Pengaduan Konsumen

Bagaimana Menyampaikan Pengaduan Konsumen?

by admin • December 2, 2016

Setiap orang dijamin haknya untuk menyampaikan pendapat dan keluhan atas barang dan jasa yang dikonsumsi. Ini tersurat jelas pada Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kendati demikian, belum banyak konsumen yang menggunakan hak tersebut. Salah satu alasan ialah ketidaktahuan konsumen, kemana dan bagaimana cara menyampaikan keluhan dengan baik dan benar. Nah, tulisan pendek ini akan mencoba mengulas tentang bagaimana membuat pengaduan. Ada dua hal yang harus diperhatikan ketika konsumen membuat pengaduan. Pertama, konsumen harus merumuskan terlebih dahulu hasil apa yang diharapkan dari sebuah pengaduan konsumen. Dari hasil tersebut, baru konsumen memutuskan harus mengadu kemana (lebih jelas lihat tabel 01). Tabel 01. Hasil yang diharapkan dari pengaduan  Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Polisi mengmabil langkah hukum terhadap pelaku usaha Membuat Laporan / pengaduan ke kepolisian Pelaku usaha dikenakan sanksi pidana Membuat Laporan / pengaduan ke kepolisian Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Konsumen mendapat kompensasi finansial Membuat pengaduan ke BPSK; Membuat pengaduan ke LPKSM; Mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri; Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Pelaku usaha dikenakan sanksi administrasi Membuat pengaduan ke lembaga otoritas tertentu Seperti untuk obat ke BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Meminta pelaku usaha menghentikan/melakukan perbuatan tertentu Meminta LPKSM mengajukan gugatan legal standing Dalam kasus keberadaan iklan misleading information, langkah ini sangat efektif Hasil yang diharapkan Bentuk tindakan/aksi Keterangan Meminta organisasi profesi menjatuhkan tindakan disiplin profesi Mengadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Profesi Langkah ini sangat efektif dalam kasus terjadinya malpraktik profesi dokter, pengacara notaris dll   Kedua, di lapangan ada beragam lembaga pengaduan konsumen. Untuk itu menjadi penting bagi konsumen mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing lembaga yang menerima pengaduan konsumen tersebut (Lebih jelas lihat tabel 02).   Tabel 02 : Plus Minus Saluran Pengaduan Konsumen   Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan Departemen/Kementerian teknis Institusi formal yang mempunyai kompetensi di bidang tertentu; Dalam beberapa kasus, ada kontak pos khusus pengaduan konsumen.   Belum semua dokumen perijinan dikeluarkan departemen teknis; Divisi/petugas yang secara khusus menangani pengaduan belum ada/terbatas; Belum ada standar baku mekanisme penyelesaian pengaduan konsumen; Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan  Rubrik surat pembaca Akses ke surat pembaca lebih mudah; Efektif untuk pembelajaran kepada sesama konsumen dan peringatan bagi pelakusa usaha; Dapat berfungsi sebagai kampanye negatif bagi pelaku usaha nakal. Tingkat penyelesaian pengaduan sangat rendah; Dimuat tidaknya surat pembaca tergantung kebijakan redaksi; Ada risiko digugat balik oleh pelaku usaha apabila tidak didukung data/bukti yang kuat. Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) Tidak dipungut biaya; Metode penyelesaian pengaduan dengan mengutamakan penyelesaian non litigasi (mediasi); Tidak semua daerah ada LPKSM; Lebih memprioritaskan penanganan pengaduan konsumen dengan korban massal dan dari kelompok masyarakat menengah ke bawah; Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan Assosiasi Industri / Organisasi Profesi Mempunyai akses langsung ke pelaku usaha / penyedia jasa professional; Secara internal mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi organisasi bagi pelaku usaha/penyedia jasa professional yang nakal; Tidak semua pelaku usaha anggota assosiasi industri; Pengurus assosiasi industri adalah juga dari pelaku usaha, sehingga ada konflik kepentingan ketika ada pengaduan konsumen; Independensinya diragukan, karena lebih dominan membela kepentingan anggota/solidaritas corps; Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) Tidak dipungut biaya; Batas waktu penyelesaian 21 hari; Memiliki dua kewenangan sekaligus dalam menyelesaikan masalah, yaitu secara konseptual (mediasi dan konsiliasi) dan ajudikatif (arbitrase). Belum semua Pemerintah Kota/ Kabupaten memiliki BPSK; Prosedur di BPSK masih memberi ruang bagi pelaku usaha melakukan keberatan ke Pengadilan Negeri; Tempat Pengaduan Kelebihan Kelemahan Pengadilan Negeri Ada di setiap Pemerintahan Kota / Kabupaten; Ada lembaga yang dapat memaksa para pihak untuk melaksanakan putusan Pengadilan. Biaya administrasi pengadilan, dalam banyak kasus, tidak sebanding sengan nilai sengketa konsumen; Prosedur beracara rumit; Waktu penyelesaian relatif lama; MENGADU KE PELAKU USAHA   Konsumen melakukan kontak awal dalam transaksi barang/atau jasa dengan pelaku usaha. Apabila ada masalah dalam transaksi barang dan/jasa, hal yang harus dilakukan konsumen adalah membuat pengaduan langsung ke pelaku usaha. Beberapa pelaku usaha sudah memiliki bagian khusus yang menangani pengaduan konsumen, sebagaian diantaranya bahkan ada yang sampai memberi garansi time respon dari sebuah pengaduan konsumen. Pengaduan ke pelaku usaha penting dilakukan konsumen terlebih dahulu, karena dalam banyak kasus sengketa yang timbul antara konsumen dengan pelaku usaha berawal dari buruknya komunikasi antara konsumen dan pelaku usaha, termasuk minimnya pemahaman konsumen tentang produk yang dikonsumsi. Nah, persoalan disinformasi antara konsumen dengan pelaku usaha, acapkali dapat diselesaikan dengan mengadu langsung ke pelaku usaha, tanpa perlu ada bantuan/intervensi pihak ketiga. SURAT PEMBACA   Dalam merespon dugaan praktik prlanggaran hak-hak konsumen, hal sederhana yang dapat dilakukan konsumen adalah memublikasikan pengalaman buruk sebagai konsumen melalui surat pembaca di media massa (cetak). Cara ini memang tingkat penyelesaian masalah rendah, karena sangat tergantung sejauh mana tingkat responsibilitas dari pelaku usaha yang diadukan. Bagi pelaku usaha yang peduli terhadap nama baik dan menjaga citra perusahaan, sepanjang identitas konsumen jelas dan didukung data pengaduan lengkap, akan direspon pelaku usaha. Cara ini juga cukup efektif bagi pendidikan konsumen, dengan menulis pengalaman buruk konsumen di surat pembaca, diharapkan pembaca lebih hati-hati dan tidak terperosok pada lubang yang sama menjadi konsumen teraniaya. Sebagai catatan, cara ini disarankan setelah konsumen mengadu ke pelaku usaha. tetapi tidak ada respon atau ada respon, tetapi jawaban pelaku usaha tidak mencerminkan pelaku usaha yang bertanggung jawab dan menghargai hak-hak konsumen. LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)   Sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu fungsi dari kehadiran LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) adalah penanganan pengaduan konsumen. Secara umum, konsumen dapat menyampaikan pengaduan konsumen ke LPKSM melalui berbagai akses, seperti: surat, telepon, datang langsung, e-mail, SMS. Agar dapat ditindak lanjuti, pengaduan konsumen harus dilakukan secara tertulis atau datang langsung ke LPKSM dengan mengisi form pengaduan konsumen. Dalam pengaduan, sekurang-kurangnya harus ada uraian tentang: urutan kronologis kejadian, tuntutan konsumen, dengan dilampiri data pendukung baik berupa dokumen atau barang bukti, serta identitas pelapor. Mekanisme LPKSM dalam menyelesaikan sengketa konsumen adalah menitikberatkan upaya tercapainya kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha melalui mediasi atau konsiliasi. Di sini, peran LPKSM sebagai mediator antara konsumen dan pelaku usaha. LAPOR KE KEPOLISIAN  Praktik pelanggaran hak-hak konsumen oleh pelaku usaha,


Konsumen dan Keberanian Mengadu

by admin • June 23, 2015

Berdasarkan catatan akhir tahun dari Komisi Ombudsman Nasional (KON) 2012, disimpulkan bahwa masyarakat sudah mulai berani mengadu ketika tidak mendapatkan haknya. Kesimpulan dimaksud didasar pada jumlah pengaduan ke KON yang meningkat sebesar 8,41 persen. Pada 2011 KON ‘hanya’ menerima aduan masyarakat sebanyak 1.867 kasus, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 2.024 kasus yang diadukan. Dari angka tersebut, pengaduan terkait Pemerintah Daerah menuai angka tertinggi, yakni 669 kasus (33,5%). Apa yang disimpulkan oleh KON tidaklah salah. Secara faktual sejak era reformasi bergulir, keberanian masyarakat untuk mengadu terus meninggi, bahkan kelewat tinggi. Artinya, masyarakat mulai kritis terhadap beragam persoalan yang menimpanya. Namun tingginya pengaduan juga bisa dimaknai sebaliknya, bahwa pengaduan yang tinggi adalah cermin masih buruknya pelayanan publik di Indonesia. Individualistik Lantas, bagaimanakah model pengaduan masyarakat sebagai konsumen terhadap produk layanan yang disediakan sektor swasta, termasuk layanan publik oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?. Pada batas tertentu, terdapat perbedaan karakter, antara rakyat (sebagai citizens) yang berhadapan dengan negara (state), dan konsumen (end user) yang berhadapan dengan pelaku usaha. Norma hukum yang mengatur pun berbeda (walau agak berhimpitan), masyarakat sebagai pengguna produk birokrasi dipayungi oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UUPP). Sedangkan konsumen payung hukumnya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Faktanya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih senior 10 tahun ketimbang UU Pelayanan Publik. Titik temu dari kedua Undang-Undang ini adalah pada komoditas pelayanan yang disediakan oleh BUMN. Oleh UU Perlindungan Konsumen, BUMN (dan BUMD) dikategorikan sebagai pelaku usaha. Sementara pada UU Pelayanan Publik, BUMN dikategorikan sebagai “korporasi” penyedia pelayanan publik. Jadi, komoditas yang disediakan BUMN, tunduk pada kedua norma hukum dimaksud. Kendati ada titik persamaannya, kesimpulan KON terkait dengan keberanian masyarakat yang berani mengadu, secara psikologis agak berbeda dengan posisi konsumen. Persamaannya, kadar keberanian mengadu sudah lama pula mengristal di kalangan konsumen, terutama sejak disahkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Sebab, didalam UU Perlindungan Konsumen ditegaskan bahwa konsumen berhak: didengar keluhan dan pendapatnya, mendapatkan kompensasi dan ganti rugi, plus mendapatkan advokasi dan perlindungan (Pasal 4). Ketiga poin inilah yang menjadi spirit konsumen untuk mengadu jika produk barang/jasa yang diberikan merugikan dirinya. Keberanian konsumen untuk mengadu, selain ditujukan pada pelaku usaha (provider), juga ditujukan kepada lembaga konsumen – seperti misalnya YLKI dan atau BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), yang kini telah eksis diberbagai kota besar di Indonesia. Bahkan, pasca lahirnya UUPK, konsumen bukan hanya berani mengadu, tetapi juga berani melakukan gugatan hukum, baik gugatan individual atau gugatan kelompok. Ini tercermin dalam Pasal 46 ayat (1). Banyak kasus konsumen melakukan gugatan perdata, bahkan laporan pidana, dan gugatan class action pada pelaku usaha nakal. Sementara hal ini justru tidak terlalu kuat diatur dalam UU Pelayanan Publik. Namun, ada beberapa catatan kritis terkait dengan keberanian konsumen untuk mengadukan kasusnya; pertama, mayoritas keberanian tersebut masih bersifat individualistik. Artinya, konsumen akan mengadu jika persoalannya menimpa dirinya. Keberanian dan kepedulian konsumen belum kuat muncul, manaka persoalan tersebut menimpa orang lain. Kedua, keberanian konsumen juga masih terkendala oleh minimya tindak lanjut pengaduan. Konsumen belum yakin bahwa pengaduannya akan diselesaikan dan ditindaklanjuti. Sebagai contoh, berdasar survei YLKI – kasus konsumen Transjakarta – hanya 55 persen yang yakin bahwa pengaduannya akan ditindaklanjuti. Sisanya, 45 persen (sangat signifikan), tidak yakin pengaduannya ditindaklanjuti oleh managemen Transjakarta. Keberanian konsumen juga rada surut, ketika beberapa waktu yang lalu ada fenomena gugatan balik oleh pelaku usaha yang diadukan konsumen. Kasus Prita (yang digugat balik oleh rumah sakit), dan juga beberapa kasus lain, seperti kasus perumahan, kasus operator seluler yang mencuri pulsa, membuktikan hal itu. Secara psikologis, gugatan balik oleh pelaku usaha menyurutkan nyali konsumen untuk merebut haknya. Fenomena ini menjadi preseden sangat buruk bagi konsumen untuk menjadikan dirinya kritis dan berani merebut haknya. Untuk mengantisipasi gugatan balik, pengaduan dan gugatan konsumen harus konkrit, dengan disertai bukti-bukti yang cukup. Plus, sudah melakukan komunikasi dan mediasi dengan pihak pelaku usaha. Potret pelayanan publik, secara umum, bagaimanapun belum membaik, kecuali di beberapa sektor. Tingginya pengaduan, baik yang diterima oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON), YLKI, media masa dan lembaga lain, adalah sinyal kuat bahwa potret pelayanan publik di negeri ini masih buram. Masyarakat dan juga konsumen memang sudah lama mempunyai nyali kuat untuk mengadu, atau bahkan menggugat kepada pemerintah, dan atau pelaku usaha. Namun hingga kini keberanian itu belum mengkristal secara kolektif. Keberanian masyarakat ataupun konsumen masih tercerai-berai pada kepentingan individunya. Ironisnya, keberanian mereka menyurut atau bahkan kandas, makala minim tindaklanjut dan bahkan menuai gugatan balik dari pelaku usaha. Keberanian rakyat dan konsumen untuk mengadu dan bahkan menggugat ke ranah hukum, harus terus dibangunkan. Mereka tak boleh patah arang untuk merebut haknya, kendati menuai gugatan balik. ***