Masih ingatkah Anda dengan tragedi putusnya jembatan gantung di obyek wisata Baturaden yang menewaskan 4 orang pengunjung saat libur Lebaran beberapa tahun lalu? Atau ingatkah Anda dengan peristiwa tenggelamnya perahu wisata di danau Singkarak? Kasus air bah di Tabalong, Kalimantan Selatan yang merenggut 7 nyawa wisatawan domestik? Plus sederet kasus serupa lainnya.

Tak bisa dipungkiri bila liburan (seperti libur Lebaran) merupakan waktu yang tepat untuk mengunjungi tempat wisata. Alhasil, disaat perayaan liburan, nyaris semua tempat wisata berjubel sesak melepas kegembiraan. Namun, kasus diatas agaknya mengingatkan kita bahwa kegembiraan bisa berubah menjadi bencana. Pertanyaannya, mengapa hal itu kerap terjadi?

Pengawasan kendor

Saat liburan volume pengunjung tempat wisata meningkat tajam, lebih dari 100 persen dibanding hari biasa. Semangat aji mumpung dari pengelola, dan kendornya kehati-hatian wisatawan, sering fasilitas di tempat wisata digunakan hingga melebihi kapasitas. Kurangnya perawatan fasilitas yang ada juga menjadi pemicu. Bahkan, tak jarang fasilitas yang ada pun sudah uzur. Ketika usia teknis sudah uzur, kurang dirawat, dipakai melebihi kapasitas, plus frekwensi pemakaian meningkat; jelas akan mempercepat terjadinya petaka.

Lemahnya pengawasan oleh aparat Pemerintah Daerah (Pemda) juga menjadi penyebab yang tak boleh diabaikan. Petugas Pemda hanya rajin memungut retribusinya, tetapi malas melakukan pengawasan dan atau membuat standar keselamatan tempat wisata. Tidak ada, atau minimnya keberadaan regu penolong dan emergency respond saat terjadi petaka juga layak disorot. Akibatnya korban kecelakaan tidak mendapatkan pertolongan pertama secara memadai. Juga minimnya kehati-hatian wisatawan, yang sering melenakan berbagai rambu peringatan.

Aspek normatif

Sejatinya, secara normatif, sebagai konsumen jasa wisata, wisatawan mempunyai hak yang amat mendasar; terutama yang diakomodir oleh Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Pasal 20 UU Kepariwisataan menegaskan bahwa setiap wisatawan berhak memperoleh informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata, pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar, perlindungan hukum dan keamanan, pelayanan kesehatan, perlindungan hak pribadi, dan perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisataan yang berisiko tinggi.

Relevan dengan itu, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga menyebutkan bahwa konsumen (jasa pariwisata)  berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur; hak untuk mendapatkan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan; hak untuk mendapatkan pembinaan dan advokasi, bahkan hak untuk mendapatkan kompensasi dan ganti rugi. Pelaku usaha (pengelola tempat wisata) wajib memberikan rasa aman, selamat, dan nyaman bagi konsumennya sebagai pengguna jasa tempat wisata.

Penegakan hukum

Namun demikian, aturan yang sudah bagus itu tak akan ada artinya jika penegakan hukumnya memble. Oleh karenanya, kepolisian dan aparat terkait lainnya, jangan setengah hati memproses kasus kecelakaan yang merenggut korban jiwa. Proses pemidanaan terhadap pelaku sangat diperlukan untuk memberikan efek jera (detterent effect). Cuma, proses pemidanaan itu jangan hanya menjerat petugas lapangan saja. Polisi harus berani menjadikan pihak pengelola (managemen) sebagai pelaku pidana. Terjadinya kecelakaan, selain karena faktor human error, juga dipicu oleh management error pihak pengelola. Sangat tidak adil kalau yang diproses secara pidana hanya petugas lapangan. Sementara pihak managemen dibiarkan melenggang-kangkung. Pemda pun harus tegas dalam pemberian sanksi (administratif) kepada pengelola. Tutup secara permanen tempat wisata tersebut, jika tingkat kesalahannya tak bisa ditoleransi lagi.

Kesimpulan dan saran

Oleh karena itu, guna menghindari jatuhnya korban masal di tempat wisata; semua pihak sebaiknya melakukan beberapa langkah antisipatif, misalnya; pertama, cek ulang fasilitas yang tersedia di tempat wisata, terutama menyangkut kelayakan dan keandalalannya. Kedua, intensifkan pengawasan oleh petugas Pemda. Jika diperlukan, lakukan pengujian terhadap berbagai fasilitas yang disediakan di tempat wisata. Bahkan, sudah seharusnya Pemda membuat standar keselamatan di tempat wisata. Ketiga, pengelola tempat wisata memperbarui rambu-rambu peringatan (warning), terutama yang berpotensi menimbulkan bahaya. Keempat, pengunjung tempat wisata seyogyanya jangan memaksakan diri untuk menggunakan fasilitas di tempat wisata.

Memberikan rasa nyaman, aman dan selamat bagi wisatawan adalah nilai lebih bagi destinasi wisata. Tanpa hal itu, jangan harap sektor kepariwisataan di Indonesia akan berkembang. Alih-alih menjaring wisatawan, yang ada pun bakal lari tunggang langgang. Wisatawan, apalagi wisatawan manca negara, tak ingin mati konyol hanya karena ketidaklayakan infrastruktur di destinasi wisata. Pengelola destinasi wisata jangan hanya mengeruk untung belaka, bahkan mengeksploitasi wisatawan, tanpa mengedepankan pelayanan prima, baik dari sisi kenyamanan, keamanan dan bahkan keselamatan. Perlakukan wisatawan sebagai konsumen destinasi wisata secara manusiawi dan beradab.

***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)

Gambar diambil dari sini