Oleh: Tulus Abadi, pegiat perlindungan konsumen dan kebijakan publik, bekerja di YLKI.

Dinamika bahkan pergolakan publik terhadap pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan kala itu begitu kerasnya. Namun pada akhirnya DPR dan pemerintah bersepakat untuk mensahkan RUU tersebut, dan kini telah menjadi UU No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Terlepas adanya pergulatan pada saat pembahasan, faktanya kini RUU tentang Kesehatan telah menjadi produk hukum positif di Indonesia, yakni menjadi UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dengan segala plus minusnya, UU Kesehatan tsb harus kita patuhi, kita hormati.

Sebagai bentuk kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum positif yang ada, maka diperlukan infrastruktur hukum lain untuk mengimplementasikan UU Kesehatan tersebut. Sebagaimana hirarki dalam sistem perundang-undangan, maka UU Kesehatan memerlukan sebuah peraturan pemerintah (PP) untuk mengelaborasi dan mengejawantahkan (mengimplementasikan) mandat UU Kesehatan. Namun nyatanya sejak disahkan hingga sekarang (sudah setahun), UU Kesehatan belum mempunyai infrastruktur hukum untuk mengelaborasi dan mengejawantahkannya, yakni sebuah PP. Memang sebagai sebuah transisi, kita bisa menggunakan PP yang lama. Namun tentu hal ini menjadi paradoks, kurang relevan, tersebab PP lama tidak selaras dengan spirit UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan hukum agar kita segera memiliki PP baru yang substansi dan spiritnya compatible dengan UU Kesehatan.

Pertanyaannya, apakah pemerintah belum menginisiasi pembahasan RPP Kesehatan dimaksud? Ah, tentu tidak. Sejak disahkannya UU Kesehatan, pemerintah via Kemenkes telah bergerak cepat untuk membuat RPP Omnibus Law di bidang kesehatan, sebagai turunan terhadap UU Kesehatan tersebut. Nuansa pembahasannya pun, konon juga cukup alot, cukup dinamis, karena harus melibatkan kementerian dan lembaga lain, plus stakeholders lain.

Nah, prosesi pembahasan RPP Kesehatan dimaksud sudah selesai, sudah tuntas dan tentunya sudah melewati proses harmonisasi lintas kementerian dan lembaga. Upaya pemerintah untuk menuntaskan RPP Kesehatan ini patut kita apresiasi. Saat ini RPP Kesehatan dimaksud sudah di meja Sekretariat Negara (Setneg), alias drafnya sudah final. Dan artinya tinggal menunggu tanda tangan Bapak Presiden Joko Widodo, untuk mengesahkannya.

Pengesahahan RPP Kesehatan menjadi sangat urgent karena beberapa hal, yaitu:

1. Memang tidak akan terjadi kekosongan hukum (vacuum of law), karena bisa menggunakan PP lama. Tetapi PP lama ini kan tdk sepenuhnya selaras (relevan) dg UU Kesehatan, bahkan mungkin bertentangan seacara diametral;
2. Dari sisi perlindungan masyarakat dan kesehatan publik, RPP Kesehatan mendesak untuk segera disahkan, tersebab sebagai instrumen untuk pengendalian penyakit tidak menular (PTM), yang saat ini prevalensinya sangat signifikan peningkatannya, seperti kanker, jantung koroner, sroke, dan diabetes melitus;
3. Relevan dengan hal tersebut, upaya pengendalian PTM adalah dimensi promotif dan preventif, yang diatur cukup kuat dalam RPP Kesehatan tersebut, khususnya aspek pengendalian konsumsi produk tembakau (rokok), plus pengendalian konsumsi gula, garam dan lemak, misalnya dalam produk MBDK (Minuman Berpemanis Dalam Kemasan);
4. Dari sisi momen, menjadi sangat mendesak RPP Kesehatan untuk segera disahkan, karena pemerintahan Presiden Joko Widodo tinggal beberapa bulan lagi, sampai pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober 2024 mendatang. Jika sampai lewat 20 Oktober 2024, sangat dikhawatirkan RPP mangkrak makin lama, dan kemudian setback dalam pembahasannya oleh pemerintahan baru.

Dengan demikian, pengesahan RPP Kesehatan oleh Presiden Joko Widodo menjadi sangat strategis. Dan hal ini bisa menjadi legasi yang sangat bermakna bagi masyarakat Indonesia, bagi kesehatan publik di Indonesia. Apalagi pada 2030 kita akan mendapatkan fenomena bonus demografi. Dan pada 2045 akan mencapai target generasi emas. Pengesahan RPP bisa menjadi instrumen dan infrastruktur kebijakan untuk menuju fenomena bonus demografi dan fenomena generasi emas tersebut. Jangan sampai yang digapai malah sebaliknya, yaitu “generasi cemas”, oleh karena nir regulasi, nir kebijakan yang berpihak dari negara.

Demikian Pak Presiden Joko Widodo, semoga Bapak berkenan untuk merespon surat terbuka ini.
________________

Tembusan Yth.

1. Menko PMK, Bapak Muhajir Effendi;
2. Menkes, Bapak Budi Gunadi Sadikin