Di Indonesia, tak satupun ketentuan dalam kebijakan yang melarang warganya untuk menjadi orang kaya, bahkan terkaya sekalipun. Negara menjamin kebebasan bagi warganya untuk mencari dan menumpuk kekayaan. Hanya satu hal yang paling penting disoroti adalah, bagaimana kekayaan tersebut diperoleh. Apakah kekayaan tersebut diperoleh melalui cara yang koruptif? Atau kekayaan yang ditumpuk dengan cara “mengorbankan” masyarakat?
Dalam konteks orang-orang terkaya di Indonesia, yang pernah dilansir majalah Forbes (edisi 23/11/2011) tak urung melahirkan beberapa ironi. Misalnya, dua bersaudara Hartono; Budi dan Michael Hartono dengan jumlah kekayaan yang mencapai USD 14 miliar atau setara dengan Rp 127 triliun, ditasbihkan majalah Forbes sebagai orang super kaya di Indonesia. Namun kekayaan sang triliuner ini menjadi ironis jika disandingkan dengan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia. Dengan kekayaan Rp 127 triliun, dua bersaudara tersebut berpenghasilan sekitar Rp 345 miliar per hari! Coba sandingkan dengan penghasilan rata-rata masyarakat Indonesia yang hanya Rp 85.000 per hari. Bahkan masih banyak orang yang berpenghasilan kurang dari 2 (dua) dolar Amerika per hari yang menjadi batas garis kemiskinan Standar Bank Dunia.
Lebih ironis adalah ketika para orang terkaya tersebut adalah konglomerat yang bergelut dengan bisnis racun, yakni industri rokok. Budi dan Michael Hartono sebagai pemegang tumpuk orang terkaya di Indonesia adalah bos dari perusahaan PT.Djarum, perusahaan rokok yang sangat ternama dari Kudus, Jawa Tengah. Peringkat kedua dengan kekayaan USD 10 miliar atau sekitar Rp 91 triliun dipegang oleh bos PT.Gudang Garam, Susilo Wonowijoyo. Kekayaan bos pabrik rokok yang bermarkas di Kediri, Jawa Timur ini mengalami peningkatan Rp 1,3 triliun dibanding pada tahun 2010. Sementara Putera Sampoerna bercokol di urutan ke-9 daftar orang terkaya di Indonesia dengan jumlah kekayaan mencapai USD 2.4 miliar. Lantas mengapa kekayaan mereka dianggap ironi?
Saat ini, komoditas yang sedang diperangi diseluruh dunia adalah rokok. Sebagai penjelasan tambahan, saat ini 172 negara telah meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control / FCTC). Konvensi yang digagas oleh WHO dan telah menjadi hukum internasional ini adalah sebuah instrumen hukum untuk mengendalikan konsumsi tembakau di seluruh dunia.
Masyarakat dunia telah memposisikan tembakau (rokok) sebagai pandemi global yang harus dikendalikan peredarannya secara bersama. Ironiknya, kendati turut berpartisipasi aktif dalam proses pembahasan FCTC, toh hingga kini Pemerintah Indonesia tidak menandatangani dan meratifikasi FCTC. Dalam pertemuan internasional di bidang kesehatan, Indonesia diberikan gelar “negeri asbak rokok” (ashtray award)
Ironi berikutnya, ketika mayoritas perokok adalah anak-anak remaja dan masyarakat miskin. Menurut hasil Global Youth Survey WHO 2010, tingkat pertumbuhan prevalensi merokok di kalangan anak-anak dan remaja di Indonesia sangat cepat, bahkan tercepat di dunia yakni 14,5 persen. Logis, jika akhir-akhir ini muncul fenomena baby smoker (balita yang merokok). Bahkan menurut keterangan Gubernur Kalimantan Timur, kini seantero Kaltim terdapat kurang lebih 15.000 balita yang gemar merokok! Mungkin fenomena ini hanya terjadi di Indonesia.
Puncak dari ironisme adalah manakala mayoritas perokok di Indonesia justru kalangan masyarakat miskin. Pendapatan masyarakat miskin yang sangat kecil justru lebih banyak dihabiskan untuk konsumsi rokok. Survei ekonomi nasional versi BPS tahun 2006-2007 menunjukkan bahwa belanja rokok masyarakat miskin menempati urutan kedua setelah belanja padi-padian (beras). Alokasi pendapatan masyarakat miskin untuk rokok sebesar 19 persen. Sementara untuk pendidikan dan kesehatan, tiga kali lipat dibawah konsumsi rokok. Pantas kemiskinan dan kebodohan terus merajalela di negeri ini.
Sekali lagi, menjadi kaya dan bahkan terkaya adalah hak mutlak setiap warga negara. Tetapi jika kekayaan tersebut diperoleh dari menjual komoditas racun (rokok) dan korbannya adalah anak-anak, remaja dan orang miskin adalah ironi yang sangat serius. Mereka, industri rokok menari-nari diatas kebodohan dan kemiskinan masyarakat, anak-anak dan remaja. Proses yang sangat sistematis ini seharusnya tidak dibiarkan olh negara. Negara harus melakukan proteksi secara komprehensif untuk menyelamatkan anak-anak, remaja dan masyarakat miskin dari penghisapan industri rokok.
Negara harus mengintervensi dengan membuat regulasi yang komprehensif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Hanya mengendalikan, tidak melarang, apalagi menutup industri rokok! Dan tidak sulit untuk melakukan itu, batasi penjualan dan pemasarannya, larang iklan dan promosi rokok, tegakkan kawasan tanpa rokok plus naikkan cukai rokok. Tanpa ada pengendalian semacam ini, konsumsi rokok akan terus mewabah; dan anak-anak, remaja plus masyarakat miskin menjadi korban massalnya.
Seharusnya pemerintah melahirkan regulasi yang kuat dan komprehensif untuk mengendalikan konsumsi rokok, jika tidak ingin dikatakan melegimitasi proses pemiskinan dan bahkan genocida pada rakyatnya.
***
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)
1 Comment on "Rokok, Orang Terkaya dan Tragedi Pemiskinan Masyarakat"