Kepuasan seorang konsumen itu tidak dapat diukur secara kuantitatif, melainkan sifatnya bertingkat atau berjenjang, dan hanya bisa dibandingkan

Dalam ilmu ekonomi modern, peran konsumen sangat diperhitungkan, meski watak konsumen sebenarnya ruwet juga, karena pengaruh lingkaran kehidupannya kadang mengubah perilaku dan etikanya.

Konsumen, wujudnya manusia. Memiliki jiwa, raga yang punya nafsu dan akal sehat. Nafsu terhadap kepuasaan semu dalam berbelanja inilah yang menjadi fokus para ekonom. Mereka merekayasa jurus marketing yang ampuh. Hasilnya serbuan hebat membombardir kehidupan konsumen sampai titik akhir. Wujudnya individu-individu yang tak mampu lagi membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Dari ratusan konsumen korban pinjol (pinjaman online) patut diduga dengan kuat sebagian besar awal kesesatannya bermula disini.

Para ekonom barat diantaranya John R. Hicks, R. G. Allen, Vilfredo Pareto, dan Ysidro Edgeworth, menyatakan bahwa kepuasan seorang konsumen itu tidak dapat diukur secara kuantitatif, melainkan sifatnya bertingkat atau berjenjang, dan hanya bisa dibandingkan. Ini seperti skala ordinal.

Asumsi-asumsi kesimpulan tersebut diantaranya;

Pertama, Rationality. Setiap konsumen diasumsikan bertindak rasional, yaitu berusaha mengejar kepuasan maksimum meski dihadapkan pada keterbatasan anggaran.

Kedua, Utility is Ordinal. Berdasarkan asumsi ini, kepuasan itu tidak dapat diukur, namun hanya bisa dibandingkan karena sifatnya bertingkat

Ketiga,Transitivity and Consistency of Choice. Konsumen senantiasa konsisten dalam membuat pilihan, antar berbagai kombinasi barang. Artinya, jika konsumen lebih menyukai barang A dibanding barang B, dan ia pun lebih menyukai barang B dibanding barang C, maka ia pasti lebih menyukai barang A dibanding barang C. Dengan kata lain, jika A > B, dan B > C, maka A > C.

Keempat, Non Satiation. Asumsi ini menyatakan bahwa konsumen menyukai barang yang lebih banyak, daripada yang sedikit. Konsumen juga diasumsikan selalu ingin terus berkonsumsi. Nah inilah yang sering disebut sebagai “asumsi ketiadaan kepuasan” atau “konsumsi tanpa kejemuan” (Asumption of satiation).

Gawat juga kalimat isi asumption of satiation tersebut ya? Lantas apa yang mesti kita lakukan agar asumsi itu, setidaknya berkurang kadar dan intensitasnya? Jawabannya pendidikan konsumen plus.

Konsumen bukan saja perlu dan wajib memilih, memilah dan mempertimbangkan produk yang akan dikonsumsinya, namun nilai-nilai moral seharusnya melekat erat didalamnya. Betul, bahwa kemerdekaan konsumen menjamin penuh kebebasan berkonsumsi (seberapun besarnya kemampuan finansial yang dimiliki), namun sebagai mahluk sosial ada nilai lain yang menjadi pertimbangan. Inilah yang mungkin membedakan  antara konsumen berperilaku (maaf) biadab dan konsumen beradab, konsumen tahu diri dan konsumen suka iri.

Perlombaan pemenuhan materi berupa barang dan jasa tidaklah salah, namun membuat kecemburuan sosial bagi yang kurang berpunya itulah yang harus dihindari. Jadi bijak-bijaklah memanfaatkan apa yang sudah kita miliki serta mengesampingkan perilaku konsumtif yang boros. Teori ini mudah diucapkan tapi kadang terasa berat untuk mempraktekannya.  Sekedar saran, untuk membiasakannya bisa saja dimulai dari langkah sederhana yaitu menjaga diri dari sifat pamer atau riya’ (hypocrisy)

Masifnya penggunaan media sosial di segala lini kehidupan, acapkali kita jumpai contents-contents yang sebenarnya setapak melangkah ke pintu kesombongan. Hebatnya lagi ini dilakukan secara sadar oleh tokoh yang dianggap panutan atau selebriti yang punya ratusan bahkan jutaan pengikut itu. Benar-benar sebuah tantangan besar bagi para pemerhati konsumen pada fenomena ini.

Konsumen bukan saja patut diberdayakan posisi tawarnya, namun seharusnyalah sejalan beriringan dengan pepatah lama tentang keberadaan manusia “Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi sesama”. Dalam bahasa Jawa disebut “Migunani marang liyan” atau “Khairrunnas anfa’uhum linnas”. Dalam konteks inilah maka pintu kesombongan diawali dengan sifat riya’, pastilah tidak berguna dan sumber penyakit pada tatanan kehidupan sosial masyarakat kita.

Alangkah mulianya jika norma-norma konsumen yang bertanggung jawab itu, menjadi marwah program sosialisasi konsumen bijak, sehingga gerakan konsumen, bukan lagi sekedar memperjuangkan hak konsumen, namun berkewajiban menata ulang dan menemukan kembali (reinventing)  tatanan sosial masyarakat Indonesia yang terkenal penuh adab dan kesantunan.

Dari sisi religius, apakah persoalan boros masuk dalam bahasan agama yang kita yakini? Saya bisa memastikan ada !. Firman Allah SWT dalam Surah Al-Israa penggalan ayat 27 berbunyi: “Innal-mubadzirina kaanu ikhwana as-syayathin,” artinya “Sesungguhnya para pemboros itu, adalah saudara-saudaranya setan”. Nah, maukah Anda bersaudara dengan kumpulan para setan?

Widjanarka
Pembina YLKI

– Menyongsong tahun emas YLKI (1973 – 2023) –