Harga Batubara Acuan (HBA)

Siaran Pers YLKI:  “PEMERINTAH DIDESAK UNTUK INTERVENSI HARGA ENERGI PRIMER GUNA MEWUJUDKAN TARIF LISTRIK YANG WAJAR”

by admin • February 26, 2018

Guna menyikapi dinamika sektor ketenagalistrikan yang begitu cepat, khususnya di sisi hulu, YLKI meresponnya dengan mengadakan Fokus Group Diskusi (FGD) dengan tema “Mendorong Tarif Listrik Murah, Transparan, dan Efisien”. FGD diselenggarakan pada hari Selasa, 13 Februari 2018; bertempat di Hotel Ambhara, Jl. Iskandarsyah, Blok M, Jakarta Selatan. FDG dihadiri oleh sekitar 30 orang peserta, dengan komposisi sebagai nara sumber, pembahas, dan peserta aktif. Narasumber FGD adalah: Prof. Dr. Tumiran, M.ENG-Anggota Dewan Energi Nasional dan Guru Besar Teknik Elektro UGM, IR. Djisman Hutajulu-Direktur Harga Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Iwan Supangat-Direktur Pengadaan PT PLN, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi. FGD dimoderatori oleh Sdr. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. Selain nara sumber, FGD juga dihadiri oleh pembahas utama, yakni DR. Fahmi Radhi-ahli ekonomi energi UGM, DR. Marwan Batubara-Direktur IRESS, DR. Defian Cori-ekonom konstitusi, dan Ahmad Heri Firdaus dari INDEF. Sedangkan unsur kementerian hadir Ibu Mariatul Aini Direktur PNBP Kementerian Keuangan, dan Agus Suharyono-Asisten Deputi Energi Kementerian BUMN. Sangat disayangkan, unsur Komisi VII DPR tidak hadir, dan Dirjen Minerba–sebagai salah satu narasumber kunci, sama sekali tidak bisa dikonfirmasi kehadirannya, dan tidak mengirimkan wakilnya. Peserta aktif lainnya, antara lain Dekan FH UPN Veteran, Dekan FH Universitas Al Azhar, akademisi dari FE UNJ, perwakilan PKK Provinsi DKI Jakarta, perwakilan konsumen, pemerhati konsumen, dan beberapa jurnalis. Adapun pokok-pokok pikiran yang dihasilkan dalam FGD dimaksud, antara lain: 1. Konsumen berhak atas tarif listrik yang wajar; sebagaimana dijamin dalam UU Ketenagalistrikan. Dalam perspektif konsumen tarif listrik yang wajar minimal bertumpu pada dua aspek yakni aspek afordabilitas/kemampuan membayar/ability to pay/purchasing power, dan juga aspek willingness to pay, terkait kualitas pelayanan operator. Sementara itu kewajaran tarif listrik juga harus memperhatikan kepentingan operator. Kewajaran tarif sesuai Biaya Pokok Penyediaan (BPP) akan menjaga keberlanjutan operator listrik (PT PLN); 2. Wacana reformulasi tarif listrik dengan memasukkan Harga Batubara Acuan (HBA) adalah sesuatu yang sangat membahayakan, jika HBA masih mengacu pada harga internasional. Memasukkan HBA ke dalam elemen tarif bisa dipahami jika pemerintah bisa mengendalikan/menentukan HBA berbasis nasional, bukan berbasis internasional. Memasukkan HBA sangat berisiko baik bagi konsumen dan atau operator (PT PLN) jika pemerintah tidak mampu mengendalikan harga batubara DMO; 3. FGD menyimpulkan dan meminta agar pemerintah melakukan intervensi harga batubara, demi kepentingan sektor ketenagalistrikan dan bahkan kepentingan nasional. Untuk komoditas batubara DMO, pemerintah bisa menentukan HBA berdasar floor price (tarif bawah) dan atau ceiling price, tarif batas atas. Intinya harus ada benchmarking yang jelas. Sangat tidak mungkin jika di sisi hilir (tarif listrik) bersifat fully regulated tetapi dari sisi hulu sangat dinamis dan liberal. Pemerintah bisa mencontoh Afrika Selatan, yang memberikan harga khusus untuk DMO batubara, dan mengikuti harga internasional untuk ekspor. 4. Pemerintah diminta dengan sangat untuk menjaga keberpihakannya pada BUMN, seperti pada PT PLN dan PT Pertamina, karena hal ini merupakan wujud nyata pengejawantahan Pasal 33 UUD 1945. Misi BUMN selain untuk melayani masyarakat (public services), juga berorientasi mencari keuntungan (yang wajar). Pemerintah harus menjaga BUMN dari ancaman kebangkrutan akibat kebijakan yang tidak jelas, inkonsisten dan saling tumpang tindih. 5. Secara managerial PT PLN dituntut untuk lebih efisien lagi. Jangan kalah dengan tingkat efisiensi yang dicapai oleh TNB Malaysia, atau perusahaan listrik negara di Korea (data 2014). PT PLN diminta mengupdate kepada publik terkait capaian efisiensi, terutama parameter efisiensi dari lembaga pemberi rating berskala internasional. 6. Reformasi tarif listrik yang berbasis tarif adjusmen (tarif otomatis) sejak 2014, dan juga implementasi subsidi listrik tepat sasaran pada golongan 900 VA, telah berkontribusi signifikan pada laju inflasi. Bahkan menurut analisis BPS (2017), tarif listrik berkontribusi paling dominan pada laju inflasi yakni 0,81 persen. Oleh karena itu implikasi terhadap gonjang ganjing harga batubara, jangan sampai berwacana untuk menaikkan tarif listrik karena akan memukul daya beli konsumen. Yang harus dilakukan pemerintah adalah intervensi harga di sisi hulu, bukan di sisi hilir. 7. Last but not least, PT PLN dituntut untuk terus meningkatkan pelayanannya. Sebab hingga detik ini pelayanan PT PLN masih banyak dikeluhkan. Bahkan pada 2017 keluhan konsumen terhadap PT PLN menduduki rangking lima besar (6 persen) dari total pengaduan konsumen di YLKI. Demikian beberapa pokok pikiran utama FGD. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi pemerintah untuk mewujudkan sektor ketenagalistrikan yang lebih berpihak pada kepentingan konsumen, kepentingan operator dan bahkan kepentingan nasional. Jakarta, 14 Februari 2018 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian YLKI


Siaran Pers YLKI: DENGAN BATUBARA, TARIF LISTRIK HARUS LEBIH MURAH

by admin • January 31, 2018

Belum tuntas perihal wacana penyederhanaan tarif listrik, Menteri ESDM kembali menelorkan wacana akan mengubah struktur tarif listrik, dengan memasukkan HBA (Harga Batubara Acuan), untuk menggantikan acuan komponen minyak. Alasannya, struktur tarif listrik sekarang lebih dominan dipengaruhi oleh harga batu bara. Sedangkan kontribusi pembangkit minyak semakin kecil, yakni hanya 6 (enam) persen. Pertanyaannya, apakah hal yang rasional jika Menteri ESDM memasukkan HBA ke dalam struktur tarif? Tentu saja itu hal yang rasional, mengingat komponen pembangkit batubara yang mencapai lebih dari 60 persen. Masalahnya, apa tujuan utama Menteri ESDM dengan hal itu? Jika perubahan struktur tarif itu tidak berimplikasi terhadap turunnya tarif listrik, ya sami mawon…alias tidak ada manfaatnya bagi konsumen. Sebab dengan dominannya pembangkit batubara maka seharusnya struktur tarif listrik lebih ramping, lebih efisien dan akhirnya bisa menurunkan BPP (Biaya Pokok Penyediaan) listrik. Maka idealnya jika Menteri ESDM ingin memasukkan HBA ke dalam struktur tarif menggantikan komponen ICP (Indonesian Crude Price) minyak, maka harus menggunakan HBA nasional, bukan HBA internasional. Mengingat Indonesia adalah eksportir batubara terbesar di dunia, tidak adil jika untuk menetapkan tarif listrik menggunakan HBA internasional. Sebaliknya, adalah rasional jika pemerintah menggunakan harga acuan ICP minyak untuk menetapkan tarif listrik, karena Indonesia adalah nett importer minyak. Bahkan pemerintah Indonesia harus berani melakukan moratorium ekspor batubara, atau bahkan menghentikannya. Pasalnya, cadangan batubara Indonesia hanya 2 (dua) persen dari cadangan dunia, tetapi menjadi eksportir terbesar di dunia. Sebaliknya, China dan India yang cadangan batubaranya terbesar di dunia, tidak melakukan ekspor batubara. China justru mengimpor batu bara dari Indonesia, dengan kualitas kalori yang lebih baik. Sedangkan pembangkit listrik di Indonesia justru dipasok dengan batubara muda, dengan kandungan kalori yang rendah. Pemerintah Indonesia harus mengutamakan pasokan batubara untuk kebutuhan nasional, bukan untuk kebutuhan internasional (dieskpor). Terakhir, Kementerian ESDM harus mampu mewujudkan pembangkit batu bara dengan teknologi yang bisa menghasilkan energi batubara yang ramah lingkungan; sebagaimana pembangkit batubara di Ninghai-China, yang mengklaim “near zero emmission”. Mengingat dampak emisi batubara sangat korosif bagi lingkungan global (perubahan iklim). Demikian sekelumit tanggapan atas wacana perubahan struktur tarif listrik oleh Menteri ESDM. Terima kasih. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi