Masyarakat Indonesia tampak makin gandrung dengan kendaraan bermotor pribadi sebagai moda transportasi.

Belum optimalnya pelayanan angkutan umum boleh jadi menjadi pemicu utama. Lihatlah faktanya, menurut data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), jumlah sepeda motor di Jabodetabek mencapai 30 juta unit dan di Jakarta 13 juta unit! Lebih banyak sepeda motornya daripada jumlah warga Jakarta! Sementara itu jumlah roda empat di Jakarta tidak kurang dari 4,3 juta unit. Di seluruh Indonesia diperkirakan tak kurang dari 80 juta unit sepeda motor. Alamak.

Benar saat ini penggunaan kendaraan pribadi belum/tidak berdampak pada APBN. Sebab seiring dengan turunnya harga minyak mentah dunia, alokasi subsidi bahan bakar minyak untuk kendaraan bermotor pribadi tidak ada lagi. Subsidi hanya difokuskan untuk kelompok masyarakat tertentu (misalnya nelayan) dan gas LPG 3 kg untuk rumah tangga tidak mampu Rp44 triliun dari total subsidi energi yang sebesar Rp166 triliun.

Tapi masifnya penggunaan kendaraan pribadi minimal berdampak terhadap dua hal. Pertama, keselamatan di jalan raya, khususnya oleh pengguna roda dua. Kesadaran terhadap keamanan dan keselamatan berlalu lintas di Indonesia masih tergolong rendah. Begitu pula kesadaran terhadap kepatuhan rambu-rambu lalu lintas. Dampak paling konkret terhadap hal itu adalah tingginya kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal yang sangat eskalatif. Terbukti, per tahunnya, tidak kurang dari 31.000 orang Indonesia meninggal di jalan raya karena kecelakaan lalu lintas dan 76%-nya melibatkan pengguna sepeda motor.

Kedua, dampak terhadap kesehatan dan pencemaran lingkungan. Ingatlah, kendaraan pribadi sangat rakus terhadap konsumsi bahan bakar minyak. Dampak negatif yang paling dominan terhadap penggunaan bahan bakar minyak untuk transportasi adalah pencemaran lingkungan. Pembakaran bahan bakar minyak, selain meng­hasilkan energi, juga menghasilkan gas buang yang amat beracun seperti karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NO2), dan sulfur dioksida (SO2) yang menyebabkan hujan asam dan pemanasan global.

Dampak penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia, khususnya di kota-kota aglomerasi, makin serius manakala kualitas bahan bakar yang digunakan masih rendah. Indikator bahan bakar yang masih rendah kualitasnya adalah kandungan octane number  (RON). Bahan bakar dengan RON 88 (premium) itulah yang kini paling dominan digunakan masyarakat. Semakin tinggi kandungan RON suatu bahan bakar minyak, makin rendah emisi gas buangnya dan semakin rendah kadar RON-nya, makin buruk dampaknya terhadap lingkungan serta kesehatan manusia tentunya.

Ini memang fenomena tragis! Manakala di seluruh dunia levelnya sudah kampanye penggunaan bahan bakar standar Euro 3 (RON di atas 92), eh di Indonesia masih terkungkung dengan penggunaan bahan bakar RON 88 (premium) yang masih di bawah standar Euro 2. Bandingkan dengan negeri jiran Malaysia. Di sana RON terendah untuk kendaraan bermotor adalah RON 95, sejenis pertamax turbo ala PT Pertamina.

Namun di sisi lain, tiga tahun belakangan ini, ada fenomena perubahan perilaku masyarakat, yakni migrasi dari peng­guna bahan bakar RON 88 menjadi pengguna bahan bakar dengan RON 92. Atau minimal bahan bakar dengan RON 90, pertalite. Terbukti, terhitung sejak Juli 2017, pemakaian bensin premium hanya sekitar 41%. Padahal pada tahun sebe­lum­nya konsumsi premium men­capai 79%. Adapun jenis pertalite mencapai 40% dan pertamax 17%. Pengguna sepeda motor pun lebih pede menggunakan pertamax daripada premium.

Kenapa Terjadi?

Boleh jadi tumbuh kesadaran (awareness) baru dari konsumen bahwa kualitas bahan bakar akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja mesin kendaraan, bahkan kesehatan mesin dalam jangka panjang. Semakin tinggi kadar RON-nya, tarikan kendaraan semakin ber­tenaga, semakin maknyus. Sebaliknya, bahan bakar dengan kadar RON rendah (seperti premium) membuat kinerja mesin kendaraan lesu darah dan cepat rusak pula.

Namun alasan yang paling sahih mengapa terjadi migrasi pengguna bahan bakar, lebih karena faktor harga. Disparitas harga antara jenis premium dengan nonpremium semakin kecil, tidak signifikan. Konsumen Indonesia sangat sensitif terhadap harga, apalagi untuk komoditas strategis seperti bahan bakar minyak. Dengan kata lain, jika terjadi perubahan harga secara mencolok antara jenis premium dengan non premium, dipastikan kon­sumen akan “turun kelas” lagi. Menjadi pengguna premium mania!

Mumpung situasinya sedang kondusif, yakni adanya perubahan perilaku konsumsi bahan bakar minyak di satu sisi dan harga minyak mentah di sisi lain, sebaiknya kita jangan kehilangan momen. Jangan sam­pai perilaku konsumen yang sudah amat positif ini meng­alami set back  hanya karena kebijakan klasikal di bidang harga: kenaikan harga bahan bakar minyak! Ingat, diperkirakan harga minyak mentah dunia akan rebound  pada 2020. Artinya harga minyak akan menyundul ke kisaran harga USD75 USD (baca: kembali ke sedia kala). Sekarang ini saja (akhir 2017) harganya pun sudah merambat menjadi USD50 per barel. Padahal pagu harga yang ditetapkan pemerintah pada APBN 2017 hanya 45 dolar Amerika per barel. Artinya pemerintah tekor USD5!

Bayangkan jika harga minyak mentah dunia rebound, mencapai di atas USD75, pingsanlah kita! Ending-nya, semua pihak harus menelan pil pahit, baik pemerintah (Presiden Joko Widodo) maupun konsumen Indonesia. Pil pahit itu bisa berupa kenaikan harga bahan bakar minyak di level perital atau sebaliknya menambah subsidi bahan bakar minyak. Dua pilihan yang menyesakkan dada. Jika menaikkan harga bahan bakar minyak, efeknya tidak populis, apalagi mendekati tahun politik. Beranikah Presiden Joko Widodo mengambil jalur ini? Di sisi yang lain, jika ingin mengambil jalur populis dan aman di mata publik, pemerintah akan menggelontorkan subsidi. Efeknya? Ah, pasti­lah postur APBN kita kian defisit, kian berdarah-darah, alias bleeding. Ayo pilih jalur mana?

Lalu caranya bagaimana agar kita tidak kehilangan momen plus tidak ada korban masif baik pengguna BBM dan/atau postur ABPBN?

Upaya mempersempit pasokan bahan bakar dengan kadar oktan rendah (premium) adalah cara yang rasional. Apalagi untuk konsumsi kendaraan bermotor di kota-kota besar. Sebaliknya, cakupan pasokan bahan bakar dengan kadar oktan lebih tinggi (pertalite, pertamax) harus diperluas akses dan distribusinya.

Dalam perspektif konsumen, harus ditanamkan kesadaran baru bahwa produk bahan bakar yang dikonsumsi­nya punya dampak eksternalitas negatif serius, baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Oleh karena itu menggunakan jenis bahan bakar berkualitas, dengan kadar oktan tinggi dan ramah lingkungan, adalah bentuk tanggung jawab konsumen untuk turut menjaga kelestarian lingkungan (loving the earth).

Industri automotif seharusnya menjadi garda depan untuk mendorong hal ini, dengan rekayasa teknologi pada produk automotifnya. Mesin kendaraan harus kompatibel dengan bahan bakar minimal standar Euro 2 dan jika dilanggar mesin kendaraan akan shutdown  secara otomatis. Juga memberikan edukasi kepada konsumennya agar konsisten dengan menggunakan jenis bahan bakar minyak yang sesuai dengan spesifikasi kendaraannya.

Tanpa kesadaran masif dari semua pihak, perilaku kon­sumsi bahan bakar minyak akan mengalami kemunduran. Konsumen akan kembali menggandrungi bahan bakar dengan kualitas rendah (oktan rendah). Pencemaran lingkungan tak terhindarkan dan/atau runtuhnya kesehatan manusia menjadi keniscayaan. Apakah profil semacam ini yang akan kita wariskan untuk generasi mendatang?

Tulus Abadi

Ketua Pengurus Harian YLKI

Tulisan ini pernah dimuat oleh Koran Sindo dan SindoNews.com;  Jum’at, 13 Oktober 2017

Gambar: dok YLKI