tidak bisa sekedar dilihat dari aspek jual beli belaka, tetapi juga bagaimana energi diposisikan sebagai komoditas yang sangat strategis dan sangat memengaruhi quality of life masyarakat Indonesia. Pemerintah tidak cukup hanya menyediakan pasokannya saja, tetapi keterjangkauan dan stabilisasi harga energi juga menjadi sangat penting.

AKSES MENDAPATKAN KESEHATAN

Kebutuhan dasar masyarakat selain pangan dan energi, adalah kesehatan. Sekalipun Pemerintah sudah menancapkan kebijakan berupa JKN melalui sistem BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, toh akses masyarakat terhadap kesehatan masih rendah. Masih banyak orang meninggal karena tidak mendapatkan layanan semestinya. Datang ke rumah sakit sekalipun RS milik Pemerintah juga ditolak, karena alasan ruangan penuh atau peralatan yang tidak memadai.

Program BPJS masih mengantongi cacat yang perlu segera diperbaiki; mulai dari akses pendaftaran (kepesertaan), operasional sampai pelayanan. Selain masalah bersifat kasuistik; seperti tak mendapat ruang perawatan, ditolak RS, obat tidak sesuai, biaya tambahan, peralatan terbatas, perbedaan layanan sampai masalah sistemik; prosedur penggunaan BPJS, prosedur rujukan, migrasi dari askes, denda iuran, sistem informasi konsumen – masih belum berorientasi pada kepentingan masyarakat konsumen.

KESELAMATAN TRANSPORTASI 

Periode 2015 ini menjadi drama berdarah yang paling menyeramkan bagi sektor transportasi di Indonesia, baik udara, darat, dan laut. Mulai dari kecelakaan Trigana air, sampai Aviastar menjadi deretan teror keselamatan bertransportasi. Puncak dari hilangnya setor keselamatan bertransportasi adalah tertabraknya metromini oleh kereta Commuter Line yang merenggut nyawa 18 orang. Dan tentu saja drama berdarah setiap tahun dalam rutinitas mudik lebaran dengan 2.148 kasus kecelakaan yang menyebabkan 440 orang meregang nyawa. Ini menjadi klimaks atas ketidakberdayaan Pemerintah mengelola sektor transportasi.

Artinya bahwa aspek keselamatan transportasi masih menjadi barang yang amat mahal. Paradigma pengelolaan transportasi yang dijalankan Pemerintah masih terpaku pada aspek aksesibilitas dan mobilitas, bukan aspek safety. Padahal, aspek safety seharusnya paling dikedepankan dan tidak ada kompromi sedikitpun.

(Penulis : Agus Sujatno)