YLKI
CUKAI MBDK BATAL TAHUN INI, BANGSA INDONESIA MENUNDA GENERASI EMAS 2045
Jakarta, 12 Juni 2024 – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dengan ini menyatakan keprihatinan dan mempertanyakan keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan yang masih menunda penerapan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik hingga kemungkinan tahun 2025. Menurut pernyataan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani, kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan dan belum dapat direalisasikan tahun ini. Pada Februari 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyampaikan bahwa potensi penerimaan dari cukai minuman berpemanis bisa mencapai Rp 6,25 triliun. Angka ini tidak hanya signifikan dalam mendukung penerimaan negara, tetapi juga sebagai langkah nyata untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis yang merugikan kesehatan. YLKI menilai bahwa penundaan dari tahun 2020 sampai 2023 ini tidak sejalan dengan urgensi masalah kesehatan dan lingkungan yang dihadapi bangsa kita saat ini. Data terbaru Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan prevalensi diabetes pada usia 15 tahun keatas meningkat 11% dari sebelumya 10.9% (Riskesdas, 2018). Indah Sukmaningsih, Plt Ketua Harian YLKI mengatakan, “tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan, anak-anak sebagai modal utama dalam mencapai Generasi Emas 2045 terancam terganggu kesehatannya, yang merupakan dampak langsung dari konsumsi minuman berpemanis yang tinggi. Kami menekankan bahwa cukai terhadap MBDK seharusnya tidak lagi menjadi wacana, tetapi harus segera diimplementasikan demi melindungi generasi muda dari risiko penyakit yang serius, tegas nya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan YLKI di 10 kota di Indonesia, sebanyak 25,9% anak berusia kurang dari 17 tahun mengonsumsi MBDK setiap hari dan sebanyak 31,6% mengonsumsi MBDK 2-6 kali dalam seminggu. Anak-anak adalah konsumen yang rentan dan sering menjadi target utama pemasaran produk minuman berpemanis. Penundaan kebijakan cukai ini berarti anak-anak kita akan terus terpapar pada produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan mereka. Saat ini, prevalensi diabetes dan obesitas pada anak-anak menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Tanpa adanya intervensi kebijakan yang tegas, mereka akan menjadi korban berikutnya dari kebijakan yang lambat diterapkan. Data SKI 2023 menunjukkan bahwa sebanyak 59,1% penyebab disabilitas (melihat, mendengar, berjalan) pada penduduk berusia 15 tahun ke atas adalah penyakit yang didapat, di mana 53,5% penyakit tersebut adalah Penyakit Tidak Menular, terutama hipertensi (22,2%) dan diabetes (10,5%). YLKI mempertanyakan mengapa pemerintah terus menunda kebijakan yang jelas-jelas memberikan manfaat kesehatan dan ekonomi. YLKI menduga dengan kuat bahwa penundaan ini tidak terlepas adanya intervensi dari industri MBDK, yg sejak awal memang menolak cukai MBDK. Menurut pandangan YLKI, pemerintah tampaknya telah kalah menghadapi tekanan yang diberikan oleh industri MBDK, sehingga mengorbankan kesehatan anak Indonesia. Kami mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan dan merealisasikan kebijakan ini tanpa menunggu hingga tahun 2025. Kesehatan anak-anak kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Penundaan kebijakan ini hanya akan memperburuk kualitas generasi mendatang dan tentunya akan menunda capaian Generasi Emas 2045. YLKI mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung penerapan segera cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Kami juga mengimbau pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam melindungi kesehatan masyarakat terutama untuk mempersiapkan generasi emas 2045 dengan tidak lagi menunda kebijakan yang sudah sangat mendesak ini. Salam, Tulus Abadi, SH (Pengurus Harian YLKI)
Refleksi Hari Tanpa Tembakau Se-Dunia 31 Mei 2024
Selamatkan Anak Indonesia dari Pengaruh Industri Rokok Setiap 31 Mei, di seluruh dunia diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Se-Dunia (HTTS), atau World No Tobacco Day. Pada HTTS 31 Mei 2024 tajuk yang diusung oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah Protecting Children from Tobacco Industry Interference atau dalam bahasa sederhananya adalah “Lindungi Anak dari Pengaruh Industri Rokok”. Tema HTTS 2024 sungguh relevan dengan kontekstualitas dan fenomena empirik di Indonesia. Pertama, prevalensi merokok pada anak anak Indonesia saat ini sangat tinggi, yakni mencapai 9,1 persen. Ini mengalami lompatan yang signifikan sejak 5 (lima) tahun terakhir, yang semula 8,5 persen. Dan tragisnya fenomena tingginya prevalensi merokok di Indonesia menjadi yang tertinggi di dunia. Tanpa adanya pengendalian dari sisi marketing, iklan, dan promosi; diprediksi prevalensi merokok pada anak di Indonesia akan melambung menjadi 15 persen! Alamaaak…… Kedua, meningkatnya prevalensi merokok pada anak, tak lepas dari pengaruh (intervensi) industri rokok yang sangat masif melalui berbagai promosi dan iklan, di berbagai lini media. Saat ini regulasi masalah iklan dan promosi rokok di Indonesia terkenal paling permisif di dunia. Termasuk iklan rokok (seperti baliho, poster) yang dipasang di dekat sekolah dan institusi pendidikan. Belum lagi iklan rokok di media televisi dan media elektronik lainnya. Dan yang makin mengkhawatirkan adalah iklan rokok di ranah media digital (internet) yang kini belum ada regulasinya. Industri rokok juga menggunakan jurus yang lain untuk memasarkan rokok pada anak dan remaja, yakni pola penjualan langsung via Sales Promotion Girl (SPG). Belum lagi pola penjualan produk rokok yang tiada batas, makin mempermudah anak-anak menjangkau dan membeli rokok. Nyaris setiap jengkal tempat anak-anak, remaja, dan orang dewasa bisa membeli rokok, via warung, kios, retail modern yang makin menjamur, pedagang kaki lima, plus pedagang asongan dan bahkan bisa dibeli secara ketengan. Ketiga, makin masifnya pengaruh industri rokok pada anak-anak, remaja tak luput dari lemahnya regulasi pengendalian tembakau di Indonesia. Titah Presiden Joko Widodo untuk memerkuat regulasi dengan cara mengamandemen PP No. 109/2012, kandas hingga kini. Dari Menkes Terawan hingga Menkes Budi Gunadi Sadikin, upaya mengamandemen PP 109/2012 lenggang kangkung begitu saja. Merujuk pada konfigurasi yang demikian, bukan berarti harapan dan solusinya tertutup, untuk melindungi dan menyelamatkan anak anak dari paparan dan pengaruh industri rokok. Harapan dari aspek regulasi yang akan mampu melindungi anak anak Indonesia dari pengaruh industri rokok adalah RPP Kesehatan, yang merupakan turunan/mandat dari UU No. 17 tentang Kesehatan. Kini pembahasan dan penggodogan RPP Kesehatan telah tuntas dan tinggal menunggu pengesahan oleh Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, menjadi sangat mendesak bagi Presiden Joko Widodo untuk segera mengesahkan RPP Kesehatan dimaksud, yang sudah mangkrak satu tahun lamanya. Jika Presiden Joko Widodo luput untuk mengesahkan RPP Kesehatan hingga ending masa jabatannya pada Oktober 2024, maka bukan mustahil bahwa bonus demografi pada 2030 dan generasi emas pada 2045, hanyalah mitos dan mimpi belaka. Dan sebaliknya, Presiden Joko Widodo justru akan mewariskan generasi yang sakit-sakitan, bodoh, dan miskin. Oleh sebab itu kita berharap dengan sangat agar Presiden Joko Widodo punya keberpihakan untuk mewariskan sebuah regulasi dan kebijakan yang positif untuk melindungi anak-anak dan remaja yang merupakan investasi bangsa ini, dengan cara mengesahkan RPP Kesehatan tersebut. Jangan sampai anak-anak dan remaja Indonesia justru menjadi obyek eksploitasi bagi industri rokok, tersebab oleh lemahnya regulasi pengendalian tembakau. Bagi industri rokok, anak dan remaja adalah “investasi” untuk menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan gurita bisnisnya. Selamat Hari Tanpa Tembakau Se Dunia, lindungi dan selamatkan anak Indonesia dari pengaruh industri rokok. Tulus Abadi, Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, dan Pengurus Harian YLKI
Merekonstruksi Upaya Perlindungan Konsumen
Peran perlindungan konsumen juga perlu memastikan bahwa konsumen dari kelompok strata paling bawah sekalipun, tetap harus terpenuhi kebutuhan dasarnya. Agus Sujatno Tahun 2024 belum genap satu semester, tetapi sejumlah peristiwa negatif dibidang perlindungan konsumen telah terjadi. Kasus remaja bunuh diri karena tejerat dan teror pinjaman online di Semarang, kecelakaan bus mudik lebaran yang menewaskan 7 orang penumpang, naiknnya harga eceran tertinggi (HET) beras bulog Rp.1.500 – Rp.2.500, dan minyak goreng Minyak Kita menjadi Rp.15.000, persoalan parkir liar yang memalak konsumen mini market, PPN naik menjadi 12 persen, perubahan kebijakan pembatasan barang bawaan penumpang maskapai dari luar negeri. Mangkraknya pembangunan perumahan, ratusan orang yang menyoal refund di e-commerce. Dan daftar ini akan lebih panjang lagi jika ditelusuri. Pertanyaannya, dimana posisi YLKI setelah dilahirkan 51 tahun yang lalu demi melindungi kepentingan konsumen? Apa yang sudah dilakukan YLKI? Setengah abad lebih satu tahun, tentu bukan waktu yang pendek. Sebagai pionir dari lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dengan segala pasang surutnya telah dilewati YLKI. Begitu pula dengan problematika perlindungan konsumen juga telah mengalami dinamika yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun kualitas masalah perlindungan konsumen. Pesatnya peetumbuhan industri serta ditunjang kemajuan teknologi, menjadikan persoalan perlindungan konsumen makin kompleks. Bahkan masalah perlindungan konsumen bukan lagi menjadi masalah nasional semata, melainkan masalah internasional. Berpijak dari konfigurasi permasalahan konsumen yang terus mengalami peningkatan limitasi, diperlukan pemetaan dan klasifikasi persoalan perlindungan konsumen. Selanjutnya hasil pemetaan tersebut yang akan menjadi acuan dalam perlindungan konsumen mendatang. Secara luas, UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) mengklasifikasikan upaya perlindungan konsumen dalam 3 kategori (UNCTAD dalam J.Widiantoro dkk 2020). Pertama; sistem perlindungan konsumen yang meliputi kebijakan, aturan hukum, kelembagaan dan sturktur yang membentuk kerangka sistem perlindungan konsumen. Dalam konteks kebijakan serta aturan hukum, Indonesia telah memiliki Undang-undnag No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kehadiran UUPK di satu sisi menjadikan posisi konsumen secara legal formal lebih kuat, karena hak-hak konsumen menjadi hak hukum yang diatur dan dilindungi undang-undang. Namun secara faktual, keberadaan 25 tahun UUPK belum dirasakan manfaatnya secara nyata oleh konsumen. Terlebih dalam konteks ekonomi digital, UUPK kerap mandul dalam mengurai benang kusut persoalan. Pun demikian dengan kelembagaan dan kerangka perlindungan konsumen, masih jauh panggang dari api. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menurut UUPK didirikan di setiap Pemerintah Kota/Kabubaten, justru mengalami degradasi dengan belitan permasalahan mendasar. Kewenangan yang awalnya ada di kabupaten kota, ditarik ke tingkat provinsi. Artinya, perlindungan konsumen (termasuk BPSK) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi (UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah), sedangkan Pelaksanaan/kedudukan BPSK di Kab/Kota. Di sisi lain masih terdapat stakeholders/pimpinan daerah yang tidak familiar dengan BPSK sehingga tidak menjadi prioritas dalam pengalokasian anggaran. Berdasarkan laporan Ditjend PKTN Kementrian Perdagangan (2022), sebanyak 186 BPSK terbentuk, tetapi hanya 74 yang dianggarkan berperasional. Bandingkan dengan jumlah penduduk (konsumen) Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa. Kedua perlindungan konsumen di pasar. Serentetan tragedi pengabaian hak konsumen, seperti yang sebagian kecil ditulis di awal artikel ini menjadi bukti konkrit bahwa konsumen ada di dalam derasnya pusaran ekonomi yang berkiblat pada pasar. Konsumen lebih banyak menjadi korban, dan sebagai korban untuk mencari tempat hanya sekedar mendengarkan keluh kesahnya saja acapkali bukan hal yang mudah. Minimnya akses poin pengaduan yang secara aktif mendengar dan menindaklanjuti persoalan konsumen menjadi salah satu faktornya. Dalam beberapa kasus, seperti kasus jeratan pinjol, konsumen yang putus asa dan tidak punya tempat berbagi cerita harus mengakhiri hidupnya. Dalam konteks ini, YLKI berharap dapat menjadi rumah bagi konsumen. YLKI memang tidak hadir untuk menutup segala bentuk hutang pinjol, tetapi harapannya YLKI mampu hadir menjadi tempat bagi konsumen untuk mengutarakan keluhan dan menumbuhkan harapan, ketika konsumen sudah kehilangan asa. Selanjutnya, YLKI juga dapat menjadi kawan dalam melawan kesewenang-wenangan pelaku usaha. Ketiga; Perlindungan konsumen dan kebutuhan dasar. Payung hukum perlindungan konsumen memang telah ada, dalam bentuk UUPK. Tetapi secara substansi, UUPK lebih bersifat transaksional, belum mengupayakan akses pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) bagi konsumen. Dengan kata lain, hanya kelompok yang melakukan aktivitas jual beli di cakup oleh UUPK, sedangkan kelompok masyarakat rentan yang pemenuhan hak dasarnya belum sepenuhnya tercukupi, luput dari bahasan UUPK. Secara hierarki pemenuhan kebutuhan dasar merupakan hak setiap orang untuk dapat melangsungkan hidup secara bermartabat. Peran perlindungan konsumen juga perlu memastikan bahwa konsumen dari kelompok strata paling bawah sekalipun, tetap harus terpenuhi kebutuhan dasarnya. Terpenuhi dalam arti memiliki akses untuk pemenuhan kebutuhan dasar, jaminan keterjangkauan dan jaminan keamanan dari berbagai hal yang dapat menggerus pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan demikian persoalan perlindungan konsumen erat kaitannya dengan hak asasi manusia yang menjamin pilar hak ekosob (ekonomi, sosial budaya). Dalam konteks perlindungan konsumen dan kebutuhan dasar, YLKI dapat berperan dalam upaya mendorong amandemen UUPK dengan memasukan basic need sebagai prioritas yang termaktub dalam regulasi. Dengan demikian dalam konsep pemenuhan kebutuhan dasar, UUPK dapat “memaksa’ negara untuk hadir dan memastikan kelompok rentan terpenuhi hak asazinya. Termasuk memiliki akses yang cukup atas sumber daya sehingga dapat tetap terpenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Pada akhirnya, kehadiran YLKI yang telah memasuki usia 51 tahun nampaknya bukan sebuah akhir perjalanan. Tetapi menjadi tempat koreksi dan introspeksi dalam upaya membersamai konsumen dengan segala permasalahan yang tingkat kompleksitasnya makin beragam. Hal yang tak kalah penting, bagaimana YLKI membenahi diri dalam aspek pengembangan kelembagaan. Selain harus tetap berjibaku dalam memperbaiki konfigurasi sumber pendanaan, pengelolaan sumber daya manusia, YLKI juga harus tunduk pada ketentuan undang-undang yayasan. Selamat ulang tahun YLKI. Agus SujatnoPengurus Harian YLKI
Darurat Stabilisasi Harga Pangan
Parameter keberhasilan operasi pasar adalah berapa banyak masyarakat terdampak kenaikan harga kebutuhan pokok yang mendapat manfaat dari operasi pasar. Bukan berapa puluh ton sembako yang sudah dilepas untuk operasi pasar. Agus Sujatno Setiap menjelang hari besar keagamaan, hampir dapat dipastikan harga sejumlah komoditas akan mengalami kenaikan. Di pasar tradisional beberapa kota di Indonesia mulai menunjukkan gejala tersebut dalam beberapa minggu terakhir. Harga cabai rawit yang biasanya Rp 35 – 40 ribu perkilo, melonjak jadi Rp 60 – 70 ribu. Demikian juga dengan telor ayam yang menyentuh angka Rp 30 ribu per kilogram di sejumlah daerah. Pada skala kecil, kondisi seperti ini bisa dipahami. Secara sederhana dapat dijelaskan jika terjadi lonjakan permintaan, maka harga akan bergerak naik. Menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, permintaan masyarakat terhadap sejumlah komoditas memang meningkat. Artinya, di level tertentu lonjakan harga sejumlah komoditas tidak perlu disikapi secara berlebihan. Hal ini justru menjadi indikator positif terhadap gerak roda ekonomi masyarakat. Bagi konsumen yang terpenting dalam pergerakan harga harus mampu mengakomodasi prinsip ketersediaan dan keandalan. Harus ada jaminan bagi konsumen bahwa komoditas tersebut tersedia di pasar. Ini penting, sebab apalah artinya harga murah tetapi barang tidak ditemukan di pasar. Tanpa diikuti ketersediaan komoditas, justru akan diikuti lonjakan harga secara ilegal, bahkan jauh melebihi batas kewajaran. Selain tersedia di pasar, harus ada jaminan bahwa komoditas dimaksud memiliki keandalan dalam bentuk mutu atau kualitas produk sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tidak ada pengurangan atau penambahan bahan yang dapat membahayakan konsumen. Tetapi dalam level ekonomi makro, tidak mudah memahami mekanisme lonjakan harga suatu komoditas. Demikian banyak variable yang terkait, rumit dan kompleks. Dalam upaya memahami dinamika harga, setidaknya ada tiga aspek yang dapat dikemukakan. Pertama; adanya gangguan keseimbangan antara demand (permintaan) dan supply (penawaraan). Pergerakan demand and supply sangat berkontribusi terjadinya dinamika harga. Dalam hal kecenderungan harga pasar stagnan atau bahkan turun, secara psikologis konsumen akan menunda transaksi. Sebaliknya ketika harga cenderung meningkat, konsumen akan bergegas melakukan transaksi. Bahkan responnya dapat berakibat negatif bagi pasar dengan cara panic buying. Kondisi terakhir inilah yang mempengaruhi peningkatan jumlah permintaan secara massif dan dalam jumlah besar yang berdampak pada lonjakan harga secara ekstrem. Kedua, sistem distribusi. Tata kelola mata rantai distribusi yang berbelit dan cenderung koruptif, membawa dampak signifikan pada pergerakkan harga. Banyaknya pungutan liar yang harus ditanggung oleh pelaku usaha dalam pendistribusian, akan sangat berdampak pada harga jual komoditas. Ujung-ujungnya masyarakat konsumen juga yang harus menanggung bebannya dalam bentuk kenaikan harga. Disisi lain, dukungan infrastruktur turut memberi andil dinamika harga suatu komoditas. Kemacetan panjang atau antrian truk di pelabuhan, menjadi contoh konkrit. Tidak adil rasanya jika biaya distribusi komoditas yang tertahan akibat buruknya infrastruktur harus dibebankan kepada konsumen. Harusnya negara yang menanggung biaya distribusi tersebut. Ketiga, struktur pasar. Ketika berbicara tentang stabilisasi harga, selama ini pemerintah lebih banyak menyinggung cadangan (ketersediaan) komoditas. Pemerintah lebih percaya diri untuk mengungkapkan bahwa ketersediaan suatu komoditas relatif aman, tetapi belum banyak intervensi di struktur pasar. Padahal terjadinya pergerakan harga sejumlah komoditas ditengarai karena struktur pasar yang timpang (distorsif). Terjadi praktik oligopoli misalnya, dimana sejumlah komoditas dikuasai oleh segelintir pelaku usaha. Dengan kemampuan ekonomi tersebut, mereka mendikte harga pasar. Dugaan praktik kartel harga komoditas publik yang kerap mencuat seiring lonjakan harga harus benar-benar diperangi, dengan pemerintah sebagai garda terdepannya. Praktik ini terbukti telah merugikan konsumen dalam bentuk harus membayar lebih mahal dari harga wajar. Cara Instan Dalam menyikapi pergerakan harga – khususnya lonjakan, pemerintah cenderung melakukan langkah instan dengan melakukan operasi pasar. Tak ada yang salah sebenarnya, tetapi langkah ini perlu dikritisi. Selama ini operasi dilakukan dengan melepas sejumlah komoditas ke pasar dengan sistem terbuka. Artinya, target operasi pasar tidak jelas. Idealnya operasi dilakukan dengan sistem tertutup dan menyasar konsumen spesifik yang terdampak dari gejolak pergerakan harga. Parameter keberhasilan operasi pasar adalah berapa banyak masyarakat terdampak kenaikan harga kebutuhan pokok yang mendapat manfaat dari operasi pasar. Bukan berapa puluh ton sembako yang sudah dilepas untuk operasi pasar. Dilain pihak, jika asumsi operasi pasar karena terganggunya keseimbangan antara demand dan supply, maka harus ada ukuran pada tingkat kenaikan berapa persen suatu komoditas harus diimbangi dengan operasi pasar. Selama ini tidak pernah ada ukuran, sehingga mengesankan operasi pasar hanya sebagai proyek pemerintah untuk mengiringi rutinitas hari raya keagamaan. Agenda kedepan yang perlu dibenahi pemerintah adalah dari sisi hulu dengan membenahi kelembagaan dan melakukan sinergi. Dengan demikian dalam upaya melakukan stabilisasi harga sejumlah komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, semua pihak dapat terlibat. Mulai dari pemerintah, pelaku usaha dan konsumen memiliki kontribusi, kendati dalam tataran yang berbeda. Agus Sujatno Pengurus Harian YLKI
21,4% produk garam konsumsi yang beredar di DKI Jakarta memiliki kadar iodium dibawah standar SNI
Kurangnya asupan Iodium dalam tubuh dapat mengakibatkan timbulnya gangguan pada tubuh yang bisa dikenal dengan GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium). Hal ini disebabkan karena Iodium merupakan mineral yang merupakan elemen utama untuk memproduksi hormone thyroid, dimana hormon tersebut memiliki banyak fungsi bagi tubuh, seperti Pertumbuhan fisik dan mental yang optimal, Pengaturan metabolisme tubuh (membangkitkan dan pengaturan energi tubuh), Kesehatan tulang, serta sistem kekebalan tubuh dan pengembangan sistem respons saraf (central nervous system/CNS). Namun, sangat disayangkan bahwa di Indonesia masih ditemukan produk garam konsumsi yang belum memenuhi standarisasi kandungan Iodium dengan minimal kandungan Iodium sebanyak 30 PPM yang telah ditetapkan oleh SNI. YLKI telah melakukan survei “Kandungan Iodium dalam Produk Garam Konsumsi yang beredar di wilayah DKI Jakarta”. Dimana survei ini dilakukan dalam jangka waktu 4 bulan terhitung sejak bulan Agustus sampai hingga Desember 2022 dengan menggunakan 70 produk Garam Konsumsi yang beredar di wilayah DKI Jakarta sebagai sampel. Survei ini dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian Kuantitatif Deskriptif, dengan menerapkan Comparative Testing Berbagai Merek, serta Analisa Label dan Pengujian Iodium menggunakan metode titrasi. Berdasarkan Survei yang telah dilakukan, maka YLKI mendapatkan beberapa fakta yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan, diantaranya : Beberapa merek tersebut diantaranya DM Emas, Prima Super, Cendrawasih, Dua Lumba-lumba, Segi Tiga Bintang, Cap Cumi, Cap Cumi LSH, Omaku, Cap Sembilan Sembilan, Cap Burung Laut, Bali Kulkul Sea Salt, Garam Meja 888, Cap Kepiting Selain itu dari penelitian yang dilakukan terdapat beberapa catatan penting terhadap beberapa produk garam konsumsi yang dijadikan sampel, yaitu : Terdapat beberapa rekomendasi yang dapat diberikan terhadap permasalahn ini , yaitu : Oleh : Bidang Penelitian YLKI
Hoax, Berita yang Menyatakan bahwa YLKI Bisa Bantu Melunasi Utang Pinjol!
“Kami menduga ini merupakan fitnah yang sengaja diposting oleh pihak pihak tertentu, karena selama ini YLKI sangat keras terhadap fenomena pinjol, khususnya pinjol ilegal”. Siaran Pers YLKI: Beberapa tahun terakhir, YLKI sering menerima pertanyaan/permintaan dari banyak orang, bahwa YLKI adalah lembaga yang bisa membantu pelunasan utang pinjol pada para korban pinjol, yang tidak mampu melunasi utang pinjolnya. Atas pertanyaan dan pernyataan itu, tentu saja jawabannya “tidak”. Pertanyaan pertanyaan itu dikirim via nomor seluler pengurus, staf, medsos, dan email YLKI. Usut punya usut nampaknya pertanyaan/permintaan itu bermula/bersumber dari beberapa link berita di internet bahkan di media arus utama, sebagai contoh isi yang menyebutkan bahwa: “YLKI menawarkan program bantuan pelunasan utang pinjol dengan bunga rendah sebar 1,5 persen per bulan. Persyaratan untuk mendapatkan bantuan dari YLKI adalah sebagai berikut: memiliki KTP dan KK, memiliki bukti utang pinjol, memiliki penghasilan tetap” Terkait narasi tersebut, YLKI tandaskan bahwa itu jelas berita bohong (hoax) kelas berat, alias berita ngawur. Bahkan kami menduga ini merupakan fitnah yang sengaja diposting oleh pihak pihak tertentu, karena selama ini YLKI sangat keras terhadap fenomena pinjol, khususnya pinjol ilegal. Oleh karena itu YLKI mendesak Kementerian Kominfo untuk men-take down link berita tersebut, karena sangat menyesatkan publik dan merugikan nama baik YLKI. YLKI juga meminta masyarakat untuk tidak termakan terhadap berita hoax dimaksud. Demikian notifikasi YLKI. Mohon dimaklumi. Terima kasih Tulus Abadi Pengurus Harian YLKI
Perang Melawan Obesitas
Negara-negara berkembang menghadapi dua permasalahan sekaligus. Selain masalah rawan pangan, gizi buruk akibat kemiskinan yang masih belum teratasi, negara berkembang harus pula menghadapi munculnya kasus-kasus gizi lebih dan kegemukan yang meningkat dari tahun ke tahun. Kegemukan dan obesitas meningkat secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. Pada awalnya, obesitas muncul menjadi masalah di negara-negara maju. Yang dijadikan pemicu adalah gaya hidup. Kegemaran mengonsumsi makanan cepat saji (fast food) yang kerap disebut sebagai junk food, minuman soda, serta kurang gerak diyakini menjadi penyebab tingginya kasus kegemukan dan obesitas. Namun, dalam dekade terakhir, anggapan bahwa obesitas merupakan masalah negara maju, sementara negara berkembang menghadapi masalah kurang gizi sudah tidak relevan lagi. Negara-negara berkembang menghadapi dua permasalahan sekaligus. Selain masalah rawan pangan, gizi buruk akibat kemiskinan yang masih belum teratasi, negara berkembang harus pula menghadapi munculnya kasus-kasus gizi lebih dan kegemukan yang meningkat dari tahun ke tahun. Overseas Development Institute (ODI) di Inggris baru-baru ini melansir laporan yang menyatakan bahwa lebih dari sepertiga orang dewasa di seluruh dunia mengalami obesitas dan kelebihan berat badan. Dalam kurun waktu sekitar 20 tahun, ada lebih dari 900 juta penduduk dewasa di negara-negara berkembang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas, yang berarti meningkat 3 kali lipat semenjak tahun 1980-an. Sementara di negara maju, peningkatan hanya sebesar 1,7 kalinya. ODI menyebutkan bahwa satu dari tiga orang di negara berkembang saat ini telah mengalami kelebihan berat badan dan berpotensi obesitas. Mereka berharap pemerintah negara-negara berkembang untuk bertindak agar rakyatnya menjalani pola makan sehat. Sebab pertumbuhan kegemukan dan obesitas di negara berkembang ini telah berada pada tingkat mengkhawatirkan. Akibatnya ada peningkatan jumlah penderita kanker tipe tertentu, diabetes, stroke dan serangan jantung yang sangat besar. Keadaan ini tentunya akan menjadi beban yang besar pula pada sistem kesehatan masyarakat. Epidemik Global Faktor-faktor memengaruhi berkembangnya kasus obesitas diantaranya adalah peningkatan pendapatan, urbanisasi dan perubahan gaya hidup, yang cenderung mengakibatkan pola makan yang tinggi kandungan hewani, lemak, garam, dan gula. Selain itu, berbagai pengaruh globalisasi lain seperti meningkatnya ketersediaan makanan olahan, perubahan pola makan yang ditampilkan melalui iklan dan media. Namun laporan ini juga tidak ingin menyimpulkan bahwa telah terjadi penyeragaman pola konsumsi, karena sesungguhnya masih ada ruang bagi kebijakan untuk memengaruhi pilihan pangan yang diambil. Sayangnya, pemerintah belum melakukan upaya yang memadai untuk menghadapi krisis ini. Masih menurut laporan tersebut, para politisi masih enggan untuk menyentuh area ini. Selain itu, pengaruh lobi-lobi industri pangan sangat besar, serta ada kesenjangan yang lebar terkait kesadaran masyarakat tentang apa yang termasuk konsumsi yang sehat. Sebenarnya, menurut ODI, ada banyak langkah yang dapat dilakukan pemerintah. Diantaranya dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye yang dapat memengaruhi pilihan pangan konsumen, memberi insentif harga bagi produk pangan yang lebih sehat, pengaturan dan pembatasan iklan pangan. Menurut laporan dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Washington, lebih dari setengah warga dunia, mengalami obesitas dan tinggal di sepuluh negara. Kesepuluh negara tersebut adalah Amerika Serikat, Cina, India, Rusia, Brasil, Meksiko, Mesir, Jerman, Pakistan, dan Indonesia!. Para penulis studi ini memperingatkan bahwa temuan tersebut menggambarkan kenaikan substansial dalam obesitas dan kelebihan berat badan di seluruh dunia sehingga diperlukan aksi nyata untuk memerangi dampak kesehatan global yang serius. Mereka beranggapan bahwa obesitas telah memengaruhi orang dari segala usia dan pendapatan, di hampir seluruh dunia. Selanjutnya laporan menyebutkan, dalam tiga dekade terakhir, tidak satu negara pun berhasil mengurangi tingkat obesitas. Target PBB untuk menghentikan peningkatan obesitas pada tahun 2025, akan sia-sia dan sangat ambisius jika tidak dibarengi dengan tindakan bersama. Obesitas merupakan permasalahan yang muncul di dunia, bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikannya sebagai epidemik global. Prevalensinya meningkat tidak saja di negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk itu dibutuhkan penanggulangan secara bersama dari seluruh negara, baik negara maju maupun negar berkembang. Huzna G Zahir Ketua YLKI 2006 – 2010
KELANGKAAN LPG 3kg DAN SISTEM DISTRIBUSI
Perlu juga ada penegakan hukum bagi sektor bisnis dan industri yg menyalahgunakan elpiji gas 3kg. Beberapa hari belakangan di banyak daerah sedang terjadi kelangkaan elpiji 3kg. Fenomena kelangkaan gas elpiji 3kg ini terjadi karena adanya penyimpangan distribusi. Gas elpiji 3kg yang seharusnya untuk masyarakat miskin/keluarga tidak mampu, tetapi kelompok dari keluarga mampupun ikut menggunakan. Bahkan sektor bisnis turut mencecap untuk keperluan usahanya. Dengan begitu di satu sisi kuota gas tetap, di sisi lain konsumennya bertambah. Maka yang terjadi di lapangan adalah kekurangan pasokan. Lantas, bagaimana penanganannya? Solusi yang paling rasional menurut YLKI adalah: 1. Kembalikan distribusi gas elpiji 3kg menjadi distribusi tertutup, dg kartu kendali. Langkah seperti ini pernah diterapkan di masa awal konversi gas elpiji (2004). Dengan begitu, hanya keluarga miskin yang memegang kartu kendali (sesuai Data Terpadu Kesejahteraan Sosial/DTKS Kementria Sosial), yang dapat membeli gas elpiji 3kg, termasuk di dalamnya ada sektor usaha kecil dan menengah (UKM) serta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM); 2. Solusi berikutnya adalah pemerintah harus menambah pasokan gas elpiji 3 kg? Dengan catatan pemerintah mau dan berani menggelontorkan dana tambahan guna menutup pasokan tersebut. Sebab dengan begitu harus ada tambahan pagu subsidi untuk gas elpiji 3kg. Masalahnya, apakah pemerintah memiliki dana untuk itu? 3. Perlu juga ada penegakan hukum bagi sektor bisnis dan industri yg menyalahgunakan elpiji gas 3kg. Serta pihak-pihak tertentu dan oknum yang terbukti melakukan pengoplosan gas 3kg jadi 12kg. Jadi, pemerintah punya nyali tidak untuk menerapkan distribusi tertutup? Atau, pemerintah memiliki dana cadangan utk menambah pagu subsidi? Jangan dibiarkan masyarakat yg sudah terjepit makin terhimpit krn harus berjibaku hanya utk mendapatkan gas elpiji 3kg Tulus Abadi Ketua YLKI
Refleksi HTTS 31 Mei 2023: Turbulensi Regulasi Pengendalian Tembakau
Arah kebijakan pemerintah belum jelas, untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan rumah tangga miskin dan anak anak remaja. Saban 31 Mei, di seluruh dunia diperingati sebagai World No Tobacco Day, atau Hari Tanpa Tembakau Se Dunia (HTTS). Tema HTTS 2023 adalah: We Need Nutrition, not Addiction. Tema ini sgt relevan dg fenomena di Indonesia, manakala mayoritas rumah tangga miskin justru lebih byk mengalokasikan pendapatannya untuk membeli rokok, bukan untuk membeli bahan makanan pokok. Ada beberapa isu krusial yang patut disorot dalam konteks relasi tema HTTS 2023 ini, yakni: Arah kebijakan pemerintah belum jelas, untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan rumah tangga miskin dan anak anak remaja. Hal ini terbukti secara politis justru terjadi turbulensi dalam pengendalian tembakau oleh pemerintah, dalam 3-4 tahun terakhir ini. Apa sebab? Janji Presiden Jokowi yang akan mengamandemen PP 109/2012 ttg Pengamanan Produk Tembakau sbg Zat Adiktif, gagal total hingga sekarang. Padahal upaya utk amandemen sudah dituangkan dlm sebuah Perpres (2018), dan juga Keppres No 25/2022. Hingga kini upaya mengamandemen PP mangkrak, sekalipun Menkes telah berganti, dari Menkes Terawan ke Menkes Budi Gunadi Sadikin. Apalagi memasuki tahun politik, maka upaya utk mengamandemen PP 109/2012 akan makin musykil, bak sebuah mimpi di siang bolong . Padahal amandemen PP 109/2012 menjadi kebutuhan mendesak, mengingat konsumsi tembakau/rokok makin eskalatif. Jumlah perokok dewasa mencapai 35 persen dari total populasi, dan prevalensi merokok pada anak anak mencapai 9,1 persen. Angka ini akan terus bertambah, jika pemerintah terus melakukan pembiaran dalam pengendalian konsumsi rokok. Turbulensi kedua, adalah adanya upaya penghilangan pasal tembakau sbg zat adiktif pada RUU Omni Buslaw Kesehatan. Sejarah seperti berulang, manakala pada 2009/2010 ada upaya konkrit utk mendelete Pasal 113 di UU No. 36 Tahun 2009 ttg Kesehatan. Pasal 113 ini mengatur tembakau sbg zat adiktif. Namun upaya itu gagal. Jika RUU OBL Kesesehatan mengamputasi pasal zat adiktif untuk tembakau, maka akan terjadi kekosongan hukum di level UU, yg berdimensi pengendalian tembakau. Dan hal ini merupakan lonceng kematian bagi pengendalian tembakau di Indonesia. Kami sangat mendorong keberpuhakan pemerintah dalam pengendalian tembakau . Janganlah masa depan remaja dan anak anak digadaikan untuk kepentingan industri rokok dan kepentingan jangka pendek lainnya (pemilu). Cuan yang diperoleh dari industri rokok adalah tak seberapa ketimbang nilai investasi bagi kepentingan dan masa depan generasi muda, yang diimpikan sbg generasi emas. Mengingat konsumsi rokok yang makin masif, berkelindan dengan masalah ekonomi, sosial dan berbagai penyakit tidak menular lainnya. Bukan generasi emas yang akan dicapai, tapi justru “generasi cemas”, karena digelayuti berbagai penyakit degeneratif yang sangat serius. Termasuk persoalan stunting, yang tak bisa dipisahkan dari pola konsumsi rokok pada rumah tangga miskin. Prevalensi stunting yang masih bertengger pada 24,5 persen; tak akan menurun jika pola konsumsi rumah tangga miskin masih disandera oleh dominannya konsumsi rokok. Mereka butuh makanan pokok, bukan rokok! Demikian, Pak Presiden Jokowi. Nuwun. Jakarta, 31 Mei 2023 Ttd, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI.