Telekomunikasi
Posko Peningkatan Pelayanan Internet
Salam sehat selalu… Saat ini YLKI sedang membuka posko *Bulan Pengaduan Konsumen Jasa Telekomunikasi*, khususnya produk Telkom (Indihome). Hal ini dilakukan, dikarenakan tingkat pengaduan konsumen jasa telekomunikasi via YLKI sangat signifikan. Oleh karena itu, jika Anda ada persoalan dan pengaduan terkait hal tsb, silakan mengisi form pengaduan di bawah ini. Setelah pengaduan terkumpul, YLKI akan menindaklanjuti via *Forum Dialog Konsumen*. Kehadiran Anda dalam forum dialog dimaksud sangat kami tunggu. Silahkan isi link berikut; https://docs.google.com/…/1FAIpQLSfsiOSTf16Sc1…/viewform
Siaran Pers: YLKI Apresiasi PT TELKOM Telah Fasilitasi Audisi Badminton di Jabodetabek
Hal ini menjadi bukti, bahwa hilangnya industri rokok pada sponsorship di olahraga, bukan menjadi kiamat bagi dunia olahraga di Indonesia. Jadi klaim bahwa hengkangnya industri rokok dari sponsorship olahraga akan menurunkan prestasi, adalah klaim kosong, tidak terbukti. YLKI – Selain sepak bola, badminton atau bulu tangkis adalah jenis olahraga favorit bagi masyarakat Indonesia. Apalagi atlet atlet badminton Indonesia banyak mendulang prestasi, di level dunia. Terkait hal ini, YLKI memberikan apresiasi pada PT Telkom via Indihome-nya, khususnya Telkom Regional Jabodetanek; yang telah memfasilitasi audisi badminton untuk kalangan remaja di area Jabodetabek. Ini akan menjadi pelecut untuk menggali bibit bibit handal bagi kampiun badminton di Indonesia. Selain itu upaya yang dilakukan PT Telkom menjadi upaya penyelamatan anak anak dan remaja dari ajang promosi industri rokok. Karena sebelumnya, proses rekruitmen dan audisi badminton dilakukan oleh industri rokok ternama di Indonesia. Bagaimanapun audisi badminton yang disokong industri rokok, sekalipun dalam format foundation dari industri rokok, adalah bentuk promosi dari industri rokok khususnya bagi kalangan remaja dan anak anak. Semoga apa yang dilakukan PT Telkom menjadi pemacu bagi pelaku usaha dan BUMN lain untuk melakukan hal yang sama. Bagaimanapun even olahraga yang disponsori oleh industri rokok adalah hal yang kontra produktif. Dan hal ini menjadi bukti, bahwa hilangnya industri rokok pada sponsorship di olahraga, bukan menjadi kiamat bagi dunia olahraga di Indonesia. Jadi klaim bahwa hengkangnya industri rokok dari sponsorship olahraga akan menurunkan prestasi, adalah klaim kosong, tidak terbukti. Bahkan sejatinya PT Telkom semula akan melakukan audisi badminton di level nasional. Tetapi karena sedang pandemi Covid-19, maka dibatasi dulu di level Jabodetabek saja. Demikian Terimkasih Wassalam, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI
Sorotan YLKI: Terkait Pemblokiran IMEI Ponsel, Prioritaskan Perlindungan Konsumen
Setelah mengalami penundaan beberapa lama, akhirnya pemerintah via tiga kementerian akan memberlakukan pemblokiran IMEI telepon seluler ilegal atau black market, per 18 April 2020. Ketiga kementerian itu adalah: Kementerian Kominfo, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Perihal kebijakan pemblokiran IMEI telepon seluler ilegal/black market, catatan YLKI adalah bahwa aksi kebijakan ini harus memprioritaskan aspek perlindungan pada konsumen, bukan semata masalah kerugian negara akibat telepon seluler ilegal tersebut. Sebab aspek perlindungan konsumen pengguna telepon seluler jauh lebih penting daripada kerugian negara. Pemerintah mengklaim bahwa telepon seluler ilegal mencapai 20 persen dari total telepon seluler yang beredar, dan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 2 triliun per tahunnya. Aspek perlindungan dimaksud adalah agar pemerintah juga melakukan upaya penegakan hukum dari sisi hulu, khususnya praktik impor ilegal yang masuk secara gelap ke pasaran Indonesia. Sebab maraknya distribusi telepon seluler black market tersebut, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam upaya penegakan hukum, dan pencegahan agar ponsel BM tidak bisa masuk ke pasar Indonesia. Selain itu, tingkat literasi konsumen terhadap istilah ponsel BM, adalah rendah. Pertanyaannya, kalau BM dan ilegal kenapa dijual secara legal, di tempat legal pula, seperti di mal mal? Apalagi ponsel BM juga masih memberikan jaminan, walau hanya jaminan toko saja. Tetapi bagi konsumen awam hal ini tidak cukup memberikan informasi bahwa ponsel tersebut adalah BM/ilegal. Sebelum dieksekusi pada 18/04/2020, YLKI mendesak agar pemerintah via tiga kementerian tersebut, melakukan sosialisasi masif ke masyarakat terkait pemblokiran IMEI, apa benefitnya bagi konsumen? Pemerintah harus bisa menjelaskan pada masyarakat sebagai konsumen ponsel, apa benefitnya pemblokiran IMEI bagi konsumen, dan apa kerugiannya bagi konsumen jika IMEI ponsel BM/ilegal tidak diblokir. Jangan sampai aksi pemblokiran IMEI hanya karena pemerintah mengejar potensi pendapatan yang hilang, tapi kemudian mengabaikan aspek perlindungan konsumen. YLKI juga menghimbau konsumen saat membeli ponsel baru, pastikan bahwa ponsel tersebut adalah legal. Ciri utama ponsel legal/bukan BM, adalah pada aspek jaminan yang diberikan. Jika jaminan yang diberikan hanya jaminan toko, maka bisa dipastikan bahwa ponsel tersebut adalah ponsel ilegal/BM. Sebab secara regulasi (Permendag) jaminan harus dari produsen secara langsung, bukan hanya jaminan toko saja. Demikian sekelumit catatan YLKI. Wassalam, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI.
Pelajaran atas Pemblokiran Media Sosial
Akhirnya masyarakat Indonesia, khususnya warganet, kembali tersenyum lega setelah tiga hari lamanya dibuat manyun dan gundah gulana akibat pemblokiran media sosial (medsos) oleh pemerintah. Pemerintah dengan jurus mautnya, demi keamanan nasional, memblokir jejaring sosial WhatsApp , Facebook, dan Instagram, khususnya untuk memposting foto dan video. Praktis, akibat pemblokiran itu nyaris aktivitas warganet yang saat ini jumlahnya sekitar 172-jutaan lumpuh. Rupanya pemblokiran itu juga melumpuhkan aktivitas digital ekonomi masyarakat yang saat ini gandrung dengan belanja online atau daring. Secara awam pemblokiran itu bisa dikatakan melanggar hak-hak konsumen dan bahkan melanggar hak publik secara luas. Banyak yang mendalilkan bahwa pemblokiran itu melanggar konstitusi, khususnya melanggar Pasal 28 huruf F Undang-Undang Dasar 1945. Juga dianggap melanggar hak-hak konsumen yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, aksi pemblokiran media sosial oleh pemerintah bisa dipahami mengingat kondisi aktual yang kala itu sudah merongrong keamanan nasional dan negara. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di banyak negara lainnya, khususnya fenomena Arab Spring di Timur Tengah. Aksi pemblokiran itu bahkan bisa dibilang terlambat. Sebab, selama masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) praktis masyarakat Indonesia sudah kadung terbelah, terfragmentasi dalam kelompok-kelompok yang menjurus pada “radikalisasi” terhadap calon presiden pujaannya. Namun, aksi pemerintah memblokir media sosial ini harus menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga masyarakat. Ada beberapa hal krusial yang harus dicermati terkait hal ini. Pertama, bukti bahwa ketergantungan masyarakat terhadap internet dan media sosial sudah sangat tinggi. Bahkan, masyarakat sudah pada level addict, kecanduan terhadap internet dan media sosial. Aktivitas masyarakat nyaris tak bisa dipisahkan dengan media sosial dan instrumen over the top seperti WhatsApp. Jika dirujuk pada data, ini fenomena yang rasional. Sebab, masyarakat Indonesia memang menjadi pengguna media sosial terbesar di dunia seperti Facebook, Twitter, Instragram, dll sehingga sedikit saja ada gangguan kualitas internet dan media sosial, seolah dunia menjadi gelap. Apalagi, sampai diblokir oleh pemerintah seperti pekan lalu, ah, rasanya seperti kiamat saja. Kedua, bukti bahwa internet dan media sosial sudah menjadi salah satu “panglima” di sektor ekonomi, yakni ekonomi yang berbasis digital. Salah satu garda depan wujud digital ekonomi adalah e -commerce alias belanja daring (belanja online ). Akibat pemblokiran itu, aktivitas ekonomi yang berbasis e-commerce praktis lumpuh, karena pihak pedagang atau market place-n ya tidak bisa berkomunikasi interaktif dengan konsumennya. Padahal, selama ini dalam rangka menawarkan produknya, mereka berkomunikasi (berpromosi) dengan konsumennya via gambar/foto dan video yang diposting di laman media sosialnya atau dishare via WhatsApp . Maka, tidak aneh jika selama tiga hari masa pemblokiran itu asosiasi pedagang online mengaku terpukul berat, menderita kerugian sebesar Rp628 miliar per hari! Bisa dibayangkan dampaknya jika pemblokiran itu sampai berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan diblokir selamanya seperti kasus di Negeri Tirai Bambu China. Ketiga, akhir-akhir ini, yang tak bisa dilepaskan dari pilpres dan pemilihan anggota legislatif (pileg) adalah maraknya berita bohong (hoaks), berita fitnah yang menjurus pada aksi provokatif. Ini memang sangat marak dan sangat meresahkan. Setiap detik berseliweran berita bohong seputar politik, agama, bahkan kesehatan. Kuatnya distribusi hoaks tak bisa dilepaskan oleh masih rendahnya literasi digital masyarakat. Ini sejatinya hal yang ironis di tengah derasnya gempuran era digital, tetapi literasi digital masyarakat Indonesia masih jauh dari memadai. Akibat masih rendahnya literasi digital ini, masyarakat sulit (dan juga malas) membedakan mana berita faktual dan mana berita palsu, bohong alias hoaks. Dan, lebih celaka lagi, rendahnya literasi digital tak bisa dipisahkan dengan kenyataan masih sangat rendahnya literasi masyarakat Indonesia dalam membaca buku. Terbukti, menurut data PBB, literasi membaca buku masyarakat Indonesia terendah kedua di dunia dengan skor 1:1.000. Artinya, dari seribu orang Indonesia yang aktif membaca buku, hanya satu orang! Maka, pantaslah jika mayoritas masyarakat begitu memercayai sebuah berita digital. Rata-rata hanya membaca judulnya, tanpa mencerna substansinya, atau mencari sumber berita yang lainnya, dan kemudian langsung menshare ke pihak lainnya. Hebohlah berita tersebut dan menjadi viral. Seperti dugaan adanya polisi asing (dari China) yang terbukti hoaks. Sebab, polisi yang bersangkutan ternyata berkewarganegaraan Indonesia, asli dari Manado. Lalu, langkah apa yang harus diperbaiki dan diantisipasi untuk ke depannya agar aksi pemblokiran tidak terulang? Kita berharap bahwa aksi pemblokiran oleh pemerintah terhadap media sosial adalah pertama kali dan terakhir (tak perlu terulang). Sebab, bagaimanapun, aksi pemblokiran itu terbukti sangat kontra produktif dan menjadi preseden buruk. Oleh karena itu, pemerintah harus secara jelas dan terukur membuat parameter tentang kondisi darurat plus melakukan mitigasinya. Sebab, pascapemblokiran, masyarakat langsung bermanuver menggunakan akses lainnya untuk tetap menghidupkan medsosnya, yakni dengan menggunakan akses VPN (virtual private number), khususnya VPN gratisan. Penggunaan VPN, selain membuat aksi pemblokiran kurang efektif, juga terbukti membahayakan konsumennya, terutama terkait penjebolan data pribadi bahkan akun bank miliknya. Seharusnya, saat melakukan pemblokiran, pemerintah juga memberikan public warning perihal sisi bahaya jika masyarakat bermigrasi ke akses VPN. Dan, terbukti beberapa hari setelah menggunakan VPN banyak konsumen mengeluh bahwa akun banknya dijebol. Isi rekeningnya menjadi nol, kosong melompong. Dan, bagaimanapun, benteng terakhir untuk melawan fenomena berita bohong, berita palsu, fitnah, dan sejenisnya adalah meningkatkan literasi digital masyarakat. Tanpa ada upaya serius dan sistematis untuk meningkatkan literasi digital ini maka fenomena hoaks akan terus marak dan menjadi dagangan yang amat menggiurkan bagi oknum-oknum tertentu. Akibatnya, masyarakat akan semakin bodoh dan gampang dibodohi oleh berita hoaks itu. Pemerintah dan masyarakat punya andil besar untuk mewujudkan ruang cyber yang sehat dan mencerdaskan tanpa kontaminasi berita hoaks, palsu, fitnah, dan sejenisnya. Sebersih dan sesegar udara pegunungan yang nyaris tanpa polusi. Artikel ini pertama kali tayang di SINDONEWS.com Senin, 27 Mei 2019 – 08:31 WIB TULUS ABADI KETUA YLKI
Catatan Perlindungan Konsumen 2018 (edisi 1): Ekonomi Digital dan Marginalisasi Hak Konsumen
Pada 2019 fenomena ekonomi digital makin terasa. Menembus ruang dan waktu. Hampir semua sisi ekonomi mikro tersentuh ekonomi digital ini. Konsumen pun sebagai pengguna akhir ekonomi digital, dengan berbagai turunannya, makin gandrung dibuatnya. Harus diakui, kehadiran dan eksistensi ekonomi digital makin membuat aktivitas konsumen makin mudah, murah, efisien, dan ekonomis. Oleh karena itulah, ekonomi digital telah memberikan kontribusi ekonomi makro secara signifikan. Diprediksi pada 2025 nanti, ekonomi digital akan berkontribusi pada PDB mencapai Rp730 triliun. Menurut Google Temasek Economy SEA, Indonesia menjadi negara tercepat dan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara. Fenomena ekonomi digital, yang pada titik tertentu merupakan wujud disruptif ekonomi; adalah sebuah fenomena yang tak bisa dihindari. Selain itu, mempunyai lompatan positif untuk peradaban manusia secara keseluruhan dan pada sisi mikro membuat aktivitas kehidupan manusia semakin mudah, murah, dan cepat. Namun, ironisnya, pada konteks perlindungan konsumen, negara belum terlalu hadir. Negara tampak terbius dengan pertumbuhan ekonomi digital, tetapi terlena dengan aspek perlindungan konsumen, yang jelas-jelas merupakan entitas utama dalam ekonomi digital ini. Dalam aktivitas keseharian ekonomi digital berupa transaksi belanja online (e-commerce), transportasi online, dan finansial teknologi, berupa pinjaman online. Pada tataran ini masih terjadi berbagai paradoks, yakni; Pertama, masih rendahnya literasi digital konsumen. Padahal, transaksi ekonomi digital mensyaratkan literasi yang tinggi pada konsumen. Yakni kemampuan konsumen yang handal terkait sisi teknologi digital, dan atau kemampuan membaca berbagai persyaratan teknis sebelum transaksi dilakukan. Juga prinsip kehati-hatian konsumen terhadap data pribadi, mulai alamat email, alamat rumah, alamat kontak telepon, photo pribadi, dan video. Terhadap kehati-hatian perlindungan data pribadi, konsumen juga masih rendah. Rendahnya literasi digital ini, akan berdampak terhadap berbagai persoalan yang ending-nya merugikan konsumen. Hal ini terbukti, data Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, pengaduan yang terkait ekonomi digital menduduki rangking pertama, selama 3 (tiga) tahun terakhir, berkisar 16-20 persen dari total komoditas pengaduan yang diterima YLKI. Pengaduan itu berupa transaksi produk e-commerce, dan atau pinjaman online. Kedua, masih lemahnya pengawasan oleh pemerintah. Manakala nilai transaksi terus meningkat, tetapi pengawasan yang dilakukan pemerintah masih sangat lemah. Untuk pinjaman online, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) nampak masih gagap, baik dalam membuat regulasi, pengawasan dan atau sanksinya. Pelaku pinjaman online yang terdaftar di OJK hanya 72 saja, tetapi di lapangan yang beroperasi mencapai lebih dari 350-an, kenapa dibiarkan? Padahal mereka adalah ilegal, OJK bisa langsung bersinergi dengan Satgas Waspada Investasi dan Kementerian Kominfo, untuk langsung memblokir pinjaman online yang ilegal tapi masih bergentayangan. Demikian juga dalam hal belanja online, e-commerce. Transaksi antara konsumen dengan pedagang berjalan tanpa pengawasan oleh regulator. Padahal potensi pelanggaran hak konsumen sangat besar. Terbukti, menurut data 24 persen uang konsumen hilang dalam transaksi tersebut, alias terjebak aksi transaksi penipuan. Belum lagi pengaduan seperti barang yang diterima konsumen rusak, tidak sesuai, atau terlambat dalam pengiriman. Ketiga, masih lemahnya regulasi. Aneh bin ajaib, jika sampai sekarang belanja online belum ditopang dengan regulasi yang memadai. Mulai belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi, sampai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, sampai sekarang masih tersimpan di laci Sekretariat Negara. Alias mangkrak! Padahal transaksi e-commerce saat Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional), angka pertumbuhannya melompat sampai dua digit! Jika Harbolnas 2012 angkanya hanya mencapai Rp67,5 miliar; maka pada 2017 melambung menjadi Rp4,7 triliun. Hanya sektor transportasi online dan finansial teknologi (fintek) yang regulasinya lumayan bagus, walau dalam pengawasan masih kedodoran, alias memble. Terbukti pelanggaran hak konsumen taksi online, dan juga ojeg lain, masih sangat masif. Berdasar survei YLKI (Sept 2016), 45 persen konsumen transportasi online pernah dikecewakan. Bahkan kini terbukti, transportasi online tidak senyaman dan tidak seaman yang dibayangkan sebelumnya. Berbagai kriminalitas, termasuk pembunuhan, beberapa kali terjadi di angkutan online. Dan korban utamanya adalah konsumen. Di sisi yang lain, driver angkutan juga hanya menjadi korban eksploitasi para kapitalis yang bercokol di angkutan online. Pelanggaran hak konsumen yang tak kalah sadisnya adalah sektor finansial teknologi, dengan Peer to Peer Landing, alias pinjaman online. Level keluhan pinjaman online bukan sekadar gangguan kenyaman saja, tapi sudah menembus ancaman keamanan dan keselamatan konsumen, dan berpotensi melanggar HAM konsumen. Dengan beberapa konfigurasi persoalan tersebut, maka seharusnya ada upaya sistematis dan komprehensif untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen sebagai pengguna produk digital ekonomi. Pemerintah dan pelaku usaha punya tanggungjawab untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen, melalui edukasi masif. Tanpa ada peningkatan literasi digital masyarakat maka potensi masyarakat menjadi korban semakin besar. Baik karena ada penyalahgunaan data pribadi dan atau korban material lain yang dialami konsumen, seperti penipuan dan atau korban dari sisi pelayanan. Berikutnya mendesak pemerintah untuk segera mensahkan RUU Perlindungan Data Pribadi dan RPP tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Sungguh ironis manakala antusiasme masyarakat dalam transaksi belanja elektronik dan artinya begitu besar potensi ekonominya, tetapi tidak ada regulasi yang memayungi konsumen, khususnya untuk perlindungan konsumen. Hal ini mengakibatkan pelanggaran hak-hak konsumen kian besar dan lebar, salah satunya pelanggaran penyalahgunaan data pribadi. Regulasi yang ada, terutama UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tak mampu meng-cover dan perlindungan dan permasalahan transaksi belanja elektronik. Oleh karena itu, keberadaan RUU Perlindungan Data Pribadi dan atau RPP dimaksud sangat mendesak untuk segera disahkan menjadi UU dan PP. Pemerintah jangan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak konsumen saat melakukan transaksi, baik saat belanja elektronik, transportasi online, dan jasa-jasa lainnya. Sekali lagi, digital ekonomi adalah suatu keniscayaan. Memberikan berbagai kemanfaatan baik bagi semua pihak. Namun perlindungan konsumen harus menjadi prioritas. Negara harus hadir dalam arti yang sesungguhnya, yakni membuat kebijakan dan regulasi untuk melindungi konsumen. Negara tidak boleh melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak konsumen oleh produk ekonomi digital. ** . * Jakarta, 21 Desember 2018 Wassalam, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI _____ Note: Akses pengaduan dan informasi ke YLKI, silakan via : www.pelayanan.ylki.or.id. Telepon 021.797.1378.
Harpelnas dan Menyorot Performa Indihome
“Hari Pelanggan Nasional” (Harpelnas), itulah kredo setiap tanggal 4 September. Harpelnas lahir pada 2003, pada era Presiden Megawati Soekarno Putri. Pada konteks perlindungan konsumen spirit Harpelnas sangat sejalan dengan substansi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kali ini saya akan menyorot Harpelnas dalam konteks telekomunikasi, khususnya masalah Indihome, produk dari PT Telkom, yang makin banyak digandrungi konsumen, di tengah maraknya penggunaan internet oleh masyarakat. Internet, sepertinya menjadi komoditas yang lebih penting bagi masyarakat Indonesia, dibanding semmbilan kebutuhan pokok sekalipun. Merujuk pada hasil survei AC Nielsen beberapa tahun silam, bahwa masyarakat Indonesia lebih memilih mengurangi kualitas belanja dapurnya daripada mengurangi belanja telekomunikasinya. Fenomena ini bisa kita maknai secara positif, dan juga negatif. Yang pasti fenomena ini menjadi santapan empuk operator telekomunikasi, tak terkecuali PT Telkom, dengan Indihome-nya. Kini tak kurang dari 132 jutaan pengguna internet aktif di Indonesia, dengan penetrasi pasar sekitar 51 persen. Dari 132 jutaan itu, lebih dari 92 jutaan berbasis internet nirkabel (mobile internet), dan sisanya berbasis kabel fiber optik (broadband). Dan ceruk pasar inilah yang menjadi bidikan Indihome, selaku produk unggulan Telkom, yang kini pelanggannya mencapai 4,5 jutaan. Telkom menargetkan 5,2 juta pelanggan pada 2020. Relevan dengan momen “Hari Pelanggan Nasional” (Harpelnas) tersebut, kita patut menyorot performa Indihome, sebagai produk Telkom (BUMN) yang sangat strategis menjadi “Jembatan Nusantara” untuk sektor telekomunikasi, manakala operator telekomunikasi lain hanya berkecimpung di perkotaan. Lalu apa saja tantangan-tantangannya? Aspek infrastruktur Keandalan infrastruktur telekomunikasi menjadi prasyarat utama untuk meningkatkan keseluruhan performa pelayanan pada konsumen. Tanpa infrastruktur yang handal, mustahil akan memberikan pelayanan terbaiknya pada pelanggannya. Dalam hal ini PT Telkom terlihat sangat progresif, terbukti guna mewujudkan kualitas koneksi dan kecepatan internetnya, secara dominan telah berbasis fiber optik. Dalam skala nasional reratanya mencapai 75-85 persen jaringan kabelnya telah ditopang dengan fiber optik. Dan ditargetkan sebelum 2020 akan tercover 100 persen menggunakan fiber optik. Sisanya, untuk menuju 2020 itu masih mengunakan kabel tembaga (copper). Tentu saja, kualitas kabel tembaga sangat jauh dibanding fiber optik. Tidak heran jika pengguna telepon apalagi internet akan banyak mengeluh jika akses kabel distribusinya masih menggunakan tembaga. Sebelum memasang Indihome, sebaiknya konsumen mencari tahu/diberi tahu apakah jaringan kabel di rumahnya sudah menggunakan fiber optik atau masih berbasis kabel tembaga. Sebab faktanya jika masih berbasis tembaga maka gangguan demi gangguan tidak bisa dihindari. Aspek geografis Ini tantangan yang tak kalah beratnya, bahkan sangat berat. Namun fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 13.000 ribu gugusan pulau, menjadi tantangan yang maha berat untuk mewujudkan infrastruktur telekomunikasi yang handal. Sebagai contoh, guna mengoneksikan jaringan kabel antar Pulau, maka harus dibangun jaringan kabel laut, yang saat ini panjang jaringan kabel laut yang dibangun PT Telkom telah mencapai 100.000 km! Atau setara dengan 2,5 kali lingkar bumi! Tingkat kesulitan untuk menyambung jaringan kabel laut ini bukan saja saat membangun saja, tetapi setelah kabel terbangun pun tidak sepi dari kendala, bahkan ancaman. Mulai ancaman alam, seperti gempa bumi, batu karang atau bahkan gunung api di bawah laut. Juga ancaman dari lalu lintas kapal, terutama saat kapal melempar jangkarnya (anchor) ke laut. Nah yang paling tragis adalah manakala jaringan kabel laut itu mengalami gangguan karena ulah oknum manusia (pencurian kabel). Empat bulan lalu, sebagai contoh, jaringan kabel laut di Papua putus. Dan dampaknya kualitas komunikasi internet di Papua endut-endutan, karena hanya mengandalkan back up dari sistem satelit. Dan kita patut berbangga, beberapa minggu lalu PT Telkom telah meluncurkan kembali satelit Merah Putih dari Cape Canaveral, California, Amerika Serikat. Satelit ini juga dalam rangka mewujudkan infrastruktur yang handal, dan terintegrasi. Selain juga untuk mengatasi/memback up betapa sulitnya sisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Oleh karenanya, hampir semua operator telekomunikasi malas membangun jaringan infrastrukturnya di daerah isolated area, seperti area tertluar, tertinggal dan terdepan Indonesia. Daerah dan area tersebut dianggap tak bernilai ekonomi, di satu sisi, dan di sisi lain cost production-nya sangat tinggi. Tetapi uniknya, PT Telkom dan Telkomsel mencoba membangun Indonesia dari pinggiran Indonesia. Sementara operator lain lebih asyik menambang uang di area perkotaan, di Pulau Jawa, dan kota-kota besar di Indonesia. Aspek perilaku konsumen Perilaku Indonesia tampak mengalami “anomali”. Misalnya, beberapa konsumen masih kekeuh ingin jaringan kabelnya tetap menggunakan tembaga, bukan fiber optik. Hanya karena kalau berbasis fiber optik jika aliran listrik mati, maka telepon di rumahnya mati. Benar ini hal yang terjadi, manakala listrik mati, telepon/internet di rumah konsumen mati. Walau faktanya telepon rumah (fix phone) nyaris tak ada gunanya lagi. Ada tapi tidak berfungsi. Sebab mayoritas konsumen sudah menggunakan telepon seluler, yang kini jumlahnya mencapai 372 juta unit. Atau 142 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, setiap orang di Indonesia, memiliki lebih dari satu handphone. Jadi telepon rumah faktanya hanya sebagai pajangan saja. Aspek Kompetisi Dan tantangan lain adalah aspek kompetisi, persaingan. Idealnya kompetisi akan berdampak positif pada konsumen. Karena dengan kompetisi konsumen akan mendapatkan suatu pilihan produk jasa telekomunikasi yang bervariasi, punya pilihan banyak, dan bisa mendapatkan tarif/harga telekomunikasi yang lebih efisien, murah. Namun hal itu dengan syarat, kompetisinya berjalan sehat dan transparan. Plus badan regulatornya punya gigi. Ada dugaan kuat kompetisi di sektor telekomunikasi sudah sangat tidak sehat, sangat liar. Perang tarif antar operator tak bisa dihindarkan. Masing-masing operator berlomba menawarkan tarif atau paket internet yang (seolah-olah) murah. Padahal yang ditawarkan adalah jebakan batman belaka. Ironisnya, BRTI (Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia) tampak cemen, tidak tegas dalam hal ini. Persaingan antar telekomunikasi yang saling kanibalistik dibiarkan begitu saja. Kesimpulan, saran Pada akhirnya, merujuk sebuah survei (2017), lebih dari 90 persen pelanggan Indihome tidak akan berpindah ke lain hati. Alias tidak akan berpindah ke operator telekomunikasi lain. Fenomena ini jelas amat positif bagi eksistensi Indihome. Namun demikian, managemen Indihome tak boleh menepuk dada terlebih dahulu. Tugas pelaku usaha bukan hanya memuaskan konsumennya, dari sisi pelayanan. Benar, berbagai upaya after sales service terus ditingkatkan, seperti penyelesaian gangguan yang semula 19,5 jam; kini menjadi 10,6 jam. Dan targetnya akan selesai dalam tiga jam. Tentu hal ini harus kita apresiasi. Namun, lebih dari itu, dalam konteks Harpelnas dan UU Perlindungan Konsumen, maka pekerjaan rumah PT Telkom adalah bagaimana managemen Indihome konsisten untuk melakukan edukasi dan pemberdayaan konsumen, terutama
Siaran Pers YLKI: Perhatikan Keandalan Telekomunikasi Selama Lebaran
Sebagaimana sektor transportasi, selama arus mudik Lebaran, sektor telekomunikasi juga akan mengalami lonjakan komunikasi yang sangat signifikan. Bahkan akan mengalami heavy traffic di banyak titik mudik Lebaran. Oleh karena itu, demi kenyamanan dalam bertelekomunikasi YLKI minta operator telekomunikasi untuk menjaga keandalannya, seperti memperbaiki/menambah kapasitas infrastrukturnya, misalnya BTS, dll. Khususnya di daerah/lokasi yang jumlah lonjakan pemudiknya paling tinggi, atau tempat-tempat wisata populer yang banyak menyedot pengunjung. Selama arus mudik Lebaran, gangguan komunikasi yang dominan dialami konsumen adalah koneksi internet lambat, atau bahkan putus sambung, sehingga pesan data terkirim tapi delay atau bahkan gagal/tidak terkirim. Demikian juga komunikasi via voice dan juga via pesan pendek, sms. YLKI minta Kementerian Kominfo dan BRTI meningkatkan pengawasannya, guna memonitor performa kinerja operator telekomunikasi. Jangan sampai selama mudik Lebaran konsumen mengeluarkan banyak dana untuk konsumsi telekomunikasi, tapi dirugikan karena kualitasnya jelek. Demikian. Terima kasih. Selamat puasa Ramadhan. Wassalaam, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI Seluler: 0811-195-030
Pernyataan Pers YLKI: Stop Konten Porno di Emoticon Whatsapp
YLKI baru-baru ini banyak menerima pengaduan dari konsumen terkait adanya konten bernuansa pornografi di emoticon whatsapp. Setelah YLKI melalukan recheck terkait hal tersebut, benar adanya konten bernuansa pornografi di emoticon whatsapp, baik dengan ilustrasi manusia, binatang, boneka teletubbies, kartun, dll. Ini jelas sangat tidak positif untuk kebutuhan konsumen anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, YLKI: 1. Mendesak Kementerian Kominfo untuk menstop konten pornografi di emoticon whatsapp tersebut; 2. YLKI juga mendesak managemen whatsapp untuk mengubah dan memperbaiki konten dimaksud; 3. Meminta kalangan orang tua untuk mewaspadai penggunaan smartphone pada anak-anaknya agar tidak terpapar konten pornografi tersebut. Demikian. Terima kasih. Wassalam, Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian YLKI
Siaran Pers: YLKI Mendesak Komisi Penyiaran Indonesia Melarang Iklan Rokok di Televisi Selama Bulan Ramadhan
Di akhir Mei 2017, terdapat dua momen penting, pertama puasa Ramadlan, yang diperkirakan akan dimulai pada 27 Mei, dan kedua, adalah HTTS atau Hari Tanpa Tembakau Se Dunia, yang rutin diperingati pada 31 Mei. Relevansi terhadap dua momen ini, YLKI mendesak KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk mengeluarkan larangan iklan rokok di televisi selama bulan Ramadlan. Kenapa dengan iklan rokok? Saat ini di seluruh dunia, iklan, promosi dan sponsor iklan rokok sudah dilarang total, di semua lini media. Sebagai contoh, di Eropa Barat iklan rokok telah dilarang sejak 1960. Dan di Amerika Serikat iklan rokok telah dilarang sejak 1973. Demikian juga di negara-negara penghasil tembakau/rokok terbesar di dunia, seperti China, India, Brasil, Bangladesh, Jepang; pun iklan/promosi rokok telah dilarang. Terutama setelah negaranya meratifikasi/mengaksesi FCTC. Di Israel pun iklan rokok dilarang. Hanya di Indonesia, iklan/promosi rokok masih menjamur di semua lini media. Saat ini, Indonesia satu-satunya negara di dunia yang masih melegalkan iklan rokok di televisi; Banyak anak-anak dan remaja yang menonton televisi saat iklan rokok ditayangkan, khususnya pada saat makan sahur. Secara regulasi, memang tidak melanggar, karena iklan rokok boleh ditayangkan mulai jam 21.30-05.00 waktu setempat. Pengaturan itu dengan asumsi agar iklan rokok tidak dilihat oleh anak-anak, karena sudah pada tidur. Namun, karena harus bangun pada saat makan sahur, mereka akhirnya terpapar iklan rokok yang ditayangkan pada jam santap sahur itu. Bahkan produsen rokok segaja membombardir iklan rokok pada saat makan sahur, dengan menjadikan anak-anak sebagai target utama. Ini hal yang tragis! Industri rokok juga melakukan iklan/promosi terselubung pada jam-jam prime time (misalnya menjelang buka puasa), dengan dalih iklan korporat, bukan iklan produk. Ini jelas bentuk pengelabuhan pada publik. Sebab nama perusahaan rokok di Indonesia sama dengan nama merek produknya. Mengiklankan iklan rokok dan menjadi sponsor acara keagamaan di televisi juga sebuah tindakan yang tidak etis. Sudah terbukti merokok bukan tindakan positif, bahkan sebagian diharamkan, tetapi malah mensponsori program di bulan suci. YLKI meminta para ustadz–yang menjadi pengasuh acara di televisi saat Ramadlan, untuk menolak jika acara tersebut disponsori rokok, baik secara terang-terangan atau terselubung. Selain mematuhi regulasi, seharusnya industri rokok juga menjunjung etika dalam berbisnis dan memasarkan produk rokoknya. Bukan hanya mengeruk untung lewat racun adiksi pada rokok yang dipasarkan itu.