Neoliberalisme

Komersialisasi Tarif Listrik

by admin • December 2, 2015

Pemerintah Afrika Selatan, yang memberikan tarif listrik gratis pada masyarakat miskin, jika pemakaiannya tidak melewati 30 kWh/bulan. Jika lewat 30 kWh/bulan, masyarakat miskin itu “dihukum” untuk membayar tariff listrik secara progresif. Listrik untuk kehidupan yang lebih baik (electricity for better life), demikian jargon yang diusung PT PLN (Persero) dalam melayani konsumennya. Terasa sangat manis jargon itu terdengar. Pada konteks masyarakat modern seperti sekarang, rasanya aktivitas kita nyaris tak terpisahkan dengan energy listrik. Namun, jargon itu faktanya belum mampu terwujud dengan sempurna. Alih-alih jika ditilik pada kondisi empiris, kini pelayanan ketenaga listrikan di berbagai daerah tengah mengalami kemerosotan daya. Warga Sumatera Utama, misalnya, padam listrik sehari seperti minum obat saja, tiga kali dalam sehari, bahkan lebih. Pulau Jawa yang menjadi andalan ketenagalistrikan pun, diprediksikan dua tahun lagi akan mengalami krisis daya, jika tak ada revolusi dalam pengelolaannya. Sungguh menyesakkan dada, ketika manajemen PT PLN akan menerapkan tarif listrik berdasar “mekanisme pasar”. Konkritnya, tarif listrik akan berubah secara fluktuatif per bulannya berdasar 3 (tiga) indikator: kurs rupiah terhadap dolar, harga minyak mentah dunia (ICP), plus berdasar laju inflasi. Ketentuan ini diberlakukan per 1 Januari 2015. Pada kondisi empiris, khususnya jika mengacu di sisi hulu, beleid itu bisa dimaklumi. Sebab faktanya, PT PLN harus membeli bahan bakar dengan kurs dolar, sekalipun bahan bakar itu dibeli dan diproduksi di dalam negeri. Kendati membeli batubara dari Kalimantan, maka harga transaksinya menggunakan harga internasional. Begitu juga harga gas. Apalagi untuk harga solar, yang nota bene sebagian masih diimpor. Namun demikian, jika kebijakan ini diterapkan, maka tak urung akan mengantongi cacat bawaan yang cukup serius. Pertama, akan menghambat rasio elektrifikasi masyarakat Indonesia. Masyarakat akan makin takut mengakses listrik, karena khawatir tak mampu membayar tagihan listrik per bulannya. Sebab puncak dari skema tarif yang semacam itu, tarif listrik menjadi mahal. Bahkan sangat mahal. Padahal, rasio elektifikasi di Indonesia masih tergolong rendah, bahkan terendah di ASEAN, yakni hanya 82 persen dari total populasi. Kedua, akan menurunkan tingkat pemakaian energi listrik per bulannya. Harap dicatat, selain rendah dalam rasio elektrifikasi, pemakaian energi listrik masyarakat Indonesia (yang sudah dilistriki) pun masih sangat rendah. Menurut data World Bank, pemakaian energi listrik masyarakat Indonesia baru berkisar 650 kWh per bulannya. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai 3.500 kWh per bulannya, atau bahkan Singapura yang mencapai 7.500 kWh/bulan. Ini menandakan daya beli masyarakat Indonesia belum baik. Atau bisa juga tarif listrik yang ada sudah dianggap mahal. Nah, jika nantinya tarif listrik berbasis mekanisme pasar, maka secara finansial tarif listrik kian tak terjangkau masyarakat, khususnya masyarakat dengan akses 450-900 Volt Ampere (VA), atau bahkan 1300 Volt Ampere. Ketiga, sungguh tidak etis, memberlakukan tarif listrik berdasar mekanisme pasar. Bagaimana mungkin tarifnya berbasis pasar, jika pelayanannya masih berskala lokal? Mungkin bisa saja tarif pasar diterapkan, jika pelayanan ala world class service sudah mampu diwijudkan! Dan keempat, secara ideologis, energi listrik itu komoditas publik yang sangat strategis, sangat tidak pas jika standar pentarifannya menggunakan basis pasar. Kebijakan ini berpotensi bertentangan dengan Konstitusi. Jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang telah membatalkan UU Ketenagalistrikan (yang lama) – karena mengusung neoliberalisme dalam pengelolaanya, maka kebijakan ini seharusnya tidak layak diberlakukan. Kalau pun spirit kebijakan ini akan diterapkan, seharusnya dengan skema yang lebih cerdas dan berpihak pada kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dan yang terpenting tidak bertentangan dengan Konstitusi. Misalnya, berikan pagu pemakaian kWh listrik pada semua golongan tarif. Contoh, untuk golongan 450–900 VA, diberikan pagu 42 kWh per bulannya, yang merupakan pemakaian rata-rata nasional untuk golongan 450–900 VA. Jika melewati pagu yang ditentukan/diberikan, barulah dikenakan tarif keekonomian (harga pasar). Pemberian pagu kWh semacam ini penting, karena selain tidak menghambat kebutuhan dasar masyarakat dalam pemakaian energi listrik, juga untuk mendorong masyarakat berhemat listrik. Contohlah pemerintah Afrika Selatan, yang memberikan tarif listrik gratis pada masyarakat miskin, jika pemakaiannya tidak melewati 30 kWh/bulan. Jika lewat 30 kWh/bulan, masyarakat miskin itu “dihukum” untuk membayar tariff listrik secara progresif. Sekali lagi, pola seperti ini jauh lebih cerdas dan mempunyai semangat keberpihakan yang lebih jelas, daripada menerapkan tarif listrik berbasis mekanisme pasar, yang secara ideologis dan konstitusional bermasalah. Bagaimanapun, energi listrik adalah infrastruktur dasar yang wajib disediakan oleh negara, dengan mutu dan keandalan yang baik, dan dengan harga yang terjangkau (affordable price) oleh masyarakat konsumen. Penulis : Tulus Abadi SH (Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) (Dimuat di Majalah Warta Konsumen YLKI)