Perbankan
Konsumen dan Keberanian Mengadu
Berdasarkan catatan akhir tahun dari Komisi Ombudsman Nasional (KON) 2012, disimpulkan bahwa masyarakat sudah mulai berani mengadu ketika tidak mendapatkan haknya. Kesimpulan dimaksud didasar pada jumlah pengaduan ke KON yang meningkat sebesar 8,41 persen. Pada 2011 KON ‘hanya’ menerima aduan masyarakat sebanyak 1.867 kasus, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 2.024 kasus yang diadukan. Dari angka tersebut, pengaduan terkait Pemerintah Daerah menuai angka tertinggi, yakni 669 kasus (33,5%). Apa yang disimpulkan oleh KON tidaklah salah. Secara faktual sejak era reformasi bergulir, keberanian masyarakat untuk mengadu terus meninggi, bahkan kelewat tinggi. Artinya, masyarakat mulai kritis terhadap beragam persoalan yang menimpanya. Namun tingginya pengaduan juga bisa dimaknai sebaliknya, bahwa pengaduan yang tinggi adalah cermin masih buruknya pelayanan publik di Indonesia. Individualistik Lantas, bagaimanakah model pengaduan masyarakat sebagai konsumen terhadap produk layanan yang disediakan sektor swasta, termasuk layanan publik oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?. Pada batas tertentu, terdapat perbedaan karakter, antara rakyat (sebagai citizens) yang berhadapan dengan negara (state), dan konsumen (end user) yang berhadapan dengan pelaku usaha. Norma hukum yang mengatur pun berbeda (walau agak berhimpitan), masyarakat sebagai pengguna produk birokrasi dipayungi oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UUPP). Sedangkan konsumen payung hukumnya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Faktanya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih senior 10 tahun ketimbang UU Pelayanan Publik. Titik temu dari kedua Undang-Undang ini adalah pada komoditas pelayanan yang disediakan oleh BUMN. Oleh UU Perlindungan Konsumen, BUMN (dan BUMD) dikategorikan sebagai pelaku usaha. Sementara pada UU Pelayanan Publik, BUMN dikategorikan sebagai “korporasi” penyedia pelayanan publik. Jadi, komoditas yang disediakan BUMN, tunduk pada kedua norma hukum dimaksud. Kendati ada titik persamaannya, kesimpulan KON terkait dengan keberanian masyarakat yang berani mengadu, secara psikologis agak berbeda dengan posisi konsumen. Persamaannya, kadar keberanian mengadu sudah lama pula mengristal di kalangan konsumen, terutama sejak disahkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Sebab, didalam UU Perlindungan Konsumen ditegaskan bahwa konsumen berhak: didengar keluhan dan pendapatnya, mendapatkan kompensasi dan ganti rugi, plus mendapatkan advokasi dan perlindungan (Pasal 4). Ketiga poin inilah yang menjadi spirit konsumen untuk mengadu jika produk barang/jasa yang diberikan merugikan dirinya. Keberanian konsumen untuk mengadu, selain ditujukan pada pelaku usaha (provider), juga ditujukan kepada lembaga konsumen – seperti misalnya YLKI dan atau BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), yang kini telah eksis diberbagai kota besar di Indonesia. Bahkan, pasca lahirnya UUPK, konsumen bukan hanya berani mengadu, tetapi juga berani melakukan gugatan hukum, baik gugatan individual atau gugatan kelompok. Ini tercermin dalam Pasal 46 ayat (1). Banyak kasus konsumen melakukan gugatan perdata, bahkan laporan pidana, dan gugatan class action pada pelaku usaha nakal. Sementara hal ini justru tidak terlalu kuat diatur dalam UU Pelayanan Publik. Namun, ada beberapa catatan kritis terkait dengan keberanian konsumen untuk mengadukan kasusnya; pertama, mayoritas keberanian tersebut masih bersifat individualistik. Artinya, konsumen akan mengadu jika persoalannya menimpa dirinya. Keberanian dan kepedulian konsumen belum kuat muncul, manaka persoalan tersebut menimpa orang lain. Kedua, keberanian konsumen juga masih terkendala oleh minimya tindak lanjut pengaduan. Konsumen belum yakin bahwa pengaduannya akan diselesaikan dan ditindaklanjuti. Sebagai contoh, berdasar survei YLKI – kasus konsumen Transjakarta – hanya 55 persen yang yakin bahwa pengaduannya akan ditindaklanjuti. Sisanya, 45 persen (sangat signifikan), tidak yakin pengaduannya ditindaklanjuti oleh managemen Transjakarta. Keberanian konsumen juga rada surut, ketika beberapa waktu yang lalu ada fenomena gugatan balik oleh pelaku usaha yang diadukan konsumen. Kasus Prita (yang digugat balik oleh rumah sakit), dan juga beberapa kasus lain, seperti kasus perumahan, kasus operator seluler yang mencuri pulsa, membuktikan hal itu. Secara psikologis, gugatan balik oleh pelaku usaha menyurutkan nyali konsumen untuk merebut haknya. Fenomena ini menjadi preseden sangat buruk bagi konsumen untuk menjadikan dirinya kritis dan berani merebut haknya. Untuk mengantisipasi gugatan balik, pengaduan dan gugatan konsumen harus konkrit, dengan disertai bukti-bukti yang cukup. Plus, sudah melakukan komunikasi dan mediasi dengan pihak pelaku usaha. Potret pelayanan publik, secara umum, bagaimanapun belum membaik, kecuali di beberapa sektor. Tingginya pengaduan, baik yang diterima oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON), YLKI, media masa dan lembaga lain, adalah sinyal kuat bahwa potret pelayanan publik di negeri ini masih buram. Masyarakat dan juga konsumen memang sudah lama mempunyai nyali kuat untuk mengadu, atau bahkan menggugat kepada pemerintah, dan atau pelaku usaha. Namun hingga kini keberanian itu belum mengkristal secara kolektif. Keberanian masyarakat ataupun konsumen masih tercerai-berai pada kepentingan individunya. Ironisnya, keberanian mereka menyurut atau bahkan kandas, makala minim tindaklanjut dan bahkan menuai gugatan balik dari pelaku usaha. Keberanian rakyat dan konsumen untuk mengadu dan bahkan menggugat ke ranah hukum, harus terus dibangunkan. Mereka tak boleh patah arang untuk merebut haknya, kendati menuai gugatan balik. ***
Sekeping kartu, Bencana atau Manfaat
Mengelola keuangan bukanlah sebuah pekerjaan mudah, kendati hanya mengelola keuangan pribadi. Munculnya kasus utang piutang yang berujung pada ranah hukum menjadi salah satu bukti. Bukan saja lantaran keterbatasan finasial yang menjadi penyebab besar pasak dari pada tiang, tetapi cara mengelola keuangan yang salah menyebabkan seseorang terjerumus dalam masalah keuangan. Berdasarkan catatan YLKI tahun 2011, dari 112 pengaduan masalah perbankan 50 persen didominasi oleh pengaduan masalah kartu kredit. Sementara pengaduan tentang leasing berjumlah 22 kasus dan 13 pengaduan asuransi. Ketiga jenis pengaduan ini terkait erat dengan sistem perencanaa keuangan. YLKI memang bukan perencana keuangan, namun dari konfigurasi permasalahan, buruknya pengelola keuangan menjadi awal petaka. Pengaduan terkait jasa keuangan selalu menduduki lima besar pengaduan di YLKI. Dan seiring perkembangan waktu, pengaduan kartu kredit menunjukan grafik meningkat. Kenapa demikian? Dari tingginya permasalahan kartu kredit terlihat bahwa uang plastik ini memang bisa jadi sumber bencana. Itu kalau tidak memahami fungsi dan tidak tau cara penggunaannya. Tapi jangan salah. Bagi sebagian orang jenis kartu ini memberi manfaat dan dirasa menguntungkan. Hal Ini bisa terjadi jika pemegang kartu kredit paham betul bagaimana menggunakan dan memanfaatkannya. Manfaat atau Bencana? Pertama-tama yang harus diingat adalah kartu kredit merupakan kartu hutang. Begitu menggunakan atau menggeseknya, berarti sudah mempunyai catatan hutang pada bank penerbit kartu tersebut. Hutang baru akan terselesaikan apabila membayarnya. Tidak ada cara lain. Pengguna kartu kredit akan menerima tagihan setiap bulan. Di lembar tersebut disebutkan berapa kewajiban membayar. Malangnya, yang disebut sebagai kewajiban adalah nilai minimum yang harus dibayarkan sebelum waktu jatuh tempo. Padahal, kewajiban konsumen adalah membayar seluruh total tagihan pada waktunya, bukan hanya sebagian. Inilah salah satu jebakan. Apabila konsumen hanya membayar sebagian dari yang ditagihkan, apa yang akan terjadi? Akan dikenakan bunga yang sangat tinggi. Bunga kartu kredit yang diterapkan bank penerbit bervariasi antara 3 dan 4 persen sebulan, yang berarti sekitar 40% setahun! Bandingkan apabila konsumen menyimpan uang di bank, berapa bunga yang diperoleh? Untuk tabungan, hanya sekitar 2-3% setahun. Atau kalau dalam bentuk depsito, hanya sekitar 5-6 persen setahun. Berikutnya, yang perlu dipahami adalah kartu kredit bukanlah dana tambahan pada saat tidak memiliki uang. Kartu kredit hanyalah alat pembayaran, yang memberi kemudahan, terutama untuk transaksi dalam jumlah cukup besar, karena konsumen tidak perlu membawa dana tunai. Atau pada situasi-situasi darurat dimana tidak dapat segera mengambil dana tunai. Jadi, kartu kredit hanyalah pengganti sementara, yang harus segera dibayarkan. Apabila tidak segera membayar, bencana akan menghadang. Berbagai transaksi saat ini memang didorong untuk menggunakan kartu kredit. Misalnya saja untuk memesan tiket pesawat secara online. Atau memesan hotel saat akan bepergian. Seringkali konsumen mendapatkan tawaran harga atau tarif yang lebih murah, apabila memesan melalui internet, dan tentu saja, harus menggunakan kartu kredit. Tapi, sekali lagi, perlu diingat, pemesanan semacam ini juga berpotensi menuai masalah. Misalnya, Konsumen tidak dapat membatalkan pemesanan begitu saja. Risikonya, Kosumen tetap harus membayar tagihan meski tidak menikmatinya. Jikapun ada pengembalian sebagian, akan memakan waktu proses yang cukup panjang. Bagi mereka yang senang hangout, bertemu dengan teman dan kerabat di restoran atau kafe, kartu kredit bisa jadi memang menguntungkan. Banyak sekali penawaran diskon dengan menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan penerbit tertentu. Tapi jangan salah, tempat tersebut pasti cukup mahal, dan ada batasan minimal yang harus dipenuhi sebelum diskon berlaku. Lagi-lagi, jangan lupa untuk segera melunasi pada saat datang tagihan. Kalau tidak, keuntungan/diskon yang dibayangkan tidak akan diperoleh. Justru sebaliknya, Konsumen justru akan membayar lebih tinggi. Kartu kredit juga bisa bermanfaat apabila dapat membedakan antara barang konsumtif dan kebutuhan produktif. Suatu barang yang harganya memang cukup tinggi, yang apabila dibayar dengan tunai dapat mengganggu cash flow, kartu kredit mungkin bisa jadi solusi. Tetapi, cek kembali. Apakah barang tersebut hanya merupakan barang konsumtif, atau dapat membantu aktivitas dan produktivitas kita? Kalau jawabannya yang terakhir, boleh saja mempertimbangkan untuk menggunakan kartu kredit, misalnya dengan memanfaatkan penawaran cicilan sekian kali dengan bunga 0% atau bunga rendah (biasanya dibawah 1%). Jangan lupa, pastikan jumlah cicilan yang harus dibayar setiap bulannya memang mampu kita bayarkan. Dan kita akan disiplin membayarnya. Kalau tidak, bukannya keuntungan yang kita peroleh, tetapi justru petaka. Karena bunga rendah menjadi tidak berlaku, yang terjadi adalah bunga berbunga yang jauh lebih besar setiap bulannya. Pasar Kartu Kredit Pengguna kartu kredit memang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kacamata industri kartu kredit, potensi pasar di Indonesia masih sangat luas. Jumlah kartu kredit yang beredar sekitar 14.600.000 kartu, meningkat lebih dari satu juta kartu dibandingkan tahun 2010. Menurut Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, saat ini baru ada sekitar 7 juta orang pemegang kartu, yang berarti rata-rata memiliki dua kartu kredit. Bandingkan dengan jumlah penduduk usia produktif atau jumlah angkatan kerja yang lebih dari 100 juta. Meski seseorang telah memiliki kartu kredit, jangan dikira akan terbebas dari gangguan penawaran. Dapat dipastikan akan tetap dibombardir dengan berbagai tawaran menarik dari penerbit yang lain. Penawaran seringkali diming-imingi bebas iuran tahunan di tahun pertama. Lagi-lagi, ini juga bisa menjadi jebakan. Jika lupa untuk menutupnya, atau proses penutupan dipersulit sedemikian rupa, buntut-buntutnya tetap membayar tagihan iuran tahunan. Jumlah transaksi menggunakan kartu kredit pun bukan angka yang kecil. Dari catatan Bank Indonesia jumlah transaksi sampai November 2011 saja mencapai 186 juta dengan nilai transaksi lebih dari Rp 161 milyar rupiah. Nilai ini telah meningkat sekitar Rp 3 milyar dibandingkan tahun 2010. Sayangnya, tidak pernah diungkapkan berapa persen yang macet serta nilai tunggakan kartu kredit yang ada. Resolusi keuangan Jadi, apa yang menjadi resolusi dalam sektor keuangan? Resolusi bukan sekedar harapan. Harus jelas apa yang akan menjadi tujuan. Cerdas mengelola keuangan, tidak berhutang, dan mulai berinvestasi. Tetapkan targetnya. Untuk menuju kesana, berikut beberapa saran yang dapat dilakukan: Menyelesaikan hutang kartu kredit yang sudah terlanjur ada. Ingat! Membiarkannya tanpa upaya menyelesaikan berarti merelakan hutang kita semakin berlipat. Relakan simpanan yang ada untuk melunasinya. Atau cari pinjaman dari sumber lain yang tidak menerapkan bunga berbunga. Hati-hati dengan penawaran uang tunai atau pinjaman dengan bunga ringan. Pastikan biaya dan risikonya, sehingga tidak terjebak untuk kedua kalinya. Menutup kartu kredit yang terlanjur dimiliki. Kalau memang benar-benar memerlukan, tinggalkan satu kartu saja. Pastikan kita telah paham betul fungsi, manfaat, serta risiko kartu kredit. Kartu kredit akan bermanfaat apabila
Calon DK OJK Tak Wakili Konsumen
Meski UU No 21 Tahun 2011tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut mencantumkan masalah perlindungan konsumen, sebagian pihak masih khawatir implementasinya akan jauh dari harapan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai, empat belas calon Dewan Komisioner OJK yang diserahkan presiden ke DPR beberapa waktu lalu, tidak ada yang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai tentang konsumen. “Semua kandidat DK OJK tidak ada yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang konsumen,” kata Ketua Harian YLKI Sudaryatmo ketika dihubungi oleh hukumonline, Rabu (18/4). Sudaryatmo mengakui kewenangan OJK cukup besar untuk memperhatikan iklim konsumen agar lebih bagus. Namun, dengan 14 kandidat yang akan mengikuti fit and proper test di DPR nanti, ia tidak begitu optimis persoalan konsumen akan lebih diperhatikan. Dia berharap siapa pun yang akan menjabat sebagai DK OJK nantinya, pengawasan jasa keuangan akan lebih efisien dan efektif. Dijelaskan Sudaryatmo, persoalan keluhan konsumen di jasa keuangan dikarenakan adanya tumpang tindih pengawasan dua lembaga terdahulu, yakni Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Dengan adanya OJK, pengawasan di sektor keuangan diharapkan bisa lebih baik. Ditemui dalam seminar bertema “Implementasi Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan (LK) di Indonesia Pasca disahkannya UU OJK”, Kekhawatiran Sudaryatmo dijawab Ketua Bapepam-LK Nurhaida. Dia mengatakan, kehadiran OJK di Indonesia tentunya akan melindungi konsumen di sektor jasa keuangan. Menurutnya, hal ini sesuai dengan isi dari UU OJK yang disahkan beberapa waktu lalu. Namun, ia mengakui implementasi perlindungan konsumen tidaklah mudah. “Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Dk OJK yang terpilih nanti,” kata salah satu calon DK OJK ini. Menurut Nurhaida, kebijakan DK OJK harus memberikan manfaat bagi masyarakat, tidak hanya industri keuangan. Perlunya perlindungan konsumen ini, sambungnya, guna meningkatkan keamanan dan kenyamanan masyarakat terhadap industri jasa keuangan di Indonesia. Dengan adanya ketentuan khusus dalam UU OJK mengenai edukasi dan perlindungan konsumen, diharapkan masyarakat akan lebih memahami karakteristik produk, layanan dan risiko industri jasa keuangan sehingga masyarakat dapat memngenal produk jasa keuangan beserta risikonya dengan baik. “Paling tidak perlindungan konumen yang lebih baik akan memperkecil kerugian masyarakat,” katanya. Nurhaida juga mengingatkan bahwa OJK dapat menuntut atas nama konsumen. Melalui wewenang khusus ini, ia yakin lembaga ini akan memberikan perhatian lebih kepada konsumen. OJK diharapkan dapat mendorong kegiatan sektor jasa keuangan agar terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Direktur Pengawasan Bank dan Ketua Tim Persiapan Peralihan dari BI ke OJK, Endang Kussulanjari, menambahkan akan adanya integrasi pengawasan dan pengaturan saat OJK terbentuk. Dia mengakui perlindungan terhadap nasabah merupakan isu baru, namun ia menegaskan bahwa hal ini sudah lama dibicarakan antar lembaga keuangan. “Yang paling penting dengan adanya OJK, kita mengharapkan pengaturan dan pengawasannya terintergrasi,” imbuhnya. Untuk saat ini, lanjutnya, lembaga pengawasan masih berjalan sendiri-sendiri. Namun, ia memastikan setelah wewenang BI dan Bapepam-LK pindah ke OJK, semua akan terintegrasi sehingga pengawasan industri jasa keuangan akan lebih baik lagi. Sumber : Hukumonline.com
YLKI: 147 Pengaduan Terkait Masalah Kartu Kredit
Jakarta: Permasalahan perbankan di Indonesia banyak yang belum terselesaikan. Di antaranya adalah masalah kartu kredit. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat, sepanjang tahun 2011 pengaduan konsumen kartu kredit mencapai 147 pengaduan. Yang masih hangat dalam kasus kartu kredit adalah kasus Irzen Okta. Kasus menyangkut kartu kredit ternyata banyak terjadi di masyarakat. YLKI telah menerima 147 pengaduan terkait kartu kredit. Masalah yang diadukan nasabah kartu kredit beragam. Mulai dari masalah tagihan, hingga dipersulitnya nasabah saat hendak berhenti menjadi nasabah. Masalah lainnya terkait kartu kredit adalah pembobolan kartu kredit. Bank Indonesia (BI), sejauh ini telah mengeluarkan peraturan yang membatasi masalah kartu kredit. Salah satunya membatasi kepemilikan kartu kredit. Perusahaan penerbit kartu kredit juga diwajibkan mengetahui kemampuan nasabahnya. Saat ini, jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia mencapai 14,7 juta kartu. Kebanyakan nasabah memegang lebih dari dua kartu dan berpotensi menimbulkan masalah.(RIZ) Sumber : metronews.com
Anatomi Pengaduan Konsumen Kartu Kredit 2012
Berita Pers Untuk Pemuatan Segera Jakarta, 03 April 2012, bertempat di Kantor YLKI. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merupakan lembaga non profit yang diantara fungsinya adalah mengedukasi konsumen dan menfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen. Berdasarkan data pengaduan yang diterima oleh YLKI sepanjang tahun 2011, komoditas perbankan berada diantara 3 pengaduan tertinggi. Salah satu isu terbesar adalah pengaduan kartu kredit. Kartu kredit telah menjadi kebutuhan di kehidupan masyarakat perkotaan. Kartu kredit membuat transaksi keuangan konsumen menjadi lebih mudah. Informasi dan pengetahuan yang terbatas menjadikan konsumen terjebak dalam berbagai permasalahan terkait kartu kredit. Berdasarkan temuan itu, maka YLKI mengadakan Press Conference untuk mengumumkan kepada masyarakat terkait Data Pengaduan Kartu Kredit yang telah dikumpulkan yaitu yang bersumber dari : Surat Pembaca (via 6 media cetak, yaitu Koran Tempo, Media Indonesia, Kompas, Suara Pembaruan, Warta Kota dan Bisnis Indonesia) : dengan jumlah pengaduan 78 orang selama periode Januari 2011 – Desember 2011. Bidang Pengaduan YLKI dengan jumlah pengaduan 68 orang selama periode Januari 2011 – Desember 2011. Bulan Pengaduan via Website YLKI dengan jumlah pengaduan 34 orang selama periode 6 Januari 2012 – 6 Februari 2012. Dari ketiga sumber data diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah kartu kredit tertinggi adalah : (1) Tagihan kartu kredit; (2) Informasi dan layanan dari pihak Bank; (3) Kesalahan sistem; (4) Debt Collector; (5) Data Konsumen; (6) Bunga/denda; (7) Pembobolan Kartu Kredit; (8) Pemblokiran; (9) Penutupan kartu kredit yang dipersulit; dan (10) Reschedule. Masalah-masalah tersebut diwakili oleh 14 Bank Penerbit kartu kredit, yaitu : Bank HSBC, Bank Permata, Bank Citibank, Bank Danamon, Bank BCA, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank ANZ, Bank Mega, Bank BII, Bank UOB Buana, Bank BRI, Bank Standard Chartered dan Bank CIMB Niaga. Beragamnya masalah kartu kredit ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : Konsumen : kurangnya informasi tentang hak dan kewajibannya sebagai pemegang kartu kredit yang bertanggung jawab; Bank Penerbit Kartu Kredit : minimnya informasi yang disampaikan ke konsumen; sulitnya akses pengaduan kartu kredit; Bank Indonesia sebagai Regulator : kurangnya sosialisasi kepada masyarakat terkait peraturan Bank Indonesia. Penyebaran Masalah Kartu Kredit (Surat Pembaca), Periode : Januari 2011 – Desember 2011 NO BANK MASALAH JUMLAH Tagihan Poin Debt Collector Bunga & Denda SID Pemblokiran Informasi & Layanan Kesalahan sistem Pembobolan Pentupan KK yang dipersulit Data Konsumen Re-Schedule % 1 HSBC 4 1 1 3 0 1 8 2 1 1 1 0 23 10 2 Permata 3 0 2 1 0 0 3 0 0 1 0 0 10 5 3 Citibank 11 2 2 1 3 2 15 12 2 4 5 0 59 27 4 Danamon 4 0 1 1 1 0 4 2 0 0 2 0 15 7 5 BCA 9 0 1 5 0 1 8 5 3 0 0 0 32 14 6 BNI 3 0 0 1 0 0 2 3 1 0 1 0 11 5 7 Mandiri 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 3 1 8 ANZ 3 0 1 0 0 1 2 2 1 1 0 0 11 5 9 Mega 4 1 1 1 1 1 7 2 1 0 1 0 20 9 10 BII 3 0 0 2 0 0 2 1 0 1 0 0 9 4 11 UOB Buana 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 1 12 BRI 2 0 0 0 0 0 1 2 1 0 2 0 8 4 13 Standard Chartered 2 1 1 1 0 0 3 1 0 1 1 0 11 5 14 CIMB Niaga 3 0 0 2 0 0 2 0 0 0 0 0 7 3 TOTAL 222 100 Keterangan : SID : Sistem Informasi Debitur KK : Kartu Kredit Penyebaran Masalah Kartu Kredit (Bidang Pengaduan YLKI), Periode : Januari 2011 – Desember 2011 NO BANK MASALAH JUMLAH Tagihan Poin Debt Collector Bunga & Denda SID Pemblokiran Informasi & Layanan Kesalahan sistem Pembobolan Pentupan KK yang dipersulit Data Konsumen Re-Schedule % 1 HSBC 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 3 6 9 2 Permata 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 3 5 3 Citibank 5 0 2 1 0 0 2 2 2 1 0 0 15 22 4 Danamon 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 2 6 9 5 BCA 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 4 6 6 BNI 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 3 4 7 Mandiri 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 3 5 7 8 ANZ 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 3 9 Mega 3 0 0 0 0 0 1 0 2 1 0 0 7 10 10 BII 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 3 4 11 UOB Buana 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 3 12 BRI 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2 3 13 Standard Chartered 2 0 3 0 0 0 1 0 0 0 0 0 6 9 14 CIMB Niaga 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 2 4 6 TOTAL 68 100 Keterangan : SID : Sistem Informasi Debitur KK : Kartu Kredit Penyebaran Masalah Kartu Kredit (Bulan Pengaduan YLKI via Website), Periode : 6 Januari 2012 – 6 Februari 2012 NO BANK MASALAH JUMLAH Tagihan Poin Debt Collector Bunga & Denda SID Pemblokiran Informasi & Layanan Kesalahan sistem Pembobolan Pentupan KK yang dipersulit Data Konsumen Re-Schedule % 1 HSBC 3 0 2 2 1 0 0 0 0 0 1 2 11 10 2 Permata 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 4 4 3 Citibank 6 0 0 0 0 0
Tiga hak konsumen sebelum pilih kartu kredit
Jakarta (ANTARA News) -Calon konsumen punya tiga hak sebelum memilih produk-produk lembaga keuangan baik perbankan, asuransi ataupun jasa sewa-pakai (leasing) menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). “Pertama, konsumen harus mendapatkan informasi tentang pilihan produk secara detail,” kata Pengurus YLKI, Sudaryatmo, dalam jumpa pers peringatan Hari Hak Konsumen Sedunia di Jakarta, Kamis. Sudaryatmo mencontohkan konsumen berhak meminta informasi rinci tentang pilihan, jenis, dan jumlah biaya pada produk kartu kredit. “Dalam praktiknya, sejumlah konsumen baru mengetahui detail produk kartu kredit setelah menjadi debitur,” kata pengurus yang menangani bidang keuangan, perumahan, kesehatan, penerbangan, dan perkeretaapian itu. Hak kedua, lanjut Sudaryatmo, adalah keleluasaan konsumen ketika akan pindah ke produk atau layanan lain, seperti produk kartu kredit. “Jika saya pemegang kartu kredit A dan tidak puas dengan layanan dari pihak bank itu, semestinya saya dapat pindah ke produk kartu kredit B dengan mudah,” kata Sudaryatmo. Menurut Sudaryatmo, sejumlah bank yang mempunyai produk kartu kredit di Indonesia cenderung menghambat ketika konsumen akan menutup kartu kredit dengan tidak memberikan informasi rinci. Terakhir, hak untuk memilih. Jumlah penyedia layanan kartu kredit menurut YLKI sudah terlampau banyak karena ada 120 bank. “Monopoli itu tidak memberi hak kepada konsumen untuk memilih, tapi terlalu banyak pilihan juga belum tentu menguntungkan konsumen,” kata Sudaryatmo. (I026) Sumber : antaranews.com
Hari Hak Konsumen Sedunia 2012
Tema untuk hari hak konsumen sedunia (World Consumer Rights Day) 2012 adalah Our money, our rights: campaigning for real choice in financial services. Pada tanggal 15 Maret 2012 gerakan konsumen global akan bersatu untuk menuntut pilihan nyata bagi konsumen. Dalam memimpin hingga hari hak konsumen sedunia, Consumers International (CI) akan bekerja sama dengan para anggotanya untuk mengambil tindakan terhadap masalah ini, dan menyoroti kegiatan di seluruh dunia dengan peta interaktif kami. Pilihan: Hak konsumen mendasar Konsumen di seluruh dunia mendapatkan penawaran yang buruk dari jasa keuangan. Tapi kurangnya persaingan yang efektif di pasar membuat sulit, jika bukan tidak mungkin, bagi mereka untuk berbelanja. Sebagai contoh, konsumen sering mengalami kesulitan memahami produk keuangan yang berbeda, apakah karena kurangnya informasi atau karena produk itu sendiri terlalu rumit, atau keduanya. Selanjutnya, mengubah provider yang berbeda untuk menantang, baik karena proses switching prohibitively rumit, atau hanya karena tidak ada lembaga keuangan yang memadai di pasar bersaing untuk memberikan penawaran yang lebih baik. Seperti berdiri, bank dan penyedia layanan lain tidak memiliki insentif yang kuat untuk menawarkan lebih banyak pilihan dan layanan yang lebih baik, dan konsumen terjebak dalam transaksi yang buruk. Hal ini berlaku untuk segala macam jasa keuangan – dari rekening bank dan pinjaman untuk transfer uang global. Download penjelasan di bawah ini untuk lebih lanjut tentang hambatan untuk pilihan yang dihadapi oleh konsumen, dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan persaingan dalam jasa keuangan. * WCRD 2012 – pengarahan pada persaingan dalam jasa keuangan (bahasa Inggris) Mengambil tindakan Anggota CI seluruh dunia sedang sibuk mempersiapkan berbagai kegiatan untuk menyoroti tema tahun ini. Download 2012 Halaman Anggota WCRD Aksi di bawah ini untuk ide-ide tentang bagaimana untuk memastikan acara Anda sukses. Sebuah peta global aktivitas hak-hak konsumen CI pemetaan kegiatan anggota untuk WCRD 2012 di berbagai negara seperti yang terungkap. Kunjungi peta layanan aktivitas keuangan untuk melihat bagaimana organisasi konsumen menyerukan pilihan nyata di bidang jasa keuangan di seluruh dunia.
G20 dan Perlindungan Konsumen Keuangan
Menjelang pertemuan Menteri Keuangan dan Bank Sentral Anggota G20 tanggal 24-24 Februari yang lalu di Meksiko, YLKI melayangkan surat untuk Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution. Berikut isi surat tersebut. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merupakan organisasi nirlaba yang bergerak dalam perlindungan konsumen. Di antara berbagai komoditas yang ditangani YLKI, sektor keuangan menjadi salah satu prioritas perhatian YLKI. Dari tahun ke tahun, jumlah pengaduan sektor keuangan selalu berada dalam 3 (tiga) besar pengaduan yang diterima YLKI. Seperti halnya tahun 2011 yang lalu, pengaduan sektor keuangan tertinggi dan mencapai lebih dari 20 persen total pengaduan. YLKI juga merupakan anggota Consumers International (CI), federasi organisasi konsumen sedunia yang memiliki 220 anggota dari 115 negara. Perlindungan konsumen sektor keuangan merupakan isu prioritas CI, seperti halnya anggota CI lainnya. Selama 18 bulan terakhir, YLKI turut mendukung kontribusi CI mengembangkan perlindungan konsumen keuangan dalam G20. Deklarasi Cannes yang dihasilkan Pertemuan G20 yang lalu menerima hasil kerja terkait perlindungan konsumen keuangan yang dilakukan OECD dan FSB; meminta komitmen Negara anggota G20 untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip OECD dalam wilayahnya masing-masing dan melaporkan perkembangannya pada pertemuan yang akan datang; serta mengembangkan pedoman-pedoman perlindungan konsumen sesuai kebutuhan. Kami menyambut baik hasil tersebut dan berharap akan terus dilanjutkan oleh G20 di bawah kepemimpinan Meksiko. Kami mencatat bahwa berkas diskusi G20 dari Presiden Meksiko meminta kelompok kerja OECD untuk mengembangkan pedoman perlindungan konsumen serta formalisasi FInCoNet dalam jangka waktu 24 bulan Terkait dua hal di atas, kami ingin menyampaikan pandangan dan rekomendasi sebagai berikut: Penyusunan pedoman OECD tentang Perlindungan Konsumen Keuangan – Jangka waktu 24 bulan untuk penyusunan panduan ini rasanya terlalu lama dan perlu dipersingkat menjadi 12 bulan. Dengan demikian ada kesempatan membuat metodologi penilaian pelaksanaannya dan review dapat dilakukan pada pertemuan G20 di Rusia tahun 2013 yang akan datang. Permintaan agar G20 membahas perlindungan konsumen keuangan telah dibuat pada Pertemuan Tingkat Tinggi G20 di Seoul (Oktober 2010) dan pertemuan tingkat menteri keuangan G20 di Paris (Februari 2011). Kami menyambut baik urgensi yang disampaikan oleh Presiden Perancis untuk melakukannya dalam tahun 2011. Momentum ini perlu dipelihara agar perkembangan upaya meningkatkan perlindungan konsumen keuangan ini dapat terlihat pada akhir tahun 2013. – Prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang disampaikan OECD perlu dilengkapi dengan pedoman-pedoman yang dapat memberikan kejelasan serta uraian lebih lanjut agar stakeholder dapat mengetahui kapan dan bagaimana tindakan yang harus diambil untuk melindungi konsumen sektor keuangan secara efektif. – Kejelasan dan uraian yang diberikan akan membantu pengembangan metodologi yang efektif untuk menilai bagaimana Negara-negara menerapkan prinsip-prinsip ini dalam wilayah yuridiksi masing-masing. Memformalkan FinCoNet Kami juga mendukung formalisasi FinCoNet dan menunggu perannya yang lebih efektif dalam mendukung pengembangan perlindungan konsumen keuangan. Oleh karena itu kami mendesak Bapak Menteri untuk mendukung partisipasi Indonesia dalam jejaring ini. Representasi konsumen dalam OECD dan FinCoNet Organisasi konsumen memiliki pengalaman dan keahlian terkait perlindungan konsumen jasa keuangan, dan dapat berperan dalam mendukung pengembangan area ini. G20 telah berkomitmen untuk melibatkan masyarakat sipil sebagai sarana bertukar informasi dan meningkatkan saling pengertian antara pemerintah dan masyarakat. Kami menyambut baik upaya yang dilakukan oleh OECD dan FSB staf untuk berkonsultasi dengan organisasi konsumen selama 2011. Untuk mendukung dan meningkatkan keterlibatan organisasi konsumen kami meminta: – Nama perwakilan nasional dalam kelompok kerja OECD dapat diakses oleh organisasi konsumen sehingga kami dapat meminta informasi dan berbagi informasi serta menyampaikan pandangan tentang isu-isu yang sedang dibahas. Organisasi-organisasi konsumen dunia memiliki kepedulian yang sama terkait jasa keuangan, termasuk kurangnya panduan konsumen yang independen tentang jasa keuangan, informasi yang terbatas dan tidak jelas, kontrak dan biaya yang tidak berkeadilan, kurangnya kompetisi serta mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Meski upaya G20 tahun lalu cukup baik, masih banyak yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal-hal di atas. Seringkali, isu perlindungan konsumen selalu dikalahkan oleh kepedulian akan stabilitas sistem keuangan. Bagaimanapun, konsumen merupakan jantung dari sistem keuangan dan bagi perekonomian yang lebih luas, konsumen harus memiliki akses terhadap jasa keuangan yang aman, adil dan kompetitif. *** Huzna Zahir, Anggota Pengurus Harian YLKI
Awas Jerat Kredit Konsumsi!
Sebelum memasuki swalayan ternama, Ibu Hindun dicegat oleh sales promotion girls yang menawarkan berbagai peralatan rumah tangga. Hebatnya barang yang ditawarkan selain terbilang modern, juga dengan mudah dapat diperoleh secara kredit. Tertarik dengan penawaran ditambah dengan penawaran mudah, Ibu Hindun memutuskan untuk mengambil kredit barang. Kendati hanya sebuah ilustrasi, namun gambaran diatas menunjukkan bahwa kredit saat ini tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Budaya kredit nampaknya menjadi hal lazim yang bukan lagi dianggap aib. Kredit alias utang yang dulu menjadi simbol ketidakmampuan (baca : kemiskinan) kini justru telah tumbuh subur menjadi salah satu metode untuk mendapatkan barang atau jasa. Jika dulu orang berhutang karena keterpaksaan ekonomi atau menjadi alternatif terbaik diantara terburuk manakala sumber dana lain sudah mengering, saat ini hutang justru menjadi simbol status sosial. Kartu kredit, misalnya, yang sebenarnya “kartu hutang” justru menjadi instrumen finansial mapan dan bergengsi, kaum profesional, dan simbol kesuksesan. Ironisnya, sebagian orang justru setuju dan berlomba-lomba mengejar status sosial ekonomi dengan cara berhutang. Tidak bertepuk sebelah tangan, nafsu konsumtif ini difasilitasi oleh lembaga keuangan maupun perusahaan penydia jasa kredit yang syaratnya ringan, proses cepat, dan angsuran fleksibel. Bermodal kartu tanda penduduk, kartu keluarga, rekening listrik dan slip gaji (untuk pegawai) seseorang suah lolos administrasi untuk mendapatkan kredit yang diinginkan. Pun demikian dengan model angsuran yang bisa disesuaikan berdasar kemampuan konsumen baik dari segi jumlah maupun tenggang waktu. Secara riil, jumlah konsumen yang mengajukan kredit konsumsi memang sulit dihitung. Namun meningkatnya jumlah penghutang dari tahun ke tahun dapat dilihat dari makin banyaknya perusahaan penyedia kredit serta ragam kredit yang ditawarkan. Bunga Tinggi Kemudahan kredit berbanding lurus dengan tingginya bunga. Sebagai contoh di Adira (sumber flyer Adira Kredit) untuk menilai pembiayaan sebuah alat elektronik seharga Rp 4 juta, maka konsumen dikenakan angsuran sebesar Rp 747.000 (waktu 6 bulan), Rp 413.000 (12 bulan), Rp 247.000 (24 bulan). Jika dihitung-hitung bunga yang ditanggung konsumen antara 1,8 hingga 4 peren per bulan dengan perhitungan secara rata-rata. Sementara untuk bunga kartu kredit yang dipatok oleh Bank berkisar 2 hingga 3,5 persen per bulan dengan perhitungan bunga efekif (mengambang) yaitu bunga dihitung dari saldo terakhir, bukan berdasarkan total kredit pembelian. Jadi, pada kartu kredit, kebanyakan nilai pokok pinjaman sebagai dasar pengalihan bunga terus berkurang. Bila dibandingkan dengan kartu krdit memang kredit konsumsi terasa lebih mahal. Namun, bila keinginan sudah membucah, banyak yang tidak peduli dengan beban bunga tinggi. Pertimbangan rasional kadang-kadang terabaikan hanya karena dorongan ego untuk segera memiliki barang sudah tak bisa ditahan. Selain bunga tinggi, konsumen juga mengahadapi resiko lain. Misalnya penarikan barang jika menunggak angsuran dalam waktu tertentu. Praktek-praktek semacam ini yang luput dari perhatian konsumen akibat kondisi psikologis yang telah terbentuk sedemikian rupa ketika dihadapkan pada keinginan memiliki sebuah barang. Dorongan emosional konsumen acapkali diperkuat dengan kemampuan petugas pemasaran yang memikat dalam mengambil keputusan kredit konsumsi. Secara normatif, pembelian dengan kredit memiliki nilai tawar berbeda dengan pembelian kontan. Posisi tawar pembelian kontan jelas lebih tinggi sehingga konsumen tak mudah didekte penjual. Sebaliknya pembelian secara kredit membuka peluang bagi penyedia jasa kredit untuk mengajukan syarat-syarat mengikat. Dalam hal inilah konsumen dituntut lebih kritis dan teliti terhadap informasi kartu konsumsi. Kredit konsumsi memang sebuah dilema. Disatu sisi, nafsu konsumen untuk segera mendapatkan barang sesuai keinginannya segera terpenuhi meskipun dengan uang pas-pasan. Namun, disisi lain kredit konsumsi juga akan menjadi beban tambahan secara finansial bagi konsumen. Dibutuhkan kearifan rasionaltias berpikir konsumen. *** Agus Sujatno, Staff YLKI (Dimuat di Majalah Warta Konsumen)