Kawasan Tanpa Rokok
YLKI: Selamatkan Perokok Pasif dan Urgensi “Peta Kanker”
Putra terbaik bangsa Indonesia terus bertumbangan karena kanker. Kali ini menimpa Kepala Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, yang meninggal di Guangzhou China (07/07/19), karena terjerat kanker paru stadium empat. Almarhum divonis kanker paru, sejak awal 2017. Pergulatan melawan kanker berakhir hingga sel sel kanker menggerogoti seluruh tubuh almarhum. Padahal almarhum mengaku menjaga perilaku hidup sehat, dan tentu saja tidak merokok. Namun almarhum juga mengaku bahwa dirinya hidup dalam lingkungan kerja yang penuh asap rokok, dan tidak bisa menghindar karenanya. Alias, berposisi sebagai perokok pasif (passive smoker). Dalam hal sebagai perokok pasif, almarhum Pak Sutopo tidak sendirian. Bahkan secara nasional, menurut hasil survei Riskesdas 2013, jumlah perokok pasif mencapai lebih dari 90 juta orang. Tragisnya, 12 juta lebih dari perokok pasif adalah anak usia 0-4 tahun (balita). Mereka umumnya terpapar asap rokok di tempat kerja dan bahkan di dalam rumahnya sendiri. Dengan demikian betapa dominannya orang Indonesia yang berstatus sebagai perokok pasif. Dan faktor risiko perokok pasif terkena kanker paru adalah empat kali lipat, sedangkan perokok aktif adalah 13, 6 kali lipat. Oleh karena itu, mewujudkan adanya Kawasan Tanpa Rokok (KTR), adalah kebutuhan mutlak. Sangat mendesak agar semua tempat kerja dan tempat umum sebagai area KTR, tanpa kompromi. Pimpinan dan semua pihak harus mewujudkan area KTR, khususnya di tempat kerja, tempat umum, dan angkutan umum. Bahkan sangat mendesak mewujudkan rumah sebagai KTR. Sebab merokok dalam rumah sama artinya melakukan KDRT bagi penghuni rumah, karena menyebarkan racun mematikan ke seluruh penghuni rumah. Ironisnya banyak kantor pemerintah dan pejabatnya tidak memberikan contoh kepatuhan bahwa secara regulasi tempat kerja adalah area KTR. Banyak kantor kantor pemerintah yang pimpinan dan stafnya klepas klepus merokok di tempat kerja yang tertutup. Dan almarhum Pak Sutopo adalah salah satu korban keganasan asap rokok di tempat kerjanya. Pak Sutopo adalah korban egoisme bahkan sadisme dari lingkungan kerjanya yang membara oleh asap rokok. Kini Indonesia dalam keadaan darurat kanker! Mengingat prevalensi kanker malah meningkat menjadi 1.8 persen (Riskesdas 2018). Padahal pada Riskesdas 2013, prevalensi kanker di Indonesia “hanya” 1.4 persen. Salah satu pemicu dan pencetus tingginya prevalensi kanker adalah asap rokok. Akankah putra putri terbaik bangsa Indonesia terus bertumbangan oleh penyakit kanker dengan asap rokok menjadi tersangka utamanya? Oleh karena itu YLKI mendesak Pemerintah agar segera membuat “peta kanker” seperti yang dilakukan oleh Pemerintah China pada tahun 1960-an. Peta kanker tersebut sangat penting, sebagai basis (dasar) pembuatan peta jalan penanggulanan kanker di Indonesia. Sehingga penyakit kanker tidak kian mewabah. Demikian. Wassalam, TULUS ABADI KETUA PENGURUS HARIAN YLKI