Wajah angkutan umum di Jakartatak ubahnya sebuah tontonan yang tak beradab, bahkan menunjukkan prilaku yang barbarian. Pemerkosaan dan pembunuhan yang baru-baru ini terjadi adalah fenomena yang tak terbantahkan. Tentu saja, kasus primitive ini amat menghentak kesadaran publik di Jakarta, bahkan seantero negeri. Namun demikian, potret buram kualitas pelayanan angkutan umum di perkotaan, sejatinya bukan tipikal kota Jakarta saja. Nyaris di seluruh kota besar di Indonesia, kualitas pelayanan angkutan umumnya amburadul, tidak beradab.
Hak-hak dasar konsumen sebagai pengguna angkutan umum, yaitu kenyamanan, keamanan dan keselamatan, sepertinya hanyalah sebuah dongeng belaka. Padahal hak pengguna angkutan umum di Indonesia sejatinya mendapatkan jaminan yang amat kokoh, mulai dari Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, plus Undang-undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Berikut regulasi teknis pendukung lainnya. Kurang apalagi?
Namun begitu, buruknya kualitas pelayanan angkutan umum di perkotaan tidak bisa dilihat secara sektoral saja. Artinya, bukan semata kesalahan dinas perhubungan dan pengusaha angkutan umum. Bahkan pula ketidakmampuan pemimpin kota/daerah ansich. Lha kok bisa?
Subsidi BBM
Subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang melimpah ruah, jelas membuat masyarakat tidak berminat menggunakan angkutan umum. Masyarakat lebih enjoy menggunakan kendaraan pribadi. Untuk apa berdesak-desak bak ikan pindang di dalam angkutan umum, toh menggunakan kendaraan pribadi jauh lebih murah dan efisien, baik dari sisi biaya operasional maupun waktu tempuhnya. Saat ini Pemerintah tidak kurang menggelontorkan subsidi BBM sebesar Rp 123 triliun. Luar biasa besar! Bandingkan dengan dana Public service Obligation (PSO) untuk PT.Kereta Api Indonesia yang hanya Rp 632 miliar. Tak sekuku hitamnya bukan?
Subsidi BBM mengakibatkan Pemerintah (pusat dan daerah) malas mengembangkan sarana transportasi public (massal). Pemerintah tidak mau bersusah payah mengelola sarana transportasi public yang biasanya dibayang-bayangi oleh biaya operasional tinggi,bahkan merugi. Industry otomotiflah yang bersorak gembira dan berpesta pora dengan fenomena ini. Permintaan kendaraan bermotor meningkat setiap tahun.
Tak bisa dipungkiri, selain menjadi “mesin pembunuh” bagi penggunanya, sepeda motor ternyata efektif menjadi instrument “pencabut nyawa”bagi angkutan umum. Dalam konteks kecelakaan lalu lintas (laka lantas) baik saat mudik Lebaran maupun laka lantas regular, korban meninggal mayoritas adalah pengguna sepeda motor (75%). Termasuk dalam prosesi mudik Lebaran yang baru saja berlangsung, yang total korban meninggalnya mencapai 759 orang (data operasi ketupat Mabes Polri).
Sepeda motor juga menjadi predator yang amat efektif bagi angkutan umum. Di berbagai kota, angkutan umum perkotaan nyaris collaps kalah bersaing dengan keberadaan sepeda motor. Termasuk di Jakarta. Bahkan angkutan umum jarak menengah pun seperti Yogya-Solo, Wonosari-Yogya nasibnya nyaris sama: Kehilangan penumpang. Penumpangnya bermigrasi menjadi pengguna sepeda motor.
Sangat tidak mungkin angkutan umum berkompetisi dengan sepeda motor. Boleh jadi sepeda motor menjadi angkutan yang paling efisien. Tapi bagaimana dengan aspek keselamatannya? Sepeda motor bukanlah sarana transportasi alternative yang ideal. Bahkan dari aspek keselamatan bertransportasi, sepeda motor menduduki skala paling rendah. Di kota-kota besar dunia, yang notabene tempat bercokolnya industry otomotif, keberadaan sepeda motor sangat dibatasi, bahkan dilarang masuk ke pusat kota. Kini pemasaran sepeda motor pun seperti memasarkan kacang goring saja. Bandingkan dengan misalnya di Iran, membeli sepeda motor harus dengan cara cash. Di Indonesia, kita bisa mendapatkan sepeda motor secara kredit dengan sangat mudah.
Pungli
Di negeri ini, nyaris tidak ada sector yang tak terkontaminasi dengan pungutan liar (pungli), termasuk sector transportasi. Menurut estimasi Organda,per tahunnya tak kurang dari Rp 20 triliun pungli itu menjadi benalu bagi transportasi darat. Eskalasi pungli begitu luas, tak hanya oleh preman di lapangan saja. “Preman Birokrasi” pun tak kalah kejamnya. Ironisnya, pungli itu dilegalisasi dengan bungkus peraturan daerah. Pungli mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi sector transportasi. Efek pungli sangat jelas, dibebankan kepada konsumen (berupa kenaikan tarif), atau pengusaha menurunkan tingkat kualitas pelayanan dan kehandalannya. Pantas banyak angkutan umum yang mengalami kecelakaan dengan korban massal.
Boleh saja pihak Dinas Perhubungan dan kepolisian merazia supir tembak, mencopoti kaca film yang tidak sesuai dengan aturan, atau bahkan pembenahan trayek. Tetapi boleh jadi itu “salah obat”, ibarat mengobati sakit pilek dengan obat panu!. Mana bisa sembuh? Jadi jika Pemerintah ingin mendorong perbaikan system angkutan umum yang manusiawi, cabut sekarang juga subsidi BBM, kendalikan penggunaan dan pertumbuhan sepeda motor plus berantas praktik pungli.
Dana subsidi BBM langsung alihkan untuk perbaikan dan pengembangan sarana prasarana transportasi umum. Apalagi penikmat subsidi BBM adalah golongan the have society yang sangat tidak layak menyeruput subsidi. Dengan basis Rp 123 triliun dari dana subsidi BBM sangat cukup untuk membongkar ulang system transportasi dan mengembangkan sarana transportasi massal. Dari sisi hulu, Pemerintah seharusnya punya nyali untuk menjadikan zero growth produksi sepeda motor.
Jika Pemerintah konsisten dengan kebijakan yang berkelanjutan di bidang energy, transportasi bahkan lingkungan maka sarana mobilitas bagi warga perkotaan adalah dengan sarana transportasi public massal bukan dengan kendaraan pribadi. Membenahi wajah angkutan umum dari sisi hilir jelas tidak dilarang, bahkan harus dilakukan. Tetapi jika persoalan dari sisi hulu (subsidi BBM, pungli, dan sepeda motor) tidak pernah dibongkar ulang, jangan harap persoalan laten pelayanan angkutan umum diIndonesiaakan beres.
Sebaliknya kebijakan yang tejadi di lapangan justru saling “berlomba” mematikan angkutan umum. Akibatnya keberadaan angkutan umum nyaris menyurut, tidak popular dan akhirnya mati ditinggalkan penggunanya. Hak-hak konsumen sebagai pengguna angkutan umum pun makin termarginalisasikan. Alih-alih mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan; kehormatan dan nyawa pun justru teronggok menjadi barang murah.
***
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di Koran Suara Pembaruan, 3 Oktober 2011)
Gambar diambil dari sini
0 Comments on "Berlomba Mematikan Angkutan Umum"