Pernah merasakan jus pestisida rasa apel atau mangga? Setiap orang yang ditanya, mesti mengatakan, “Masa sih kita makan racun maut pestisida?”. Tetapi itulah kenyataan yang terhidang di meja kita sehari-hari. Bukan saja buah, tetapi juga sayur-sayuran sering mengandung residu (sisa) pestisida dengan kadar yang tinggi. Memang, fungsi buah dan sayur sangat baik bagi kesehatan kita. Tetapi residu pestisida yang terkandung di dalamnya juga berpotensi menimbulkan risiko penyakit gagal ginjal, tumor, kanker, cacat pada janin, menurunkan kekebalan tubuh, atau kerusakan pada sistem syaraf. Risiko ini terjadi karena pestisida yang termakan oleh kita tidak dapat dikeluarkan melalui urin, tetapi terkumpul sedikit demi sedikit ke dalam jaringan tubuh, hingga pada kadar tertentu mengganggu sistem tubuh kita. Bahkan dari suatu penelitian pada air susu ibu, kadar pestisida ini masih terdeteksi. Jadi, harus hati-hati memilih buah dan sayur yang akan kita konsumsi!

Agar lebih amannya, konsumen memang sebaiknya memilih produk yang bebas pestisida. Produk semacam ini lebih dikenal dengan Pangan Organik, yang bukan sekedar non-pestisida, tetapi juga tidak menggunakan pupuk kimia dalam pengolahan pertanian. Di dunia internasional, pangan organik sudah duluan ngetop, karena beberapa faktor, terutama dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti penyakit sapi gila, dan beberapa penyakit baru lainnya yang disebabkan proses non alamiah, serta gerakan back to nature. Jadi pertumbuhan permintaannya meningkat dengan signifikan. Seperti di Perancis, 52% masyarakat Perancis membelanjakan uangnya sebesar 65 euro setiap tahun untuk pangan organik. Kepedulian pemerintahnya pun diwujudkan dengan meningkatkan lahan pertanian organik sebesar 5 % pada tahun 2005. Bagaimana denganIndonesia?

Sayang, di Indonesia yang berpenduduk ke-5 terbanyak di dunia ini, pangan organik kurang begitu dikenal. Pada masa Pak Harto dulu, pertanian yang dikembangkan mati-matian, ya pertanian berbasis bahan kimia atau pestisida tadi. Para pengambil kebijakan pertanianIndonesiamemang ‘termakan’ dengan jualan pestisida dan pupuk kimia yang gencar, dengan iming-iming meningkatkan produktivitas pertanian.Memang,Indonesiasempat mengalami swasembada beras pada tahun 80-an, sehingga Pak Harto tampil di depan FAO untuk menerima penghargaan. Tetapi, apakah tingkat kesejahteraan petani meningkat? Atau produksi pertanianIndonesiasemakin baik? Tida, grafiknya menurun tajam, terutama setelah krisis moneter. Pupuk kimia dan pestisida membuat lahan semakin tidak produktif. Sementara produksi pertanian menurun, disamping harga pestisida dan pupuk kimia yang melonjak tajam. Petani semakin terpuruk dengan serbuan pangan impor yang sempat masuk tanpa bea. Di sisi lain, produk hasil pertaniannya tidak mempunyai nilai tambah, selain hanya produk yang berlebihan pestisidanya.

 

Adatiga alasan utama mengapa konsumenIndonesiaharus beralih ke pangan organik, yaitu  :

Kesehatan

Seorang public figure pernah menuturkan di suatu media cetak, bahwa untuk menyembuhkan penyakit kanker yang dideritanya, ia harus mengkonsumsi pangan organik. Begitu juga dengan beberapa penyembuhan penyakit dengan terapi pola makan, selalu memprioritaskan pangan organik dalam menunya. Konsumsi pangan organik memang terbukti membuat manusia lebih sehat dan bugar, karena terbebas dari bahan kimia sintetis.

Sedangkan bagi petani sendiri, WHO melaporkan bahwa setiap tahun terdapat 3 juta korban keracunan pestisida dan kira-kira 200 ribu orang meninggal dunia karenanya. Keracunan terjadi karena penyemprotan yang tidak menggunakan standar keamanan, berlebih-lebihan dan penempatan pestisida yang salah, sehingga mengkontaminasi pangan atau air yang dikonsumsi keluarga petani.

Dari segi harga, pangan organik memang lebih mahal. Tetapi berapa biaya yang harus ditanggung konsumen jika sakit? Biaya pangan organik tersebut juga tidak seberapa bila dibandingkan dengan harga food supplemen yang laku keras untuk menjaga kebugaran tubuh.

Lingkungan

Pangan organik diproduksi dengan mempertimbangkan keseimbangan lingkungan. Pupuk yang digunakan adalah pupuk alami, berasal dari tumbuhan yang membusuk (kompos) ataupun kotoran hewan. Begitu juga untuk membasmihama, tidak digunakan pembasmihamakimia, tetapi musuh alamihamatersebut.  Pola tanam juga sering menggunakan pola tanam tumpang sari, sehingga memperkaya unsur tanah serta menghindari ledakanhamatanaman. Selain itu, pertanian organik biasanya menggunakan benih lokal. Seperti untuk beras, petani menggunakan benih lokal rojolele, pandan wangi,  mentik wangi dan  beberapa varietas lainnya. Hal ini dapat memperkaya keanekaragaman hayati, karena sejak  intensifikasi pertanian dahulu, penggunaan benih local ini dieliminir, diganti dengan benih hibrida secara masal.

Hal ini berbeda dengan pemakaian pestisida. Risiko lingkungan akibat pestisida adalah pencemaran tanah, sungai, air, dan rantai makanan oleh pestisida. Pestisida bersifat persisten (tidak mudah diurai oleh mikroba), sehingga dapat bertahan ratusan tahun di alam. Selain itu, musuh alamihamajuga sering musnah akibat pestisida, selainhamatanaman yang kian resisten karena pemakaian pestisida yang terus-menerus, sehingga diperlukan pestisida yang semakin kuat lagi.Hamayang semakin resisten ini sewaktu-waktu dapat muncul sebagai ledakanhamayang tidak dapat ditanggulangi lagi oleh petani.

Solidaritas Petani-Konsumen

Pertanian berbasis kimia telah mempurukkan petani. Ketergantungan petani pada sesuatu yang tidak dapat mereka produksi sendiri sangat melemahkan posisi petani. Di satu sisi mereka tidak berdaya dengan kenaikan input pertanian seperti benih hibrida, pupuk kimia, pestisida yang melonjak tinggi. Petani juga tidak berdaya ketika ketersediaanya  dapat dipermainkan oleh pelaku usaha seperti kasus kelangkaan pupuk, adanya pupuk palsu, pestisida palsu, pestisida keras yang sudah dilarang,  dsb. Di sisi lain harga produk pertaniannya sangat rendah. Petani tidak kuasa ketika para pengijon dan tengkulak telah datang dan membeli dengan harga yang amat miring. Apa yang diharapkan dari sistem pertanian seperti ini, kecuali menunggu kematiannya secara pelan-pelan, dengan meninggalkan jutaan penganggur setiap tahunnya?

Seharusnya pemerintah memikirkan benar hal ini. Kemandirian petani harus dibangun. Caranya, ya dengan pertanian organik. Pada pertanian organik, petani mengusahakan sendiri input pertaniannya, seperti benih, pupuk dan pembasmi hamaalami. Petani juga tidak tergantung pada pola penanaman massal, tetapi  jeli memanfaatkan  peluang penanaman lain ataupun mengkombinasikan sistem pertanian dengan perikanan dan perternakan. Pertanian seperti ini mencerdaskan petani, karena petani seringkali harus bereksperimen mencari pola yang cocok untuk membasmi hamaataupun untuk lebih meningkatkan produktivitas pertaniannya.  Hasilnya, proses produksi dapat berlangsung secara cost effective. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan petani dari Serikat Petani Perempuan Harapan Pertiwi, ibu Indraningsih, yang menunjukkan bahwa pertanian organic lebih menguntungkan (lihat  table).

 

 Perbandingan Usaha Tani Padi Pandanwangi Organik & Padi non Organik

 

Kegiatan

Padi Pandan Wangi Organik

Padi non-organik

Keterangan

Pembibitan Rp    33.500 Rp     33.500 Sama
Pengolahan Tanah Rp  172.500 Rp   172.500 Sama
Penanaman Rp  142.000 Rp   142.000 Sama
Pemupukan Rp   85.000 Rp   274.000

(pupuk kimia)

Untung,

Rp 189.000

Pemberantasanhama Rp   15.000 Rp    50.000 Untung,

Rp   35.000

Panen & pengangkutan  Rp  25.000  Rp   25.000 Sama
Pasca panen Rp  115.000 Rp   35.000 Rugi, Rp 80.000
   
Keuntungan Petani Organik                          :    Rp   144.000 / 0,25 ha

 

Sumber : Buku ‘Belajar dari Petani’ di bagian Petani Perempuan Meraih Hak-Haknya

Melalui Pertanian Organik   Penerbit : STPN-HPS – Lesman – Mitra Tani tahun 2003

 

Petani pertanian organik juga memiliki kesempatan secara langsung untuk memasarkan produknya kepada konsumen, dengan sistem penjualan yang adil. Jadi harga yang terbaik dicapai bagi petani, konsumen dan bagi agen. Bahkan beberapa kelompok tani melakukan pendekatan kepada pasar potensial, walaupun belum memanfaatkan jaringan pemasaran yang telah mapan, seperti supermarket ataupun hypermarket.

 

Bagaimana dari sisi konsumen sendiri? Disatu sisi, beras-beras wangi dari Thailandmerajai supermarket dan hypermarket di negeri ini. Padahal dari segi rasa, beras organik tidak kalah pulen dan wanginya, bahkan dari segi harga lebih murah dari beras impor Thailandtersebut. Berarti pasar/konsumen untuk jenis beras ini besar. Dan jika konsumen kelas ini terinformasi secara baik mengenai beras organic local, tentu mereka akan memilih produk organik lokal. Apalagi jika konsumen ini telah berani menyuarakan kepentingannya, misalnya dengan aktif meminta  secara langsung ataupun tidak langsung kepada toko/supermarket/hypermarket untuk mau menjual pangan organic. Tentu demand ini akan didengar oleh pelaku usaha retail, dengan aktif pula mencari jalur distribusi pangan organik hingga ke hulu (petani).

 

Jadi, sekali lagi bagi konsumen (terutama konsumenJakartayang luar biasa sibuknya) akses (keterjangkauan tempat) dan ketersediaan jauh lebih penting dari harga. Mudah-mudahan ketersediaan pangan organik ini tidak menghampakan kenginan konsumen yang kadang begitu menggebu, tetapi sukar mencari akses penjualannya.

 

Ilyani S. Andang, Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)