JAKARTA – Lantai dua Gedung Haji Aisyiyah di Jalan Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan selalu ramai dengan kehadiran puluhan kaum perempuan dari lima wilayah di Jakarta. Sepanjang Agustus-September 2022, mereka mengikuti Sekolah Wirausaha Aisyiyah Perempuan Berkemajuan yang diadakan Pimpinan Wilayah Aisyiyah DKI Jakarta. Aisyiyah adalah organisasi perempuan Persyarikatan Muhammadiyah.

Pimpinan Wilayah Aisyiyah mengundang Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan World Animal Protection (WAP) untuk memberi materi bertajuk Kesejahteraan Hewan dan Keamanan Rantai Pangan pada 25 Agustus 2022.  Indah Sukmaningsih selaku Dewan Pembina YLKI dan Rully Prayoga, Manajer Kampanye WAP Indonesia membagikan informasi dan cerita kepada 30 peserta  Sekolah Wirausaha Aisyiyah.

Indah Sukmaningsih memberi motivasi kepada peserta untuk selalu menjadi konsumen dan individu yang peduli. Ada lima hal yang perlu dilakukan. Pertama, ibu-ibu adalah sosok yang peduli kepada orang lain, termasuk ingin agar orang lain tambah sehat. Kedua, mencintai Bumi dengan menjaga lingkungan, termasuk mengelola sampah. “Ketiga kenali hak kamu, hak bertanggungjawab pada produk dan pilih yang halal dan thayib,” kata Indah. Keempat, aspek keadilan, contohnya siapa yang menjual dan yang mau ditolong. Terakhir, menjadi generating power atau mengubah keadaan dan terlindungi.

“Agama Islam sangat menjunjung tinggi kesejahteraan hewan sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama makhluk Allah. Islam memandang hewan dan makhluk hidup lain sebagai hamba Allah yang sama-sama beribadah kepada-Nya,” kata Rully Prayoga. Dia mengutip Surat Al-Baqarah Ayat 2 dari Al Quran: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa-apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.”

Rully menjelaskan, kata thayyiban yang dirujuk pada makanan, artinya tidak mempunyai unsur syubhat, tidak berdosa (jika mengambilnya) dan tidak memiliki kaitan dengan hak orang lain. Pendapat ini tidak saja menekankan pada aspek materi makanan, tapi juga merangkumi persoalan dari mana ia didapat, atau dengan kata lain, berkaitan dengan sumbernya.

Ibnu Katsîr dan al-Shabuni mengatakan halâlan thayyiban merujuk kepada apa yang telah dihalalkan oleh Allah Swt dan thayyiban sesuatu yang halal itu sesuai dengan harkat diri seseorang yang tidak mendatangkan bahaya pada tubuh dan akalnya. “Penafsiran ini menekankan bukan saja soal halal tapi juga soal kesesuaian dan keselamatan diri dari penggunaan barang atau makanan yang halal.”

Pada abad ke-12, jauh sebelum muncul isu animal welfare di Barat, kata Rully Prayoga,  ada seorang ulama dengan gelar Sulthanul Ulama Syaikh Izzuddin Bin Abdissalam telah merumuskan dan memerinci hak-hak hewan yang harus dipenuhi oleh manusia bila memeliharanya. Hal itu ditulis  dalam sebuah kitab Qawaaid Al-Ahkam fi Mashaalih Al-Anam, Juz 1 Halaman 167.

Ada 8 hak-hak hewan ternak atas manusia. Pertama, memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari jenis hewan-hewan tersebut, walaupun hewan-hewan tersebut telah menua atau sakit yang tidak dapat diambil manfaatnya. Kedua, tidak membebani hewan-hewan tersebut melebihi batas kemampuannya. Ketiga, tidak mengumpulkan di antara hewan tersebut atau antara hal-hal yang membuat hewan tersebut terluka, baik dari jenisnya atau selain dari jenisnya dengan mematahkan tulangnya, menusuk, atau melukainya.

Keempat, menyembelihnya dengan baik, tidak menguliti kulitnya dan tidak pula mematahkan tulang hingga hewan tersebut menjadi dingin dan hilang hidupnya, tidak menyembelih anak hewan tersebut di depannya, namun mengisolasinya. Kelima, membuat nyaman kandang dan tempat minumnya. Keenam, menyatukan antara jantan dan betina bila telah datang musim kawin. Ketujuh, tidak membuang buruannya. Kedelapan, tidak menembak dengan apapaun yang mematahkan tulangnya atau membunuhnya dengan benda-benda yang menyebabkan tidak halal dagingnya.

Sejak 20 tahun terakhir, banyak konsumen yang menuntut agar sistem produksi peternakan menerapkan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan. Untuk memenuhi tuntutan konsumen, sejumlah negara mengeluarkan sertifikasi kesejahteraan hewan (kesrawan).  “Memperbaiki kesejahteraan hewan akan dapat memperbaiki kesehatan hewan dan berdampak pada keamanan pangan (food safety dan ketahanan pangan (food security),” ujar Rully.

Daging ayam merupakan makanan favorit manusia di seluruh dunia. Setiap tahun sekitar 60 miliar ayam ternak dijadikan makanan. Bandingkan dengan 1,5 miliar babi, 500 juta domba dan 300 juta  hewan ternak lainnya. Jadi sekitar 2000 ayam dipotong setiap menitnya. Ternyata, dari hasil survei, sebanyak 9 dari 10 konsumen khawatir terhadap daging ayam yang mereka makan yang berasal dari peternakan ayam.

Tiga kerisauan terbesar adalah ayam tersebut diberikan hormon, diberikan antibiotik dan potensi penyakit diantara ayam.  Responden juga khawatir bahwa ayam itu tidak hidup di lingkungan alamiah atau tinggal di peternakan pabrik, kondisinya  tidak cukup ruang untuk bergerak, di wilayah yang kotor, buruk dan tidak tidak cukup makanan dan air, serta penanganan yang rendah oleh pekerja di peternakan.

Memang, dari penelitian lapangan yang dilakukan WAP dan YLKI pada peternakan ayam pedaging intensif, mereka biasa menggunakan antibiotik. Selain itu, kepadatan ayamnya tinggi, bibitnya hasil rekayasa genetika dan kondisi ayam dalam kendang stress. Bersama dengan CIVAS, mereka melakukan hasil pengujian laboratorum terhadap bakteri resisten antibiotik. Mereka menemukan resistensi ayam terhadap beberapa antibiotik.

Untuk mengatasi hal itu perlu ditegakkan Farm Animal Responsible Minimum Standards (FARMS).  Standard minimal yang harus diterapkan yaitu tidak ada kandang/kurungan dekat, 6 jam kegelapan konstan menit per 24 jam, intensitas min 50 lux dalam periode cahaya, pengayaan yang bermakna, kepadatan maksimum 30kg / m2 atau 6lb / ft2, lantai sampah sedalam 100% dan berkembang biak pertumbuhan yang lebih lambat.  WAP dan YLKI telah mendorong konsumen high welfare. “Ibu-ibu perlu melakukan penelusuran produk yang berasal dari peternakan sejahtera,” kata Rully Prayoga.

Pada sesi terakhir dilakukan tanya-jawab. Ibu Hauliditah dari Jakarta Utara bertanya apakah boleh sisa makanan kita digunakan untuk memberi makan ayam ternak.  Dia pernah menjadi peternak ayam kampung yang menghasilkan 100 ekor perhari. Pertanyaan lain dari Ibu Marokah, Pasar Minggu yang bertanya bagaimana membedakan ayam tiren, ayam sakit dan ayam sehat, serta telur curah?

Rully Prayoga menjawab tidak ada persoalan untuk memberikan pakan ayam dari sisa makanan kita. Peternakan ayam tersebut mesti mengikuti standar minimum yang baik. Menurutnya, untuk mengetahui kondisi ayam tiren atau ayam sakit, perlu dilakukan pembedahan pada bagian badan, dada dan sayap. “Jika pembuluh darah menghitam, dagingnya memar membiru dan merah, mungkin itu ayam  tiren yang sudah lima hari,” katanya. Dia mengajak peseta untuk tidak membeli beli ayam ungkap, karena kita tidak bisa membedakan dengan  ayam tiren yg kuning warnanya.

Unrung 
World Animal Protection