Malang nian menjadi konsumen jasa telekomunikasi (khusunya seluler) di Indonesia. Alih-alih mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam menggunakan produk jasa tersebut, sebaliknya acap dieksploitasi oleh produsen jasa seluler itu sendiri. Iklan perang tarif murah antar operator, yang sejatinya tak lebih dari upaya pembodohan dan pengelabuan belaka, adalah salah satu contoh yang dulu pernah marak. Bahkan bukan cuma itu, kini operator seluler berikut mitra bisnisnya secara berjamaah (diduga) merampok uang konsumen, dengan cara menyedot pulsa konsumen.
Saat ini tak kurang dari 150 juta pengguna seluler di Indonesia. Jika 30 juta saja yang disedot, maka tak kurang dari Rp 100 milyar uang konsumen amblas. Seorang pengamat telekomunikasi menyatakan, setidaknya 5 persen dari nett profit yang diperoleh perusahaan seluler adalah hasil “merampok” uang konsumen.
Negative Option
Model “menyedot” pulsa konsumen sebenarnya ini bukan modus baru. Paling tidak, berdasar data pengaduan di YLKI selama 3 (tiga) tahun terakhir, pengaduan mengenai jasa telekomunikasi, sangatlah dominan. Bahkan, pada 2010 yang lalu pengaduan jasa telekomunikasi menduduki rangking pertama (101 pengaduan), dari total pengaduan konsumen sebanyak 501.
Namun modus terakhir yang dilakukan operator seluler dan atau content provider memang amat keterlaluan, karena menggunakan modus “negative option”. Jadi, kalau konsumen menerima suatu kiriman layanan pesan pendek (sms) dan kemudian mendiamkannya, maka konsumen dianggap menyetujui isi sms tersebut. Untuk menyatakan tidak setuju, konsumen harus mengirimkan sms jawaban (“unreg”). Loh, kok jadi konsumen yang direpotkan? Jelas ini modus yang tidak adil, bahkan mengadali ketidakmengertian dan keawaman konsumen.
Persaingan Ketat
Pertanyaan sederhananya, mengapa kasus itu terus terjadi? Tak terlalu sulit untuk menguliti persoalan tersebut. Pertama, nihilnya regulasi. Nyaris tak ada regulasi yang kokoh untuk mengatur hal ini. Kalau pun ada regulasi, praktis implementasi dan pengawasan di lapangan amat kedodoran. Keberadaan Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dan Badan Regulator Telekomunikasi (BRTI) sebagai regulator, gagal total mengawasi kinerja 12 operator seluler, dan puluhan perusahaan content provider.
Kedua, perilaku nakal operator seluler dan content provider. Kedua pelaku usaha ini, selain tak punya itikad tidak baik dan ingin ngapusi plus “merampok” uang konsumen, bisa jadi perilaku nakal ini dipicu oleh ketatnya persiangan antar operator seluler itu sendiri. Di China, yang jumlah penduduknya mencapai 1,3 miliar tetapi perusahaan selulernya hanya 3 (tiga) operator. Atau India, yang jumlah penduduknya 1,1 miliar jumlah operator selulernya hanya 7 (tujuh) operator. Sedangkan Indonesia, yang jumlah penduduknya hanya 230 juta saja, dan jumlah konsumen selulernya hanya 150 juta, tetapi jumlah operatornya mencapai 12 operator seluler!
Multi sanksi
Ribuan bahkan jutaan konsumen seluler telah menjadi korban. Namun, ironisnya, hingga detik ini belum ada satu pun sanksi yang dijatuhkan pada pelakunya. Padahal, secara hukum, kasus ini amat terang benderang, untuk didekati dari berbagai perspektif hukum; administratif, perdata, bahkan pidana. Sebagai regulator, Kominfo dan BRTI seharusnya langsung memberikan sanksi administratif kepada operator seluler dan content provider; berupa teguran keras, atau bahkan pembekuan operasi dan penutupan ijin operasional.
Di sisi lain Pemerintah bisa memfasilitasi konsumen untuk menuntut kerugian secara perdata kepada operator seluler dan content provider. Sementara pihak kepolisian seharusnya melakukan tindakan pro justitia. Bahkan, bukan hal yang tak mungkin pihak kepolisian menerapkan pasal kejahatan pidana (corporate crime), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Tetapi, semua institusi negara yang seharusnya memberikan proteksi konsumen seluler itu, seolah melakukan pembiaran terhadap kasus dimaksud.
Konklusi
Pihak Kominfo, BRTI dan juga kepolisian harus bertindak sigap untuk melindungi dan mengembalikan hak-hak konsumen yang dirampok. Buat regulasi yang kuat untuk mencegah kejadian dan modus serupa di masa yang akan datang. Bukan hal yang sulit untuk membuat instrumen menangkal “sms spam” alias sms sampah, mengendus ke telepon seluler milik konsumen.
Lebih dari itu, Kominfo harus mengkaji ulang keberadaan perusahaan operator seluler yang jumlahnya melebihi kuota itu. Misalnya, lakukan merger terhadap 12 operator seluler tersebut; guna menciptakan persaingan yang lebih sehat dan normal. Tanpa hal itu, mereka akan secara terus-menerus melakukan tindakan promosi yang mendistorsi akal sehat, bahkan akhirnya menindas dan merampok uang (pulsa) konsumen.
***
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)
1 Comment on "Stop Keruk Pulsa Konsumen"
Elly Solihat
June 1, 2017Saya pelanggan Indosat. Kemarin sore saya melakukan pengisian pulsa Rp. 200.000 Lalu saya mendaftarkan paket internet dengan nominal Rp.60.000. Setelah sms konfirmasi dr operator seluler tsb saya terima, saya mulai mengaktifkan layanan data di HP saya. Dan 2 jam kemudian saya menerima sms bahwa pulsa saya tinggal Rp. 0 karena mengakses internet. Lho kan saya sudah mendaftarkan paket internet. Ini kenapa ???? Ada yg bisa menjelaskan