Belum tuntas perihal wacana penyederhanaan tarif listrik, Menteri ESDM kembali menelorkan wacana akan mengubah struktur tarif listrik, dengan memasukkan HBA (Harga Batubara Acuan), untuk menggantikan acuan komponen minyak. Alasannya, struktur tarif listrik sekarang lebih dominan dipengaruhi oleh harga batu bara. Sedangkan kontribusi pembangkit minyak semakin kecil, yakni hanya 6 (enam) persen.

Pertanyaannya, apakah hal yang rasional jika Menteri ESDM memasukkan HBA ke dalam struktur tarif?

Tentu saja itu hal yang rasional, mengingat komponen pembangkit batubara yang mencapai lebih dari 60 persen. Masalahnya, apa tujuan utama Menteri ESDM dengan hal itu? Jika perubahan struktur tarif itu tidak berimplikasi terhadap turunnya tarif listrik, ya sami mawon…alias tidak ada manfaatnya bagi konsumen. Sebab dengan dominannya pembangkit batubara maka seharusnya struktur tarif listrik lebih ramping, lebih efisien dan akhirnya bisa menurunkan BPP (Biaya Pokok Penyediaan) listrik.

Maka idealnya jika Menteri ESDM ingin memasukkan HBA ke dalam struktur tarif menggantikan komponen ICP (Indonesian Crude Price) minyak, maka harus menggunakan HBA nasional, bukan HBA internasional. Mengingat Indonesia adalah eksportir batubara terbesar di dunia, tidak adil jika untuk menetapkan tarif listrik menggunakan HBA internasional. Sebaliknya, adalah rasional jika pemerintah menggunakan harga acuan ICP minyak untuk menetapkan tarif listrik, karena Indonesia adalah nett importer minyak.

Bahkan pemerintah Indonesia harus berani melakukan moratorium ekspor batubara, atau bahkan menghentikannya. Pasalnya, cadangan batubara Indonesia hanya 2 (dua) persen dari cadangan dunia, tetapi menjadi eksportir terbesar di dunia. Sebaliknya, China dan India yang cadangan batubaranya terbesar di dunia, tidak melakukan ekspor batubara. China justru mengimpor batu bara dari Indonesia, dengan kualitas kalori yang lebih baik. Sedangkan pembangkit listrik di Indonesia justru dipasok dengan batubara muda, dengan kandungan kalori yang rendah. Pemerintah Indonesia harus mengutamakan pasokan batubara untuk kebutuhan nasional, bukan untuk kebutuhan internasional (dieskpor).

Terakhir, Kementerian ESDM harus mampu mewujudkan pembangkit batu bara dengan teknologi yang bisa menghasilkan energi batubara yang ramah lingkungan; sebagaimana pembangkit batubara di Ninghai-China, yang mengklaim “near zero emmission”. Mengingat dampak emisi batubara sangat korosif bagi lingkungan global (perubahan iklim).

Demikian sekelumit tanggapan atas wacana perubahan struktur tarif listrik oleh Menteri ESDM. Terima kasih.

Ketua Pengurus Harian YLKI
Tulus Abadi