Obat dan Kosmetik
Sorotan YLKI: Mahalnya Harga Obat Bukan Lantaran Faktor Perizinan
Jika Menkes ingin menekan harga obat ke level yang lebih murah, maka Menkes harus mendorong untuk mengurangi impor bahan baku obat dan membuka keran bagaimana industri bahan baku obat bisa difasilitasi di Indonesia. Melanjutkan rilis YLKI kemarin 26/11/19 terkait wacana Menkes Terawan yang akan mengambil alih perizinan obat (pengawasan pra pasar), untuk menekan mahalnya harga obat. Wacana tersebut menunjukkan Menkes tidak paham persoalan hulu masalah obat dan persoalan industri farmasi. Bahwa masalah utama mahalnya harga obat jelas bukan masalah perizinan, tapi masalah bahan baku obat–yang hampir 100 persen masih impor, dan rantai distribusi obat yang sangat panjang. Bahkan dugaan adanya mafia impor obat inilah pemicu mahalnya harga obat. Jadi kalau Menkes ingin menekan harga obat ke level yang lebih murah, maka Menkes harus mendorong untuk mengurangi impor bahan baku obat dan membuka keran bagaimana industri bahan baku obat bisa difasilitasi di Indonesia. Masak kalah sama Thailand? Juga membuat distribusi obat bisa lebih sederhana. Bahkan memberantas adanya dugaan mafia impor bahan baku obat. Bisa dijamin jika pengambilalihan perizinan obat oleh Menkes, tidak akan mampu menurunkan harga obat, karena duduk persoalannya memang bukan pada perizinan. Alih alih perizinan di Kemenkes malah menjadi masalah baru, dan harga obat malah kian mahal. Wassalam, Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian YLK Sumber gambar: ichef.bbci.co.uk
Sorotan YLKI: PENCABUTAN SUBSIDI LISTRIK 900 VA TIDAK TRANSPARAN
Badan Anggaran DPR dan pemerintah telah bersepakat untuk mencabut subsidi listrik golongan 900 VA, sebanyak 24,4 juta orang pelanggan. Alasannya mereka adalah golongan yang sudah mampu. Ada beberapa catatan terkait kebijakan tersebut. 1. Subsidi energi yang digelontorkan pemerintah untuk tahun anggaran 2019 memang sangat tinggi, lebih dari Rp 157 triliun, dan lebih dari Rp 65 triliun adalah untuk subsidi listrik. Jika mengacu pada data empirik ini, maka pencabutan subsidi tersebut menjadi hal yang bisa dipahami. 2. Pemerintah jangan terlalu mudah menstigmatisasi bahwa mereka adalah “golongan mampu”, tanpa deskripsi dan verivikasi data yang transparan, akuntabel bahkan kredibel. Pemerintah harus menunjukkan dengan indikator yang terukur, apakah mereka digolongkan mampu karena income nya mengalami peningkatan? Atau indikator apa? Jangan jangan hanya sulapan saja, abrakadabra… 3. Jika pemerintah bermaksud mengurangi tingginya subsidi energi, lebih baik memangkas subsidi di gas elpiji 3 kg, bukan memangkas subsidi listrik 900 VA. Mengingat pemanfaatan gas elpiji 3 kg banyak yang salah sasaran, dibanding subsidi listrik. Dikarenakan distribusi gas elpiji 3 kg bersifat terbuka, siapa pun bisa membeli, tak peduli rumah tangga miskin atau rumah tangga kaya. Padahal peruntukan gas elpiji 3 kg adalah untuk rumah tangga miskin. 4. Pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA harus dilakukan secara ekstra hati hati, karena bisa mengerek tingginya laju inflasi dan memukul daya beli masyarakat, apalagi jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen diberlakukan. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tidak melakukan kebijakan ini secara serentak. Bahkan idealnya subsidi listrik yang dicabut itu langsung direalokasi untuk subsidi ke BPJS Kesehatan, sehingga iuran BPJS Kesehatan tidak perlu dinaikkan. 5. YLKI juga meminta agar dana pencabutan subsidi listrik tersebut juga sebagian untuk memberikan insentif ke perdesaan, melalui dana desa, untuk mengembangkan sumber sumber energi baru terbarukan (EBT). Jadi dana desa bukan hanya untuk pengerasan jalan saja, atau untuk konblokisasi. Demikian. Terima kasih atas perhatiannya. Wassalam, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI.
Siaran Pers YLKI: Terkait Produk SKM, Badan POM Jangan Tebang Pilih
Badan POM baru saja mengeluarkan surat edaran bernomor HK.06.5.51.511.05.18.2000/2018 tentang “Label dan Iklan pada Produk Susu Kental dan Analognya”. Inti dari surat edaran tersebut untuk melindungi konsumen, terutama anak-anak, dari informasi yang tidak benar dan menyesatkan. Poin poin utama yang diatur meliputi aspek periklanan, marketing, dan juga klaim dari produk yang bersangkutan. YLKI memberikan apresiasi atas upaya Badan POM untuk meningkatkan perlindungan konsumen via surat edaran tersebut. Istilah SKM, memang bisa menyesatkan konsumen, sehingga kata susu patut dihilangkan. Juga upayanya mengatur visualisasi iklan SKM yang bisa menjerumuskan konsumen anak-anak, remaja bahkan dewasa. Namun demikian, YLKI memberikan dua catatan, yakni: 1. Sebaiknya Badan POM jangan tebang pilih, jangan hanya terfokus pada produk SKM saja. Menurut pantauan YLKI banyak sekali produk makanan dan minuman kemasan/bermerk, yang juga berkarakter sama dengan produk SKM. Seperti minuman sari buah atau jus, klaimnya dan ilustrasinya seolah penuh dengan kandungan buah/sari buah. Tetapi isinya lebih banyak kandungan gula daripada sari buahnya. Hal seperti ini harus segera ditertibkan oleh Badan POM, sebagaimana produk SKM. 2. Jika Badan POM hanya terfokus pada produk SKM saja, YLKI menduga Badan POM terjebak pada “perang dagang” dan persaingan tidak sehat antar produsen susu. Sebab informasi yang diperoleh YLKI bahwa mencuatnya polemik produk SKM karena adanya perang dagang antara produsen susu bubuk, yang produk kurang berkembang dan produk SKM dijadikan “tersangka”. Jika fenomena ini benar, maka kebijakan tersebut menjadi tidak sehat. Demikian. Terima kasih. Wassalam, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI Seluler: 0811-195-030. _____ Note: 1. Untuk informasi tambahan, silakan ke Sdri. Natali, 0812-9046-8634 2. Akses informasi dan pengaduan YLKI: www.pelayanan.ylki.or.id
Siaran Pers YLKI: TERKAIT KASUS DNA BABI PADA OBAT, YLKI DESAK PRODUSEN OBAT BERIKAN KOMPENSASI
Mencuatnya dua jenis obat yang terbukti mengandung DNA babi, Badan POM telah memerintahkan produsen obat yang bersangkutan untuk menghentikan produksi obat merek tersebut dan menariknya dari pasaran. Sebagai tindakan antisisipasi, langkah tersebut adalah hal yang seharusnya dilakukan. Namun, apakah hal itu cukup melindungi konsumen, dan bagaimana pertanggungjawaban produsen terhadap konsumen yang telah menjadi korban mengonsumsi kedua jenis obat dimaksud? Oleh karena itu YLKI mendesak Badan POM untuk melakukan tindakan yang lebih luas dan komprehensif terkait kasus tersebut, yakni: 1. Melakukan audit komprehensif terhadap seluruh proses pembuatan dari semua merek obat yang diproduksi oleh kedua produsen farmasi dimasksud. Hal yang rasional jika potensi merek obat yang lain dari kedua produsen itu juga terkontaminasi DNA babi. Audit komprehensif sangat penting untuk memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen, khususnya konsumen muslim. Sebab berdasar UU Jaminan Produk Halal, proses produksi dan konten obat harus bersertifikat halal; 2. YLKI mendesak PT. Pharos Indonesia dan PT. Medifarma Laboratories untuk meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia akibat keteledoran dan atau kesengajaannya memasukkan DNA babi yang sangat merugikan konsumen; 3. YLKI juga mendesak kepada kedua produsen untuk memberikan kompensasi kepada konsumen yang telah mengonsumsi obat tersebut, minimal mengembalikan sejumlah uang kepada konsumen sesuai nilai pembeliannya; 4. YLKI juga mendesak Badan POM untuk memberikan sanksi yang lebih tegas dan keras kepada kedua produsen farmasi tersebut karena telah banyak melanggar UU, baik UU Perlindungan Konsumen, UU Jaminan Produk Halal, dan regulasi lainnya. Demikian sikap dan pendapat YLKI agar semua menjadikan maklum. Terima kasih. Wassalam, 01 Februari 2018 Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi
Pelembagaan Perlindungan Konsumen
Waktu berjalan terus. Tujuh belas tahun sudah Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diterbitkan, berarti sudah dwi windu lebih UUPK ini dijadikan acuan hukum bagi permasalahan konsumen. Pertanyaannya, efektifkah UUPK? Sementara itu, sudah 43 tahun pula istilah konsumen dikumandangkan di negeri ini. Terhitung sejak didirikannya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 11 Mei 1973 oleh mereka yang peduli dengan produk dalam negeri, termasuk kualitasnya. Apa yang dicapai setelah sekian lama YLKI berdiri? Persoalan konsumen ternyata tidak pernah berhenti dari waktu ke waktu, bahkan terasa makin kompleks. Berbagai perubahan sosial, ekonomi, pengetahuan, teknologi, juga politik; jelas menimbulkan perubahan dalam pola, jenis, dan bobot permasalahan dan keluhan konsumen. Bicara efektivitas keberadaan UUPK, dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya, apakah pasal-pasal dalam undang-undang ini benar-benar dapat dimanfaatkan oleh konsumen untuk melindungi dirinya? Juga, apakah kelembagaan yang diamanatkan oleh UUPK telah terbentuk dan berfungsi dengan benar. Kemudian, apakah para pelaku usaha juga mengindahkan, atau menggunakan UUPK ini sebagai rujukan perilaku perusahaannya. Dan seabreg pertanyaan yang bisa kita lontarkan. Menjawab pertanyaan pertama, YLKI memang selalu menggunakan pasal-pasal yang tercantum dalam UUPK untuk menindaklanjuti permasalahan dan pengaduan konsumen. Selain itu, berbagai isu yang muncul di masyarakat pun selalu dapat dikaitkan dengan UUPK. Sebut saja, layanan kesehatan, jasa perbankan, hak atas energi dan sebagainya. Memang, isu kenaikan harga dan kelangkaan bahan pangan pokok tidak termasuk dalam kerangka UUPK. Karena, UUPK hanya mengurusi hubungan transaksional konsumen dengan pelaku usaha. Artinya, hanya berlaku apabila konsumen menghadapi masalah pada saat dan setelah membeli dan menggunakan barang atau jasa tertentu. Demikian juga soal kebijakan energi serta kelangkaan energi yang terjadi di negeri ini, yang jelas-jelas menyusahkan masyarakat. Meski YLKI selalu angkat bicara memperjuangkan kepentingan masyarakat – dengan selalu mengingatkan tanggung jawab negara akan jaminan ketersediaan dan keterjangkauan, sulit untuk menuntut atau menyeret institusi tertentu ke ranah hukum. LEMBAGA KONSUMEN Terkait kelembagaan, UUPK mengamanatkan tidak kurang dari tiga macam kelembagaan yang dapat berperan dalam perlindungan konsumen. Pertama, tentu saja organisasi konsumen, yang dalam UUPK disebut sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Kenapa perlu untuk disebutkan pertama? Karena jauh sebelum UUPK ini disahkan, organisasi konsumen sudah terbentuk terlebih dahulu. YLKI yang berlokasi di Jakarta, merupakan organisasi yang pertama, selanjutnya diikuti dengan organisasi konsumen lain di berbagai daerah, seperti: Yogyakarta, Medan, Makassar, Bandung, Surabaya dan kota lainnya. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, YLKI merupakan penggagas dan membidani lahirnya UUPK. Tidak tanggung-tanggung, gagasan ini secara historis telah mulai disuarakan sejak 1975-an. Sebelum UUPK disahkan, paling tidak baru ada sekitar belasan organisasi konsumen di Indonesia. Namun setelah UUPK – yang mendorong dibentuknya LPKSM di daerah tingkat II (kabupaten/kota), saat ini sudah hampir 300-an LPKSM yang tercatat di Direktorat Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan RI. Tentu saja dari 300-an LPKSM ini masih perlu dilihat kembali berapa yang masih aktif dan berapa yang sudah “menghilang”. Kedua, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Badan ini seharusnya menjadi institusi independen yang paling tinggi dan bergengsi dalam bidang perlindungan konsumen. Bertanggung jawab langsung pada Presiden, BPKN berperan dalam menentukan arah dan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia. Kenyataannya, belum cukup terlihat hasil nyata sepak terjangnya bagi perlindungan konsumen Indonesia. Hal ini disebabkan kewenangannya yang sebatas memberi saran dan pertimbangan pada pemerintah. Dan, ketiga, adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Institusi ini juga didorong untuk dibentuk di daerah tingkat II (kabupaten/kota), sebagai alternatif tempat penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Badan ini seharusnya mempunyai kewenangan cukup untuk menghasilkan keputusan final bagi konsumen, dan pelaku usaha wajib melaksanakan putusan yang telah ditetapkan. Kenyataannya, BPSK ternyata tidak kuasa memaksa pelaku usaha yang bermasalah untuk datang memenuhi panggilan. Dan putusan BPSK pun tidak otomatis berkekuatan hukum tetap. Tetap saja harus disahkan terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri setempat. Salah satu tugas YLKI memang mendorong adanya berbagai tempat pengaduan bagi konsumen yang menyediakan akses bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan permasalahan pada saat menggunakan dan memanfaatkan suatu barang atau jasa. Termasuk di lingkungan pelaku usaha, YLKI sangat menghargai pelaku usaha yang meskipun tidak diwajibkan secara regulasi, berani menyediakan nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh konsumen. Perkembangan terbaru, saat ini ada kegalauan nasib BPSK dan perlindungan konsumen di daerah. Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan perlindungan konsumen ada di tingkat Provinsi. Jika BPSK ditarik ke Provinsi, makin jauh saja akses konsumen untuk upaya penyelesaian masalahnya. Selain ketiga lembaga yang diamanatkan UUPK ini, YLKI melihat ada bentuk lain yang patut didorong dan diperjuangkan. Kelembagaan ini bisa ada dalam institusi pemerintah, namun dapat pula dibangun oleh pelaku usaha. Yang pasti, kelembagaan ini mengakomodasikan perlindungan konsumen. Lepas dari efektivitas kelembagaan yang terbentuk, ada beberapa model yang telah ada. Pertama, inisiatif dalam institusi pemerintahan. Contoh yang ada adalah dibentuknya Sub Direktorat Perlindungan Konsumen di bawah Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di masa Direktur Jenderal LPE dipimpin oleh Luluk Sumiarso, berinisiatif membentuk subdirektorat ini untuk menampung dan membantu menyelesaikan persoalan konsumen terkait listrik. Bagi konsumen, dibentuknya unit ini menunjukkan pengakuan bahwa pemerintah harus pula memikirkan sisi konsumen, tidak hanya mengurusi penyedia jasa ketenagalistrikan. Keberadaan unit ini sedikit banyak meringankan tugas YLKI. Apabila PT PLN, sebagai satu-satunya penyedia listrik, membandel, unit ini dalam kapasitasnya sebagai regulator, dapat ikut “menjewernya”. Pada institusi pemerintah yang lain, dalam beberapa tahun terakhir ada perkembangan dalam bentuk yang sedikit berbeda. Bukan dalam bentuk unit perlindungan kosnumen, tetapi membangun akses informasi dan pengaduan malalui call center atau website seperti pada Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, dan lainnya. Meski tentu saja efektivitasnya masih perlu diuji. Contoh lain adalah yang dibentuk atas inisiatif pelaku usaha. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), merupakan tempat penyelesaian sengketa asuransi alternatif bagi konsumen. Lembaga ini dibentuk oleh Asosiasi Asuransi Indonesia yang notabene perkumpulan perusahaan asuransi yang beroperasi di Indonesia. Karena regulasi mengharuskan seluruh perusahaan asuransi menjadi anggota asosiasi, badan mediasi otomatis punya kuasa untuk memanggil perusahaan asuransi yang bermasalah dan dikeluhkan konsumen. Otoritas Jasa Keuangan yang membawahi sektor keuangan memberikan perhatian cukup baik untuk perlindungan konsumen. Selain memiliki bidang khusus edukasi dan perlindungan konsumen dan call center sendiri, juga mendorong adanya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di sektor jasa keuangan. Saat ini, selain BMAI untuk perasuransian, telah
Bagaimana Menyampaikan Pengaduan Konsumen?
Setiap orang dijamin haknya untuk menyampaikan pendapat dan keluhan atas barang dan jasa yang dikonsumsi. Ini tersurat jelas pada Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kendati demikian, belum banyak konsumen yang menggunakan hak tersebut. Salah satu alasan ialah ketidaktahuan konsumen, kemana dan bagaimana cara menyampaikan keluhan dengan baik dan benar. Nah, tulisan pendek ini akan mencoba mengulas tentang bagaimana membuat pengaduan. Ada dua hal yang harus diperhatikan ketika konsumen membuat pengaduan. Pertama, konsumen harus merumuskan terlebih dahulu hasil apa yang diharapkan dari sebuah pengaduan konsumen. Dari hasil tersebut, baru konsumen memutuskan harus mengadu kemana (lebih jelas lihat tabel 01). Tabel 01. Hasil yang diharapkan dari pengaduan Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Polisi mengmabil langkah hukum terhadap pelaku usaha Membuat Laporan / pengaduan ke kepolisian Pelaku usaha dikenakan sanksi pidana Membuat Laporan / pengaduan ke kepolisian Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Konsumen mendapat kompensasi finansial Membuat pengaduan ke BPSK; Membuat pengaduan ke LPKSM; Mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri; Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Pelaku usaha dikenakan sanksi administrasi Membuat pengaduan ke lembaga otoritas tertentu Seperti untuk obat ke BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Meminta pelaku usaha menghentikan/melakukan perbuatan tertentu Meminta LPKSM mengajukan gugatan legal standing Dalam kasus keberadaan iklan misleading information, langkah ini sangat efektif Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Meminta organisasi profesi menjatuhkan tindakan disiplin profesi Mengadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Profesi Langkah ini sangat efektif dalam kasus terjadinya malpraktik profesi dokter, pengacara notaris dll Kedua, di lapangan ada beragam lembaga pengaduan konsumen. Untuk itu menjadi penting bagi konsumen mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing lembaga yang menerima pengaduan konsumen tersebut (Lebih jelas lihat tabel 02). Tabel 02 : Plus Minus Saluran Pengaduan Konsumen Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan Departemen/Kementerian teknis Institusi formal yang mempunyai kompetensi di bidang tertentu; Dalam beberapa kasus, ada kontak pos khusus pengaduan konsumen. Belum semua dokumen perijinan dikeluarkan departemen teknis; Divisi/petugas yang secara khusus menangani pengaduan belum ada/terbatas; Belum ada standar baku mekanisme penyelesaian pengaduan konsumen; Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan Rubrik surat pembaca Akses ke surat pembaca lebih mudah; Efektif untuk pembelajaran kepada sesama konsumen dan peringatan bagi pelakusa usaha; Dapat berfungsi sebagai kampanye negatif bagi pelaku usaha nakal. Tingkat penyelesaian pengaduan sangat rendah; Dimuat tidaknya surat pembaca tergantung kebijakan redaksi; Ada risiko digugat balik oleh pelaku usaha apabila tidak didukung data/bukti yang kuat. Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) Tidak dipungut biaya; Metode penyelesaian pengaduan dengan mengutamakan penyelesaian non litigasi (mediasi); Tidak semua daerah ada LPKSM; Lebih memprioritaskan penanganan pengaduan konsumen dengan korban massal dan dari kelompok masyarakat menengah ke bawah; Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan Assosiasi Industri / Organisasi Profesi Mempunyai akses langsung ke pelaku usaha / penyedia jasa professional; Secara internal mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi organisasi bagi pelaku usaha/penyedia jasa professional yang nakal; Tidak semua pelaku usaha anggota assosiasi industri; Pengurus assosiasi industri adalah juga dari pelaku usaha, sehingga ada konflik kepentingan ketika ada pengaduan konsumen; Independensinya diragukan, karena lebih dominan membela kepentingan anggota/solidaritas corps; Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) Tidak dipungut biaya; Batas waktu penyelesaian 21 hari; Memiliki dua kewenangan sekaligus dalam menyelesaikan masalah, yaitu secara konseptual (mediasi dan konsiliasi) dan ajudikatif (arbitrase). Belum semua Pemerintah Kota/ Kabupaten memiliki BPSK; Prosedur di BPSK masih memberi ruang bagi pelaku usaha melakukan keberatan ke Pengadilan Negeri; Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan Pengadilan Negeri Ada di setiap Pemerintahan Kota / Kabupaten; Ada lembaga yang dapat memaksa para pihak untuk melaksanakan putusan Pengadilan. Biaya administrasi pengadilan, dalam banyak kasus, tidak sebanding sengan nilai sengketa konsumen; Prosedur beracara rumit; Waktu penyelesaian relatif lama; MENGADU KE PELAKU USAHA Konsumen melakukan kontak awal dalam transaksi barang/atau jasa dengan pelaku usaha. Apabila ada masalah dalam transaksi barang dan/jasa, hal yang harus dilakukan konsumen adalah membuat pengaduan langsung ke pelaku usaha. Beberapa pelaku usaha sudah memiliki bagian khusus yang menangani pengaduan konsumen, sebagaian diantaranya bahkan ada yang sampai memberi garansi time respon dari sebuah pengaduan konsumen. Pengaduan ke pelaku usaha penting dilakukan konsumen terlebih dahulu, karena dalam banyak kasus sengketa yang timbul antara konsumen dengan pelaku usaha berawal dari buruknya komunikasi antara konsumen dan pelaku usaha, termasuk minimnya pemahaman konsumen tentang produk yang dikonsumsi. Nah, persoalan disinformasi antara konsumen dengan pelaku usaha, acapkali dapat diselesaikan dengan mengadu langsung ke pelaku usaha, tanpa perlu ada bantuan/intervensi pihak ketiga. SURAT PEMBACA Dalam merespon dugaan praktik prlanggaran hak-hak konsumen, hal sederhana yang dapat dilakukan konsumen adalah memublikasikan pengalaman buruk sebagai konsumen melalui surat pembaca di media massa (cetak). Cara ini memang tingkat penyelesaian masalah rendah, karena sangat tergantung sejauh mana tingkat responsibilitas dari pelaku usaha yang diadukan. Bagi pelaku usaha yang peduli terhadap nama baik dan menjaga citra perusahaan, sepanjang identitas konsumen jelas dan didukung data pengaduan lengkap, akan direspon pelaku usaha. Cara ini juga cukup efektif bagi pendidikan konsumen, dengan menulis pengalaman buruk konsumen di surat pembaca, diharapkan pembaca lebih hati-hati dan tidak terperosok pada lubang yang sama menjadi konsumen teraniaya. Sebagai catatan, cara ini disarankan setelah konsumen mengadu ke pelaku usaha. tetapi tidak ada respon atau ada respon, tetapi jawaban pelaku usaha tidak mencerminkan pelaku usaha yang bertanggung jawab dan menghargai hak-hak konsumen. LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) Sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu fungsi dari kehadiran LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) adalah penanganan pengaduan konsumen. Secara umum, konsumen dapat menyampaikan pengaduan konsumen ke LPKSM melalui berbagai akses, seperti: surat, telepon, datang langsung, e-mail, SMS. Agar dapat ditindak lanjuti, pengaduan konsumen harus dilakukan secara tertulis atau datang langsung ke LPKSM dengan mengisi form pengaduan konsumen. Dalam pengaduan, sekurang-kurangnya harus ada uraian tentang: urutan kronologis kejadian, tuntutan konsumen, dengan dilampiri data pendukung baik berupa dokumen atau barang bukti, serta identitas pelapor. Mekanisme LPKSM dalam menyelesaikan sengketa konsumen adalah menitikberatkan upaya tercapainya kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha melalui mediasi atau konsiliasi. Di sini, peran LPKSM sebagai mediator antara konsumen dan pelaku usaha. LAPOR KE KEPOLISIAN Praktik pelanggaran hak-hak konsumen oleh pelaku usaha,
Siaran Pers YLKI : Penegakan Hukum Pelaku Obat Ilegal Masih dari Sisi Hilir Saja
Aksi pembongkaran adanya obat ilegal oleh Bareskrim Mabes Polri dan dan Badan POM patut diapresiasi. Namun dalam pantauan YLKI aksi semacam ini belum mampu membuat para pelaku jera bahkan cenderung mengulang perbuatannya, karena: 1. Hukumannya masih ringan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan hanya hukuman percobaan; 2. Polri dan Badan POM hanya mampu membongkar dari sisi hilirnya saja, belum pada sisi hulu. Pelaku-pelaku utama belum mampu dicokok; 3. Badan POM juga masih reaksioner dalam melakukan pengawasan. Belum mampu melakukan pengawasan intensif dipusat-pusat pelaku obat ilegal; 4. Polisi dan Badan POM juga harus aktif melakukan inspeksi dan melakukan penegakan hukum bukan hanya pada pasar konvensional saja, tetapi juga pasar online yang kini sangat marak.
Mabes Polri: Tersangka Kasus Vaksin Palsu 23 Orang, Termasuk Produsen dan 5 Dokter
Dari hasil proses penyelidikan yang diawali dengan pengumpulan dan analisis data, Markas Besar (Mabes) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menemukan peristiwa pidana peredaran, penggunaan dan pembuatan vaksin palsu. Dalam kasus ini, sebanyak 23 orang telah ditemukan bukti permulaan untuk ditetapkan sebagai tersangka. “Perkembangan sidik vaksin ditemukan beberapa tersangka yakni 6 produsen, 9 distributor, 2 pengumpul bekas botol vaksin, 1 pencetak label dan bungkus, serta 5 orang dokter,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Mabes Polri, Brigjen Pol Agung Setya, dalam acara Forum Tematik Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) di Wisma Bhayangkari, Kebayoran, Jakarta, Selasa (30/8). Adapun vaksin yang dipalsukan, menurut Agung, berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), di antaranya adalah Tripacel, Pediacel, Engerix B, Euvax B, Tuberculin PPD RT 23, Havric Junior. Mengenai rumah sakit yang terlibat dalam peredaran vaksin palsu itu, Agung menjelaskan, sebelum diumumkan ke masyarakan, pihak kepolisian melalui Polda Metro Jaya telah mempersiapkan kemungkinan adanya kemarahan dari orangtua anak-anak yang pernah diberikan vaksin di rumah sakit tersebut. Namun Agung menegaskan, penegakan hukum dalam kasus peredaran vaksin palsu itu hanyalah, sekian solusi, karena solusi yang lebih jauh adalah aspek pencegahan. Perlindungan Pemerintah Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Drg. Oscar Primadi menyampaikan, bahwa imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang paling cost effective. “Imunisasi memiliki kurun waktu yang bisa mencapai usia bayi 2 tahun,” ujarnya. Adapun alur distribusi vaksin, menurut Oscar, dimulai dari Bio Farma yang kemudian dibawa ke Kemenkes, provinsi, kabupaten, ke RS/UP. Oscar menegaskan, saat pengiriman vaksin selalu berada di lemari pendingin. Mengenai imunisasi ulang kepada penerima vaksin palsu, Oscar menjelaskan, dilakukan kepada anak-anak, dan diberikan gratis oleh pemerintah. Namun sebelum dilakukan imunisasi ulang, menurut Oscar, dilaksanakan verifikasi data anak terlebih dahulu. Sejauh ini, lanjut Oscar, sebanyak 1.500 anak telah terverifikasi mendapatkan vaksin palsu. “Rencana tindak lanjut salah satunya yakni perbaikan regulasi dan pembentukan tim terpadu dari Kemenkes dan BPOM,” pungkas Oscar. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi yang hadir dalam kesempatan itu, berharap agar dalam penanganan kasus vaksin palsu tidak hanya berhenti di sini, tapi juga dibongkar lebih lanjut kepada peredaran obat. “Sekarang ini juga banyak peredaran obat melalui online atau e-commerce yang sulit untuk dipantau keresmiannya,” tambah Tulus seraya berharap adanya pengawasan internal yang dilakukan oleh BPOM dan Kemenkes untuk mengawasi rumah sakit. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, M.A, menyampaikan bahwa orangtua korban vaksin palsu datang untuk mendapatkan advokasi ke rumah sakit. “Berdasarkan UU 36/2009 tentang Kesehatan pasal 153 Pemerintah menjamin ketersediaan imunisasi yang aman dan terjangkau,” tambah Asrorun. Vaksin dan obat palsu berbahaya, menurut Asrorun, faktor utamanya adalah karena anak masih dalam posisi rentan. Dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr Dyah Silviaty, dr.SpA, MH.Kes menyampaikan imunisasi yang direkomendasikan oleh IDAI yakni usia 0 sampai 18 tahun. “Vaksin palsu tidak memiliki proteksi atau perlindungan terhadap virus tertentu. Vaksin palsu isinya merupakan campuran cairan infus (NaCl),” lanjut Dyah. Harus Sigap Sebelumnya Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rosalina Niken Widyastuti dalam sambutannya mengatakan, bahwa Humas Pemerintah harus hadir untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Berkaitan dengan vaksin palsu, menurut Niken, humas pemerintah harus sigap, merespons secara cepat, akurat, dan jelas. “Humas Pemerintah harus hadir untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui media mainstreamdan media sosial,” ujarnya. Saat ada masalah, lanjut Dirjen IKP, harus disampaikan secara terus-menerus solusi dari masyarakat serta menjalin koordinasi dengan instansi kementerian/lembaga. Saat ini, menurut Niken, Kominfo sedang menyiapkan Jaringan Pemberitaan Pemerintah (JPP). “Informasi yang disampaikan lewat JPP ini nantinya bersifat defensif maupun ekspansif. Klarifikasi secara cepat antara kementerian/lembaga yang kemudian dibuat narasi untuk meng-counter,” tambah Niken. Turut hadir dalam acara Bakohumas kali ini Direktur Kemitraan Komunikasi Kominfo Dedet Surya Nandika dan Asisten Deputi Bidang Hubungan Kemasyarakatan dan Protokol Setkab Al Furkon Setiawan serta seluruh perwakilan humas kementerian/lembaga. (EN/ES) Sumber : Mabes Polri: Tersangka Kasus Vaksin Palsu 23 Orang, Termasuk Produsen dan 5 Dokter
Siaran Pers YLKI : Kelembagaan dan Peran Badan POM Harus Diperkuat
Hari ini Presiden Jokowi melantik Kepala Badan POM Baru, di Istana. Ada beberapa catatan dan harapan saya terhadap Kepala Badan POM baru tersebut. 1. Kepala Badan POM baru seharusnya dijadikan momen untuk pembenahan intern Badan POM agar lebih berdaya dalam pengawasan di lapangan; 2. Kepala Badan POM harusnya dijadikan momen untuk merestrukturisasi kapasitas Badan POM, sehingga lebih berdaya. Kasus vaksin palsu menjadi bukti bahwa Badan POM perlu diberikan ruang yang lebih luas dalam pengawasan, bukan malah diamputasi. Apalagi terbukti pengawasan yang dilakukan Kemenkes dan Dinkes lebih banyak gagalnya. 3. Untuk penguatan peran dan dan fungsi Badan POM secara regulasi diperlukan regulasi yang lebih kuat, agar Badan POM lebih power full. Wacana pembentukan RUU ttg Kebadanpoman yang dulu pernah diusung DPR, harusnya dihidupkan kembali. Presiden dan DPR bisa menginisiasi lagi hal tersebut. Sekali lagi, Badan POM perlu diperkuat perannya ditengah era MEA yang dipastikan arus barang (makanan/minuman/obat/kosmetika) lebih banyak masuk ke Indonesia. 4. Kita harapkan figur baru Kepala Badan POM didedikasikan untuk itu, bukan malah sebaliknya, yakni bagi-bagi kursi belaka. Kompetensi Kepala Badan POM baru akan diuji. Kita tunggu kiprahnya.