Kecelakaan Lion Air

“Darurat” Penerbangan Nasional

by admin • November 6, 2018

Jatuhnya Lion Air JT-610 ada­lah klimaks dari potret bu­ruknya pelayanan Lion Air di mata publik, khususnya para pengguna Lion Air. Di mata konsumen, Lion Air dianggap sebagai maskapai “raja delay”. Rontoknya pesawat Lion Air JT-610 ju­rusan Jakarta-Pang­kal Pinang yang merenggut 189 korban nyawa adalah sebuah tragedi. Bukan saja tragedi bagi para korban/ahli waris korban, tapi bagi wajah penerbangan na­sio­nal secara keseluruhan. Oleh karenanya, atas tragedi itu, bisa jadi ini sebuah kondisi “da­ru­rat” penerbangan nasional. Ka­sus Lion Air JT-610 bisa me­mo­rak-porandakan reputasi pe­ner­bangan nasional di mata internasional. Jatuhnya Lion Air JT-610 ada­lah klimaks dari potret bu­ruknya pelayanan Lion Air di mata publik, khususnya para pengguna Lion Air. Di mata konsumen, Lion Air dianggap sebagai maskapai “raja delay”. Pantas jika Lion Air sering di­pa­ro­dikan sebagai Late Is Our Nature  atau bahkan Lie On Air. Pada konteks empiris parodi semacam itu tidaklah salah. Mengingat keterlambatan de­mi keterlambatan, bahkan da­lam skala massal, seolah men­jadi habit bagi penerbangan ber­logo singa ini. Data peng­adu­an konsumen di Yayasan Lem­baga Konsumen Indo­ne­sia (YLKI) juga menjadi bukti sejak tujuh tahun terakhir, peng­aduan konsumen Lion Air sangat dominan, paling tinggi. Ironisnya, nihil respons dari ma­najemen Lion Air. Kece­la­ka­an yang menimpa JT-610 pun bukan kali pertama, bahkan secara akumulasi sejak perta­ma Lion Air beroperasi hingga se­karang telah 20 kali meng­alami accident. Termasuk kece­la­kaan Lion Air di Bandara Adi Soemarmo-Solo yang mene­was­kan 26 penumpang. Di sisi lain, jatuhnya Lion Air JT-610 merupakan antik­li­maks jika dilihat dari prestasi pe­nerbangan nasional akhir-akhir ini. Sebab sejatinya po­tret penerbangan nasional te­lah mendapat berbagai apre­siasi prestisius. Misalnya, men­da­pat rating  pertama dari FAA  (The Federal Aviation Admi­nis­tration) Amerika. Selama ini rating kita bertengger pada posisi kedua, kalah dengan Singapura dan Malaysia. Ke­dua, pencabutan larangan ter­bang ke wilayah Uni Eropa un­tuk semua maskapai di Indo­ne­sia. Penerbangan Indonesia se­la­ma 16 tahun belakangan ini dil­arang terbang ke wilayah udara Eropa. Ketiga, pener­bang­an Indonesia juga men­da­pat apresiasi tinggi dari ICAO (Internasional Civil Aviation Organisation). Kasus yang me­nimpa Lion Air JT-610 bisa men­jadi ancaman serius bagi pe­nerbangan nasional untuk di-down grade  oleh FAA, bah­kan larangan terbang ke Eropa diberlakukan kembali. Apalagi jika punishman yang diberikan Kementerian Perhubungan (Ke­menhub) sebagai regulator terkesan lembek. Patut diduga dengan kuat, kasus ini terjadi karena ber­mu­la dari lemahnya pengawasan Kemenhub sebagai regulator kepada operator (Lion Air). Ada beberapa sebab kenapa peng­awasan Kemenhub lembek dan di sisi lain manajemen Lion Air terlihat jemawa dan defensif. Pertama, minimnya sumber daya Kemenhub, khususnya Dit­jen Perhubungan Udara. Se­mentara bisnis Lion Air makin menggurita, makin mendo­mi­na­si sektor penerbangan nasio­nal (45%). Akibatnya, peng­awas­an yang dilakukan makin kedodoran. Kedua, banyaknya pensiunan pejabat Kemenhub, bahkan TNI/Polri, yang dipe­ker­jakan di manajemen Lion Air. Akibatnya, menimbulkan conflict of interest. Terjadi ewuh pekewuh dalam peng­awas­an­nya. Risikonya, pelanggaran de­mi pelanggaran tak ter­hin­darkan. Niat Kemenhub meng­eva­luasi penerapan tarif murah di penerbangan bisa dimengerti. Sebab bisa jadi buntut pe­ne­rapan tarif murah itu akhirnya budget  untuk maintenance  di­su­nat dengan alasan peng­he­mat­an. Padahal maintenance  ada­lah aspek safety yang men­jadi taruhannya. Selama ini yang jelas-jelas disunat adalah aspek services, khususnya cabin services. Potensi untuk mengu­rangi biaya maintenance  akibat menerapkan tarif murah bisa saja terjadi. Tetapi ma­sa­lah­nya, konsep penerbangan mu­rah atau LCC (low cost carrier) adalah hal lazim di seluruh du­nia. Di Indonesia pun bukan ha­nya Lion Air yang mene­rap­kan. Jadi, pada tataran konsep, seharusnya tidak ada per­soal­an dengan penerapan LCC. Na­mun, yang krusial dilakukan Ke­menhub adalah mening­kat­kan pengawasan kepada Lion Air. Kalau perlu Kemenhub ha­rus bisa membuka laporan ke­uangan Lion Air yang sudah audited agar  mengetahui bera­pa persen alokasi dana untuk biaya perawatan di Lion Air. Jika hal ini bisa diendus akan terkuak, apakah memang ada rekayasa finansial untuk me­ne­kan biaya perawatan, atau sebaliknya. Kasus yang menimpa Lion Air harus dijadikan pem­be­la­jaran oleh semua pihak. Ini ha­rus menjadi kasus terakhir yang menimpa penerbangan komersial di Indonesia. Jangan korbankan konsumen jasa pe­nerbangan hanya karena ga­gal­nya pengawasan dan atau con­flict of interest  akibat kepen­tingan pribadi. Kemenhub se­ba­gai regulator harus berani me­lakukan moratorium eks­pansi Lion Air, baik untuk pe­nambahan rute baru dan atau penambahan jadwal pe­nerbangan pada rute tertentu. Dominannya market share Lion Air mengakibatkan peng­awasan oleh regulator yang makin kedodoran, konsumen makin terdikte, dan per­saing­an bisnis tidak sehat. Per­nya­ta­an CEO Lion Air, Rusdi Kirana, bahwa pelayanan Lion Air bu­ruk, tapi konsumen tak ada pi­lih­an, harusnya menjadi triger bagi regulator untuk mem­buk­tikan sebaliknya. Itu adalah pernyataan sangat aro­gan, bahkan menantang regulator dan konsumen yang meng­aki­batkan regulator makin mem­ble dan konsumen tak berkutik karena minim pilihan. Darurat penerbangan na­sional harus diakhiri, wu­jud­kan wajah penerbangan na­sio­nal yang nyaman, aman, dan se­lamat. Captive market  yang ma­sih terbuka lebar plus karakter negara kepulauan, Indonesia masih banyak memerlukan ak­ses penerbangan nasional yang handal. Penerbangan yang meng­utamakan kenyaman, ke­amanan, dan keselamatan bagi penggunanya. Bukan pe­nerbangan yang arogan, tapi abal-abal pula. Artikel ini sudah dimuat di Koran SINDO, Senin; 5 Oktober 2018 dan SINDONEWS.com TULUS ABADI Ketua Pengurus Harian YLKI


Managemen Lion Air Wajib Berikan Kompensasi pada Ahli Waris Korban

by admin • October 31, 2018

Satu lagi musibah yang menimpa masyarakat Indonesia, berupa jatuhnya pesawat Lion Air JT610, tujuan Jakarta-Pangkal Pinang. Jatuhnya Lion Air 610 bagaimana pun merupakan presedan buruk bagi citra penerbangan di Indonesia, yang sebenarnya sudah mulai mendapatkan  apresiasi positif di dunia internasional, baik dari Uni Eropa, FAA (Amerika) dan mendapatkan audit sangat tinggi dari ICAO. Berikut ini catatan YLKI terkait musibah tersebut. 1. YLKI mengucapkan duka cita yang mendalam kepada korban dan keluarga korban atas musibah dimaksud; 3. YLKI meminta Kemenhub untuk memastikan bahwa penerbangan lainnya baik Lion Air dan atau maskapai lain, tidak ada masalah terkait teknis dan safety; 4. YLKI meminta Kemenhub untuk meningkatkan pengawasan kepada semua maskapai, baik terkait pengawasan teknis dan atau performa managerial. Terutama meningkatkan pengawasan ke managemen Lion Air.  Pengawasan yang intentif dan mendalam sangat urgen dilakukan pada Lion Air, yang selama ini dianggap sering mengecewakan konsumennya; 5. YLKI meminta Kemenhub untuk memastikan bahwa pihak Lion Air bertanggung penuh terhadap hak-hak keperdataan penumpang sebagai korban, terkait kompensasi dan ganti rugi. Menurut Permenhub No. 77 Tahun 2011, penumpang yang mengalami kecelakaan pesawat (meninggal dunia) berhak mendapatkan kompensasi sebesar Rp 1.250.000.000/pax. Bahkan managemen Lion Air harus bisa memastikan keluarga/ ahli waris yg tinggalkan masa depannya tidak terlantar, ada jaminan biaya pendidikan/ beasiswa untuk ahli waris yang masih usia sekolah; 6. YLKI juga mendesak pihak Boeing untuk memberikan penjelasan komprehensif  atas kecelakaan pesawat JT 610 karena menggunakan pesawat seri terbaru, yakni B737 Max yang baru dirilis pada Agustus 2018, dan baru mempunyai 900 jam terbang. Adakah cacat produk dari jenis pesawat tersebut? Demikian. Terima kasih atas perhatiannya. Wassalam, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI