Catatan Akhir tahun :
Berbicara tentang perlindungan konsumen, untuk level global, tidak dapat dilepaskan dari pidato legendaris Presiden John F. Kennedy dihadapan Kongres pada 15 Maret 1962. Ada dua pesan penting dalam pidato tersebut. Pertama, untuk pertama kalinya empat hak dasar konsumen ( hak atas keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak atas informasi dan hak atas tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa yang adil ) terucap dari seorang presiden dalam forum resmi dihadapan Kongres. Hal ini tidak hanya sebagai bentuk pengakuan negara atas adanya hak-hak konsumen, tetapi juga sekaligus sebagai bentuk perhatian tentang pentingnya campur tangan negara dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.
Kedua, konsumen adalah kelompok/group terpenting dalam roda perekonomian, tetapi suaranya jarang didengar/dilibatkan dalam proses pengambilkan kebijakan publik, yang dampaknya juga akan dirasakan oleh konsumen.
Dalam konteks Indonesia, secara historis upaya perlindungan konsumen dipelopori oleh elemen masyarakat dalam bentuk pendirian Yayasan Lembaga Konsumen Indoneis (YLKI) pada 11 Mei 1973. Baru 26 tahun kemudian ada pengakuan dari negara dalam bentuk disahkannya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
UU Perlindungan Konsumen selain memberikan pengakuan hak-hak konsumen, juga menginstrodusir tiga lembaga baru, yaitu : (1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional di tingkat pusat; (2) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di tingkat pemerintah kota/kabupaten, dan (3) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Adanya UU Perlindungan Konsumen, di satu sisi merupakan pengakuan atas hak-hak konsumen, tetapi di sisi lain adalah juga sebuah realita / fakta masih maraknya pelanggaran hak-hak konsumen. Seperti, isi surat pembaca di sejumlah koran masih didominasi keluhan konsumen,maraknya berita keracunan makanan, dan tingginya angka kematian sebagai akibat kecelakaan di jalan raya.
Hal yang sama juga bisa dilihat dari data pengaduan konsumen yang masuk ke Bidang Pengaduan YLKI. Per Novermber 2011, Bidang Pengaduan YLKI menerima 469 pengaduan. Adapun enam besar komoditas yang paling tinggi diadukan konsumen adalah sebagai berikut : (1) perbankan, 98 pengaduan ( 20,9 persen; (2) perumahan, 67 pengaduan (14,3 persen); (3) jasa telekomunikasi, 64 pengaduan (13,6 persen ); (4) listrik/PT PLN, 53 pengaduan ( 11.3 persen); (5) air minum/PDAM, 35 pengaduan (7,5 persen), dan (6) Publik transport, 30 pengaduan (6,4 persen).
Dari segi substansi,adabeberapa tipologi sengketa konsumen. Pertama, pengaduan konsumen berangkat /terbatas pada relasi antara konsumen dan pelaku usaha semata, sehingga penyelesainnya sepenuhnya dibawah kendali pelaku usaha.
Kedua, aktor yang terlibat dalam sengketa konsumen, tidak terbatas pada pelaku usaha, tetapi penyelesaiannya juga sangat tergantung kepada pihak ketiga. Seperti kasus penjualan bangunan komersial vertikal yang dipasarkan sebagai unit strata titel di Harapan Indah Bekasi. Konsumen sudah melaksanakan kewajiban dalam bentuk membayar lunas harga unit, tetapi belum mendapatkan haknya berupa sertifikat kepemilikan dalam bentuk strata title. Alasan pengembang, proses pemecahan strata title, belum bisa dilakukan di Bekasi, karena belum punya Peraturan Daerah tentang pertelaan, sehingga proses pemecahan strata title tidak dapat diproses di kantor Badan Pertanahan Nasional. Hal yang aneh dan juga menjadi pertanyaan adalah, kalau belum punya Perda, kenapa Pemda Bekasi memberikan ijin kepada pengembang.
Dalam kasus pencurian pulsa lebih aneh lagi, ada beberapa content provider yang dengan leluasa bisa menjalankan bisnis, padahan belum melakukan pendaftaran di Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Hal yang juga aneh, ada operator yang melakukan kerjasama dengan content provider yang belum terdaftar di BRTI. Di sini ada pembiaran oleh regulator/BRTI terhadap praktik pelanggaran baik yang dilakukan operator maupun content provider.
Dengan demikian, untuk menciptakan perlindungan konsumen, negara harus hadir. Aneka ragam bentuk kehadiran negara, seperti : (1) membuat regulasi , sehingga tidak memberi ruang pelaku usaha melakukan praktik-praktik bisnis yang merugikan konsumen ; (2) menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang nyata-nyata melakukan pelanggaran hak-hak konsumen ; (3) menyediakan akses bagi konsumen menyampaikan pengaduan , selanjutnya untuk substansi pengaduan yang sifatnya sistemik, ditindaklanjuti dalam bentuk mengeluarkan kebijakan agar kasus serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
***
Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI
Gambar diambil dari sini
1 Comment on "Menuntut Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen"